AGAMA BUDDHA DAN ETIKA BUDAYA MORAL MANUSIA
Dalam
kancah modernisasi pembangunan, rasanya ayunan langkah kehidupan ini
semakin komplit dan serba menyenangkan. Manusia untuk menghadapi
keberadaan dunia sekarang ini, diberi kebebasan terarah untuk menikmati
kesenangan dan mencukupi kebutuhan jasmani dan rohani. Sungguh bijaksana
sekali, sehingga pemerintah memberi suatu kebebasan yang jarang
diberikan oleh pemerintah lain terhadap Negara dan rakyatnya. Hidup kita
merasa terlindungi, terjamin dan bisa menikmati fasilitas yang terlah
tersedia. Namun adakalanya fasilitas tersebut bisa disalahgunakan,
sehingga suatu saat bisa menjadi penyejuk jiwa, dan aat yang lain bisa
menjadi boomerang, itulah keserakahan (lobha) manusia. Tak pelak
lagi kalau rasanya manusia sekarang ini banyak yang mengeluh dan selalu
merasa dirinya kurang mampu. Secara lahiriah, fasilitas sebagai sumber
daya kehidupan manusia sudah terpampang di depan kita, tinggal bagaimana
cara kita untuk menikmati dan menjalankan serta meraih meraih demi
terciptanya kondisi kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan.
Kemajuan
sains memberi kemudahan bagi manusia untuk menciptakan kondisi pikiran
yang sehat dan memiliki cakrawala berpikir yang luas. Sehingga pikiran
manusia mampu menampung kebudayaan yang datang dan menyeleksi kebudayaan
itu, sehingga bermanfaat bagi kemajuan suatu bangsa. Transformasi
kebudayaan seyogyanya sebagai poros strategi
untuk menghadapi pembangunan jangka panjang tahap kedua. Bukanlah guru
besar para dewa dan manusia yakni Buddha Gotama dalam kehidupannya juga
banyak menghadapi berbagai kebudayaan. Untuk menjernihkan kebudayaan
yang bersifat samar-samar yang hanya dianut berdasarkan dari turun
temurun, Sang Buddha mencari jalan keluar bagaiman caranya supaya
manusia tidak memiliki pikiran yang berbau dogmatis dan asal percaya
saja. Disamping itu, Sang Buddha mencari jalan pembebasan kehidpan
manusia dari penderitaan (dukkha), walaupun pada jaman kehidupan Sang Buddha sudah banyak terdapat para guru spiritual yang mengajarkan cara hidup menuju kebahagiaan dan terbebas dari penderitaan (dukkha)
menurut konsep mereka masing-masing. Bukan berarti Sang Buddha
bermaksud untuk menjadi guru tandinga, dan bukan pula beliau mencari
nama maupun penghormatan. Namun pengorbanan Beliau pantas untuk kita
beri pujian, karena beliau adalah satu-satunya manusia di dunia yang
rela meninggalkan kedudukan sebagai pengganti raja, meninggalkan isteri,
anak dan kekayaan yang menurut ukuran duniawi lebih dari cukup. Dalam
kenyataan itu bukan kebahagiaan yang abadi, karena memiliki pangkat,
kedudukan, dan harta kalau kita tidak bisa menjaga dan menggunakan
dengan baik, semua itu akan emnimbulkan keakuan dan menjadikan sumber
penderitaan bagi diri sendiri.
Didalam
menghadapi manusia yang memiliki kebudayaan yang berbeda, Ajaran Sang
Buddha bukan berarti sebagai penentang dan penghambat pembangunan yang
sekarang sedang dirintis dan diprogram oleh pemerintah, namun Buddha Dharma memberi jalur-jalur tersendiri, sehingga kebudayaan itu bisa diterima di tengah-tengah masyakarat khususnya di Indonesia
yang bersifat majemuk. Ajaran ini sesuai dengan realitas obyektif dan
konsekuensi logis dari arus gerak perubahan yang sangat cepat, akibat
dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) serta memendeknya pilar-pilar
komunikasi. Umat Buddha tidaklah heran dan terkejut untuk menghadapi
keadaan jaman yang begitu maju dengan pesat. Bukankah Sang Buddha
sendiri mengakui, bahwa kemampuan manusia itu berkembang dan memiliki
kemampuan untuk mencipta. Memang kemakuan ilmu pengetahuan dan teknologi
ada yang bersifat membangun dan ada yang bersifat membunuh. Itu sudah
wajar, maka disinilah letak tanggung jawab kita bersama untuk memberi
seleksi secara sehat dan penuh keterbukaan.
Umat
Buddha hendaknya berani mentransformasikan kebudayaan secara revolusif,
jadi adalah sangat primitif dan cupat sekali kalau kita selalu menutupi
kekurangan hanya karena kemampuan yang sempit dan malu kalau dianggap
orang bodoh. Justru menutupi segala kekurangan yang disebabkan dari
minimnya pengetahuan akan Buddha Dharma, itulah sebenarnya orang bodoh.
Tanpa berani menempuh irama ini, Agama Buddha akan semakin ketinggalan
dengan agama-agama lain. Bukannya kita iri dan bermaksud bersaing,
karena memang bukan iu tujuan ajaran Buddha. Namun apa salahnya kalau
kita sekarang mau mulai mempelajari dari kekurangan kita sendiri, tidak
hanya menilai, mencela, menonton dan memberikan kasak-kusuk terhadap
kemajuan yang lain. Ini adalah pikiran manusia yang sangat rendah
sekali.
Salah
satu tujuan atau arah dari ajaran Sang Buddha, adalah menciptakan
pikiran manusia yang berkualitas dan berakal sehat. Untuk memenuhi
sasarannya, maka manusia harus memiliki hubungan dengan Tuhan, manusia
dengan semua makhluk dan manusia dengan alam lingkungan. Dari sudut
pandang ajaran Buddha, maka pada dasarnya dimensi pengembangan sumber
daya manusia bermuara dari pembangunan untuk diri kita dan bukanlah diri
kita untuk pembangunan. Pembangunan yang dimaksudkan disini adalah
pembangunan mental. Tetapi pembangunan mental saat ini dirasa masih
sangat kurang, sehingga tidaklah aneh kalau sekarang muncul berbagai
ragam sikap mental yang tidak terpuji seperti deskriminasi, manipulasi,
tindak kriminal, penindasan hak asasi manusia, dan lain-lain, sehingga
menimbulkan konflik serta keresahan sosial.
Sungguh
sangat mengherankan, mengapa di dunia saat ini banyak terjadi
peperangan dan penindasan yang sangat mengerikan, sehingga banyak
menimbulkan penderitaan bagi manusia. Keadaan ini menandakan nilai moral yang semakin merosot, dan makin merajalelanya kanker kegelapan batin (Avijja)
yang berkecamuk dalam batin manusia. Padahal saat ini banyak
bermunculan para Dharma-duta dari berbagai agama yang senantiasa
mengumandangkan ajaran cinta kasih. Apakah pesan-pesan yang disampaikan
oleh para Dharma-duta tersebut hanya dianggap sebagai kicauan
burung-burung hanya hanya indah di suaranya tetapi tidak bermakna? Dan
apakah seorang Dharma-duta/penceramah hanya dianggap singa gaung yang
kelihatan gagah bila bertengger di podium, tanpa menarik dan menjalankan
gaungan itu. Sungguh ironis memang. Seharusnya, dengan makin tingginya
nilai budaya manusia, kemampuan berpikir dan nilai moral manusia makin
meningkat pula. Bukan sebaliknya, tetapi fakta yang ada sungguh sangat
menyesalkan dan menjadi bahan untuk kita pikirkan bersama.
Sekarang
bagaimana upaya kita untuk bisa meluruskan kembali kebobrokan moral ini
untuk menuju perdamaian yang sebenarnya. Jangan diharap dunia ini bisa
damai sebelum masing-masing individu manusia membentuk dirinya menjadi
damai. Ini adalah hukum yang tak bisa diganggu gugat. Dipihak lain,
manusia memang termasuk makhluk yang memiliki banyak segi, penuh misteri
dan unik, semakin didalami semakin adimisteri. Manusia pada dasarnya
tidak selaras, namun diberi potensi dan kekuatan untuk selaras.
Ketidakselarasan akan menimbulkan pertentangan, sedangkan pertentangan
merusak keharmonisan serta keseimbangan batin (upekkha). Manusia memiliki ambivalen, satu sisi dikusiri oleh nafsu (tanha) dan cenderung berpihak pada keserakahan (lobha),
sedangkan pada sisi yang lain di bawah kendati hati nurani, karenanya
berpihak pada sifat “andap asor”. Itulah sebabnya, hidup tanpa adanya
keseimbangan batin akan menyebabkan erosi moral yang sulit terkendali.
Bahaya erosi moral akan mengakibatkan gersangnya perdamaian batin
manusia, dan akan merembet serta merusak tata lingkungan yang sementara
ini sudah terjaga, walaupun suatu saat juga masih kecolongan.
Suatu
kebudayaan yang bisa diterima di tengah masyarakat adalah kebudayaan
yang bisa membangun dan mengembangkan mental masyarakat secara positif.
Jadi masyarakat hendaknya bisa bersikap selektif di dalam menerima
kebudayaan baru. Kecenderungan yang ada sekarang, masyakarat dengan
sangat mudahnya dan praktis tanpa seleksi menyerapa kebudayaan asing
yang sering kali tidak sesuai dengan etika dan di dalam pribadi
masyarakat, antara mempertahankan kepribadian yang terjadi akibat
penerimaan kebudayaan yang asal terima hanya karena takut dengan yang di
atas. Akibatnya masyarakat akan kehilangan arah kepribadian dan
cenderung untuk bertindak tanpa mengenal batas susila.
Struktur
mental yang memberi latar belakang, merupakan paduan dari jamaknya
pengalaman, akan sistim nilai budaya yang berorientasi dalam jiwa
manusia. Semua ini berpengaruh langsung terhadap pikiran (mano),
sikap dan perbuatan. Sementara itu nilai budaya merupakan konfigurasi
dari sejumlah hasrat, intuisi, cita-cita, perasaan, harapan, keyakinan (Saddha)
yang bersifat tradisional. Secara simultan, struktur mental dan sistem
nilai budaya mempengaruhi bahkan menentukan cara-cara menanggapi
realitas sosial, merancang ethos, dan melahirkan aktualisasi khas dari
sejumlah kemungkinan yang tidak terbatas.
Sekarang
belum saatnya ketinggalan untuk membenahi segala kekurangan dan
kelemahan yang dimiliki setiap insan. Kalau manusia menyadari pentingnya
kebudayaan yang senantiasa memberi nilai hidup tersendiri dan mendorong
lebih maju dalam wawasan berpikir. Maka kita harus terlebih dahulu
menciptakan kedamaian, kebahagiaan, keharmonisan yang menjadikan momok
bagi kehidupan. Kitapun juga tidak bisa menjejalkan kebudayaan untuk
bisa diterima oleh setiap manusia atau negara lain. Sifat yang seperti
ini sudah usang dan harus cepat untuk kembali serta pamit ke asalnya.
Ajakan kita hendaknya setiap umat manusia senantiasa waspada dengan
adanya berbagai macam budaya yang berkulit manis dan yang sebenarnya
berisi pahit. Jangan terpikat rayuan, iming-iming serta pujian semu,
kalau kita ingin menikmati kebebasan yang sebenarnya.
0 komentar:
Posting Komentar