EMPAT
KESUNYATAAN MULIA
(CATTARI
ARIYA SACCANI)
Dhamma
dan Vinaya yang telah dibabarkan oleh Sang Buddha kurang lebih selama 45 tahun,
selama itu juga telah banyak membawa manusia untuk mengerti hakekat kehidupan
dan jalan menuju kebahagiaan. Didalam kehidupan, hendaknya manusia mengerti
akan kesunyataan hidup, dan mampu merenungkan mengenai tujuan dari kehidupan. Dari awal inilah kami, akan bemsaha
memberikan gambaran dan penjelasan mengenai Hukum Kesunyataan. Sedangkan Hukum
Kesunyataan itu antara lain:
1.
Tilakkhana
2.
Paticcasamuppada
3.
Kamma dan Punnabhava
Setelah mencapai Sammasambuddha, Beliau tidak
langsung mengajarkan apa yang telah diraih-Nya, karena memandang bahwa apa yang
telah diraih (diperoleh) itu adalah ajaran yang sangat tinggi dan sulit untuk
dimengerti oleh manusia biasa dan sulit bagi makhluk yang tidak mempunyai karma yang
baik akan hakekat dharma.Namun karena desakan Brahmasahampati (Sang
penguasa dunia) akhimya Beliau berkenan mengajarkan apa yang telah diperolehnya
setelah bertapa selama enam tahun lebih, kepada lima orang pertapa, yang dahulu
adalah bekas teman Beliau menyiksa diri, di antara kelima pertapa yaitu: Kondanna,
Badhiya, Vappa, Mahanama, Assaji.
Peristiwa ini dikenal dengan sebutan: dhammacakkapavattana sutta (pemutaran roda Dhamma yang pertama
kali) di taman Rusa Isipatana dekat Benares. Beliau mengajarkan
Dhamma kepada lima pertapa mengenai kesunyataan hidup, yang berisikan Cattari Arya Saccani dan Majjhima Patipada.
Cattari Ariya Saccani atau lebih terkenal dengan sebutan
Empat Kesunyataan Mulia dan Jalan Tengah adalah ajaran pokok dalam Buddha
Dhamma. Karena hal tersebut menyangkut segala bentuk kehidupan yang dapat kita
lihat di dalam kehidupan sehari-hari. Isi dari empat Kesunyataan Mulia, yaitu:
1.
Dukkha Ariya Sacca
Bentuk kehidupan
yang bagaimanapun juga adalah dukkha. Terjemahan dari kata dukkha inilah yang
hampir sama dengan penderitaan. Banyak yang menganggap agama Buddha adalah
agama pesimistis. Namun sebenamya bukan demikian. Agama Buddha juga bukan agama
optimis tetapi adalah agama yang realistis (sebenamya).
Buddha Dhamma
(agama Buddha) tidak pernah menakuti-nakuti ancaman neraka yang tidak masuk
akal, tetapi juga tidak muluk-muluk menjanjikan bentuk sorgawi setelah
kematiannya. Maka dengan pendirian itulah agama Buddha dikatakan agama
realistis.
Dukkha secara harafiah berasal
dari kata: Du = sukar, derita + Kha = menanggung, memikul Jadi kata Dukkha mempunyai makna = Menanggung atau memikul beban yang sangat
sukar (derita). Konsepsi dukkha dalam Empat Kesunyataan Mulia yang berorientasi
pada penderitaan, tetapi dalam Tilakhana mempunyai 3 aspek, yaitu:
a.
Dukkha sebagai derita biasa (Dukkha-dukkha)., dalam Majjhima Nikaya (Ratthaphala Sutta) terdapat empat
uraian mengenai dukkha, yaitu:
1. Kehidupan dalam alam manapun adalah
tidak kekal, tubuh manusia muncul (lahir), berkembang, manjadi lapuk (tua) dan
akhimya mati.
2. Kehidupan di alam manapun juga adalah
tidak memiliki perlindungan. bila memiliki perlindungan kita akan bisa memutus empat
keadaan mutlak (lahir, tua, sakit dan mati).
3. Kehidupan di alam manapun juga tidak
memiliki inti.
4. Kehidupan di alam manapun juga adalah
tidak lengkap, tidak memuaskan, dan diperbudak oleh hawa nafsu. Kepuasan yang
diharapkan tidak akan dapat diperoleh sepanjang masih adanya Avijja dan Tanha.
b.
Dukkha sebagai akibat perubahan/anicca (Viparinama-dukkha).
Segala bentuk kehidupan yang
bagaimanapun juga, yang masih diiiputi kekotoran batin (asava) adalah tidak kekal. Cepat atau lambat, seperti apa yang
tidak kita inginkan akan berubah mengikuti proses kamma yang belangsung. Bentuk
senang menjadi susah, untung menjadi rugi, hina menjadi rnulia, dipuji dan
dicela (atthalokadhamma). Penyebab
dari dukkha adalab Anicca. Inilah
yang disebut dukkha sebagai akibat dari perubahan.
c.
Dukkha sebagai keadaan yang saling bergantungan (Saékhara dukkha).
Tubuh manusia terdiri unsur Nama dan Rupa (batin dan jasmani). Nama dan Rupa ini yang disebut Pancakkandha. Dukkha yang disebabkan oleh "lima kelompok kehidupan"
atau "lima kelompok kegemaran". "pancakkhandha"
terdiri dari:
i.
Rupa khandha atau kelompok jasmani, terdiri dari
empat unsur yaitu:
·
Unsur padat (pathavi dhatu),
yakni sesuatu bentuk padat yang ada pada tubuh jasmani kita (manusia), misalnya
tulang-tulang, gigi, kuku, jantung dan lain sebagainya. Pathavi berarti tanah (bumi).
·
Unsur cair (apo dhatu), segala
sesuatu yang berbentuk cair yang terdapat dalam tubuh jasmani kita, misalnya
lendir, empedu, darah, peluh, keringat, air mata dan sebagainya. Apo berarti air.
·
Unsur panas (tejo dhatu), segala sesuatu
yang bersifat panas yang terdapat dalam tubuh kita, misalnya suhu badan, demam,
energi dan lain sebagainya. Tejo berarti
api.
·
Unsur gerak (vayo dhatu), segala
sesuatu yang bersifat gerak misalnya nafas, hawa udara dalam badan. Vayo berarti angin.
ii.
Nama khandha atau kelompok batin terdiri dari empat macam, yaitu:
·
Vedana
khandha atau
kelompok perasaan, Meliputi
perasaan yang bersifat menyenangkan, netral, maupun yang tidak menyenangkan,
yang ditimbulkan oleh kesan-kesan:
·
Penglihatan oleh mata.
·
Pendengaran oleh telinga.
·
Penciuman oleh hidung.
·
Pengecapan oleh lidah.
·
Sentuhan oleh kulit (badan jasmani).
·
Batin
·
Sañña khandha atau
kelompok pencerapan, Meliputi semua bentuk pencerapan yang menyenangkan, netral, maupun yang
tidak menyenangkan karena disebabkan oleh pencerapan:
·
Bentuk oleh mata.
·
Suara oleh telinga.
·
Rasa oleh lidah.
·
Bau-bauan oleh hidung.
·
Sentuhan oleh badan jasmani.
·
Obyek mental oleh batin.
·
Saékhara
khandha atau kelompok
bentuk-bentuk pikiran, Meliputi semua bentuk-bentuk pikiran atau mental yang menyenangkan, netral,
maupun yang tidak menyenangkan, yang terdorong oleh adanya cetana yang
ditujukan pada obyek:
·
Bentuk.
·
Suara.
·
Rasa.
·
Bau-bauan.
·
Sentuhan.
·
Obyek mental atau pikiran
·
Viññana khandha atau kelompok kesadaran, Meliputi semua kesadaran yang
timbul baik yang menyenangkan, netral, maupun yang tidak menyenangkan, yang
terdorong karena terdorong oleh adanya enam pintu kesadaran, yaitu:
·
Mata.
·
Telinga.
·
Lidah.
·
Hidung.
·
Badan jasmani.
·
Batin.
Nama khandha dan Rupa
khandha yang membentuk pancakkhandha itu tidak kekal adanya, selalu
berubah-ubah maka pancakkhandha adalah
penyebab dari dukkha.
Menurut kitab suci Sanghyang
Kamahayanikan yang berbahasa Kawi pengertian dukkha hampir sama dengan
pengertian dukkha diatas hanya pengertiannya yang sedikit berbeda, yaitu:
·
Dukkha-dukkha: penderitaan yang dialami oleh manusia karena setelah
kehancuran badan jasmaninya (kematiannya) akan dilahirkan dialam yang lebih
rendah daripada alam manusia.
·
Saékara-dukkha: penderitaan yang dialami makhluk hidup karena setelah kematiannya
dilahirkan kembali di alam yang sama.
·
Viparinama-dukkha: penderitaan yang di alami makhluk
hidup setelah kematiannya dilahirkan ke alam yang lebih tinggi tetapi setelah
kematian yang berikutnya kembali lagi ke alam semula.
Dukkha yang dialami pada
diri manusia terdiri dari dua sumber yaitu:
·
Dukkha yang disebabkan oleh nafsu indriya (samisa dukkha).
·
Dukkha yang disebabkan karena tidak tercapainya ketenangan batin (niramisa
dukkha). Dan sumber itu pula dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
§ Penderitaan yang timbul pada badan
jasmani (yang berkenaan dengan badan jasmani) disebut Kayika Dukkha,
§ Penderitaan yang berkenaan dengan batin
disebut Cetasika Dukkha.
Inilah kesunyataan
pertama tentang adanya dukkha.
2.
Dukkha Samudaya Ariya
Sacca
Sumber pokok/asal mulanya terjadinya
dukkha adalah:
a.
Avijja dan
Asava
Karena tidak
mengerti dengan makna sebenamya tentang Hukum Kesunyataan, maka manusia dicengkeram
dengan adanya kegelapan batin (kebodohan) yang disebut Avijja. Avijja dapat
timbul karena adanya arus kekotoran batin (asava)
yang dibagi menjadi:
·
Kamasava: arus kekotoran yang disebabkan oleh adanya nafsu
indriya.
·
Bhavasava arus kekotoran batin karena kelahiran (penjelmaan)
·
Avijjasava arus kekotoran batin karena adanya kegelapan batin.
·
Ditthasava arus kekotoran batin karena yang ditimbulkan oleh
pandangan sesat (salah).
Kegelapan batin
yang senantiasa pada diri kita, menyebabkan perbuatan ini mengarah pada
kebencian, dendam, irihati, meniup, berdusta dan sebagainya. Manusia menyerah
karena demi ego yang tinggi (Aku).
b.
T a n h a
Tanha atau nafsu
keinginan yang tidak pemah terpuaskan dan ingin dilayani akan menjadi sebuah
kerinduan (kehausan) yang tiada habisnya. Kehausan inilah yang disebut tanha.
Tanha dibagi menjadi dua kelompok dan tiga jenis:
·
Menurut indriya dan materi:
·
Kama tanha: Keinginan karena ditimbulkan adanya nafsu indriya.
·
Rupa tanha: keinginan akan bentuk.
·
Arupa tanha: keinginan tanpa bermateri.
·
Menurut indriya dan kehidupan:
·
Rupa tanha : Kehausan akan bentuk
·
Sadda tabha : Kehausan akan suara
·
Gandha tanha : Kehausan akan bau
·
Rasa tanha: Kehausan akan rasa-rasa
·
Photthabha tanha: Kehausan akan sentuhan
·
Dhamma tanha : Kehausan akan bentuk-bentuk pikiran
·
Bhava Tanha, kehausan akan
penjelmaan hidup yang kekal dan abadi dalatn alam yang berbentuk (rupa loka) atau tiada bentuk (arupa loka).
·
Vibhava Tanha : kehausan yang disebabkan adanya pandangan yang salah
akhimya memusnahkan diri dan beranggapan dengan kematiannya segala sesuatu akan
berakhir dengan segalanya.
c. Paticca samuppada : segala sesuatu yang saling bergantungan.
Karena kegelapan batin yang sangat
tebal, maka manusia tidak mengerti kapan dilahirkan, kapan akan mati, dan
tumimbal lahir tems-menerus karena mata rantai yang tiada hentinya. Sebelum
keadaan yang terbebas dari Paticcasamuppada berhasil kita raih yaitu: Nibbana.
d. Hukum karma, hukum perbuatan,
Asal mula dari segala bentuk kehidupan
karena adanya hasil dari pada kerjanya hukum karma. Baik bagi mereka yang
bahagia, baik bagi mereka yang terkena penderitaan.
3.
Dukkha Nirodha Ariyasacca
Bila di dalam diri manusia ada kekuatann untuk
menimbulkan adanya dukkha, maka di dalam diri manusiapun ada kekuatan untuk
menghentikan dukkha: "Dengan timhulm'a ini maka timhullah itu, dengan
tidak timhullah maka lidak timhullah ilii". Seperti juga yang di alami
guru agung Sang Buddha Gotama dengan perjuangan yang sangat berat maka
tercapailah berhentinya dukkha. Beliau pun mengajarkan kepada siswa-Nya. bahwa
setiap batin makhluk punya kekuatan untuk menghentikan dukkha, tinggal
bagaimana kita berusaha mengembangkan kekuatan yang ada pada diri kita
tersebut.
a. Terhentinya tanha.
Dengan dipadamkannya
keinginan-keinginan rendah yang tiada pemah terpuaskan maka rangkaian dari
dukkha akan berakhir. Di dalam dunia terdapat hal-hal yang menyenangkan,
disanalah tanha terhenti (dipadamkan). (Digha Nikaya 22, Maha Satipatthana
Sutta). Buddha bersabda: "Baik di jaman yang lampau, jaman sekarang
ataupun jaman yang akan datang, jika seorang bhikkhu atau brahmana, menggapai
di dunia yang disukai dan disenangi, sebagai tidak kekal (anicca), menyakitkan (dukkha),
tanpa inti yang kekal (anatta).
sebagai penyakit yang berbahaya, dia telah menaklukkan tanha". (Samyutta
Nikaya XIl. 66).
Misalnya: Karena seorang berdana ingin dipuji, maka ia akan sedih
bila tidak ada yang memujinya. Seseorang memberikan dana dengan segala perasaan
Metta dan Karuna yang besar, tanpa keinginan yang lain, maka ia terbebas dari
dukkha.
b. Terhentinya rantai derita, Paticca
Samuppada.
Dengan melenyapkan Avijja dan Tanha.
maka lenyaplah semua bentuk ikatan, dengan lenyapnya semua bentuk ikatan maka
berakhirlah perbuatan karma baru. Dengan terhentinya arus penjelmaan maka
terhentilah kelahiran dan kematian. Ke dua belas rantai yang saling
bergantungan ini akan terhenti dengan tercapainya kebebasan mutlak yang tertinggi
yaitu Nibbana. Semua ketergantungan tidak akan terjadinya lagi karena terputus
di tengah jalan maka dukkha akan terhenti.
c. Penembusan, dimengertinya dengan
sesungguhnya hukum kesunyataan.
Untuk menghilangkan dukkha dalam hidup
diperlukan pengertian terhadap Hukum Kesunyataan. Kita akan mampu menembus
hukum kesunyataan tersebut dengan mengolah batin dan pikiran melalui meditasi
seperti yang dilakukan Buddha Gotama. Menyadari segala sesuatu dengan
penyelaman, bukan karena kebodohan.
Misalnya: kesedihan kita karena
mendapatkan wajah yang jelek. Dukkha tidak
berakhir karena kita kurang memandang adanya sesuatu yang benar dengan hukum Anicca, Dukkha, dan Anatta.
Dengan berakhimya/lenyapnya dukkha maka tercapailah keadaan Nibbana.
4.
Dukkha Nirodha Gaminipaëipada Ariyasacca
Kesuyataan yang keempat adalah jalan untuk melenyapkan
derita. Sebelum Pangeran Sidharta mencapai Penerangan Sempurna, di daerah India
Utara, di masa itu masayarakat di sana telah melakukan bentuk upacara-upacara
pengorbanan yang dinamakan "Yajna", dengan mengorbankan
binatang-binatang, bahkan manusia untuk mencari keselamatan dan kebahagiaan.
Lama-kelamaan karena keserakahan para pemimpin spiritual mereka yang meminta
upah yang sangat tinggi, akhimya mereka menjadi ragu akan hasil dan buahnya. Di
kemudian hari banyak bermunculan faham-faham yang karena kebiasaan akhimya
menjadi pedoman bermasyakat. Di antara dua taham tersebut yang terkenal adalah:
- Faham Carvaka
Faham ini tidak
mempercayai adanya kehidupan setelah kehancuran badan jasmani. Mereka
menganggap hidup hanya sekali saja. Karena pandangan mereka inilah, mereka
hidup diperbudak oleh hawa nafsu. Di sana-sini banyak timbul bentuk kejahatan,
diantaranya: pencurian, perampokan, pemerkosaan, mabuk-mabukan dan lain
sebagainya. Di sini berlaku hukum: Siapa yang kuat itulah yang berkuasa.
- Faham Titthiya
Faham ini
mengajarkan adanya roh yang kekal, bahagia yang menurut mereka menjadi
menderita karena terbelenggu oleh badan jasmani. Karena pandangan inilah banyak
timbul bentuk-bentuk penyiksaan din yang paling hebat.
Sang Buddha mengajarkan JALAN TENGAH ini bertujuan
untuk mengakhiri dukkha. Jalan tengah sering diartikan satu jalan mulia beruas
delapan karena terdiri dari tiga bagian: Pañña, Sila dan Samadhi.
- Bagian Pañña Sikkha
a. Samma ditlhi: pandangan benar.
Mempunyai
pandangan yang benar terhadapa segala sesuatu, baik berupa benda-benda,
kata-kata, perbuatan, pikiran, dan perbuatan menurut arti yang sesungguhnya,
yaitu sesuai dengan hukum empat kesunyataan mulia dan hukum kesunyataan.
Menyelami dan menembus dengan bati sendiri terhadap Hukum Kesunyataan.
b. Samma sankappa: pikiran benar.
Mempunyai bentuk
pikiran yang terbebas dari hawa nafsu (nekkhamasankappa), kekejaman
(Avihimsakasankappa), dan dendam (abyapadasankappa). Berusaha mengembangkan
pikiran yang luhur (brahmavihara), yang terlepas dari mementingkan diri sendiri
(Macchariya), dan mewujudkan dalam pikiran yang senantiasa diliputi oleh
keadaan cinta kasih (metta) dan kasih sayang (karuna) yang universal kepada
semua makhluk hidup.
·
Bagian
Sila Sikkha
a. Samma vaca: ucapan benar.
Ucapan benar adalah ucapan yang
menghindari
1. Musavada: berbohong.
2. Pisunavaca: berbicara yang dapat menimbulkan perpecahan dan fitttahan.
3. Pharusa vaca: kata-kata yang kotor.
4. Samphappapala: berbicara hal-hala yang tidak berguna, tidak pada
waktunya.
Lebih tepatnya menghindari ucapan yang
dapat menimbulkan kebencian, dendam, iri hati,
perkelahian, peparangan dan lain-lain.
Suatu ucapan dapat dikatakan benar apabila:
1.
Kata-kata itu benar
2.
Kata-kata itu beralasan.
3.
Kata-kata itu berfaedah
4.
Kata-kata itu diucapkan tepat pada waktu dan tempatnya.
a. Samma kamanta: perbuatan benar.
Perbuatan benar adalah perbuatan yang menghindari
penganiayaan dan pembunuhan, pencurian dan perbuatan asusila. Suatu perbuatan
dikatakan benar apabiia diperbuat tidak memgikan diri sendiri maupun2.
Berdagang makhluk-i-naldiluk hidup.
b. Samma ajiva: mata pencaharian yang
benar.
Menghindari mata pencaharian yang
merugikan misalnya
·
Berdagang daging.
·
Berdagang minuman yang dapat menimbulkan hilangnya kesadaran.
·
Berdagang racun.
- Bagian Samadhi Sikkha
a. Samma vayama: daya upaya henar.
Berdaya upaya yang
benar adalah berusaha menghindari segala bentuk sesuatu yang tidak baik yang
belum muncul. Bila mencerap sesuatu bentuk dengan mata. suara dengan telinga,
bau-bauan dengan hidung rasa dengan lidah, sentuhan dengan badan jasmani atau
dengan obyek mental, ia hams tidak melekat, baik seluruhnya maupun sebagian.
·
Berdaya upaya mengatasi hal-hal yang tidak baik atau tidak sehat yang telah
muncul, yang telah dicerap melalui enam landasan inriya.
·
Berdaya upaya membangkitkan tau mengembangkan bentuk kebajikan yang belum
muncul.
·
Berdaya upaya membina dan memupuk serta mempertahankan hal yang bajik yang
telah muncul dalam diri kita.
b. Samma sati: perhatian benar.
Harus senantiasa
waspada, sadar, dan penuh perhatian terhadap gerak-gerik enam landasan indriya.
Perhatian yang benar adalah perhatian yang mempu menembus apa yang sesungguhnya
di katakan "kosong", dan mengatasi perhatian melalui enam landasan
indriya kita yang salah.
c. Samma samadhi: kosentrasi benar.
Pembinaan pikiran
yang terus menerus melalui praktek meditasi melalui dua bentuk Samadhi Samatha
dan Vipassana yang bertujuan mencapai kehidupan yang bahagia, serta menuju ke
arah kehidupan yang suci, pencapaian tahap kesucian, menuju penembusan
kesunyataan maka tercapailah Nibbana. Tujuan sebenamya meditasi bukanlah
kekuatan gaib. melainkan kosentrasi pikiran melalui pemegangan obyek yang kuat
dan pengendalian pikiran yang kuat menuju kosentrasi yang penuh seperti yang
akan diuraikan dalam pelajaran samadhi.
Satu jalan mulia
beruas delapan inilah mempunyai tahap pelaksanaan dari Sila Sikkha, lalu
Samadhi Sikkha maka akan tercapai Pañña Sikkha. Tanpa adanya sila yang kuat
kedua hal tersebut di atas tak akan tercapai. Dukkha yang terjadi pada manusia
adalah disebabkan adanya arus kekotoran batin. Pembasmian arus kekotoran batin
ini adalah dengan memupuk pelaksanaan satu jalan mulia beruas delapan.
ARUS KEKOTORAN BATIN
Dukkha yang
terjadi pada manusia adalah di sebabkan adanya arus kekotoran batin. Pembasmian
arus kekotoran batin ini adalah dengan memupuk pelaksanaan satu jalan mulia
beruas delapan.
Bila kita
melaksanakan "sila" maka kita mengusir arus kekotoran batin
untuk sementara pada suatu saat akan timbul kembali bila kita berpaling dari
"sila".
Bila kita tetah
melaksanakan "samadhi", maka arus kekotoran batin itu telah
diusir jauh, dan memerlukan waktu yang cukup lama untuk kembali, seandainya
kita berpaling dari "samadhi". Maka kekotoran batin itu akan timbul
kembali.
Apabiia kita telah
sampai pada "pañña", maka arus kekotoran batin itu sudah kita
musnahkan, dan tidak akan muncul kembali lagi. Kita memperoleh kebahagiaan yang
tertinggi, kesucian (Nibbana).
0 komentar:
Posting Komentar