Minggu, 02 Februari 2014

JENAZAH BUDDHA



PENGHORMATAN TERAKHIR
   TERHADAP JENAZAH SANG BHAGAVA

Setelah Buddha mencapai Mahaparinibbana, malam harinya Bhikkhu Anuruddha dan Bhikkhu Ananda berbincang mengenai Dhamma. Kemudian Bhikkhu Anuruddha berkata kepada Ananda : “ Ananda, sekarang pergilah ke Kusinara dan umumkan kepada suku Malla : “Para Vasettha, Sang Bhagava telah wafat! Berbuatlah apa yang Anda anggap Baik!.”

“Baik, Bhante” dan menjelang keesokan harinya, dengan membawa mangkuk dan jubah luarnya, bersama seorang Bhikkhu lainnya Setelah Buddha mencapai Mahaparinibbana. Pada saat itu warga suku Malla dari Kusinara tengah berkumpul di ruang pertemuan untuk urusan tertentu. Bhikkhu Ananda menemui mereka dan menyampaikan pesan Bhikkhu Anuruddha : “Para Vasettha, Sang Bhagava telah wafat! Berbuatlah apa yang Anda anggap Baik!.”

Ketika mereka mendengar pengumuman Ananda, maka warga suku Malla dengan anak-anak mereka, para menantu, serta istri mereka, semuanya merasa sangat sedih, menderita dan berduka cita. Karena sedih, mereka menjambaki rambut mereka sendiri, mengangkat lengan mereka, menghempaskan diri ke tanah, dan berguling-guling seraya meratap:“ Alangkah cepatnya Sang Bhagava mencapai Parinibbana! Alangkah cepatnya Yang Maha Suci mencapai Parinibbana! Alangkah cepatnya Sang Guru lenyap dari dunia ini!.”

Kemudian warga suku Malla dari Kusinara memerintahkan orang-orang mereka untuk mengumpulkan semua wangi-wangian, bunga, dan segala alat musik dari Kusinara ke hutan Sala. Kemudian warga suku Malla dengan membawa wangi-wangian, bunga, lima ratus helai kain panjang, meraka menuju ke hutan Sala tempat jenazah Sang Bhagava dan memberi hormat dengan tarian, nyanyian, disertai tabuhan musik serta menaburkan bunga dan wangi-wangian. Dan mereka membuat tenda kain untuk berkemah, mereka melewati hari itu sambil terus melakukan upacara penghormatan terhadap jenazah Sang Bhagava. Lalu mereka berpikir: “Hari ini sudah terlalu siang untuk memperabukan jenazah Sang Bhagava. Kita akan lakukan besok saja.”Dengan demikian, mereka melalui hari kedua, ketiga, keempat, kelima dan keenam dengan melakukan upacara penghormatan kepada jenazah Sang Bhagava dengan cara yang sama.

Tetapi pada hari ketujuh, mereka berpikir: “Kita telah cukup memberi penghormatan kepada jenazah Sang Bhagava dengan tarian, nyanyian disertai tabuhan musik serta penaburan bunga\dan wangi-wangian, Mari sekarang kita bawa jenazah Sang Bhagava ke arah selatan ke luar kota dan memperabukan jenazah-Nya.”

Kemudian, delapan orang suku Malla dari keluarga terkemuka, mandi dan berkeramas sampai bersih dan mengenakan pakaian baru, mereka berpikir: “sekarang kita akan mengangkat jenazah Sang Bhagava. Mereka lalu bersama-sama mengerahkan tenaga untuk memikul jenazah Sang Bhagava, namun mereka tak mampu melakukannya. Mereka kemudian menemui Bhikkhu Anuruddha dan memberitahukannya apa yang telah terjadi, lalu bertanya: “Mengapa kami tak mampu mengangkat jasad Sang Bhagava?”

“Para Vasettha, kehendak kalian bertentangan dengan kehendak para dewa.”
“Jika demikian, Bhikkhu, apakah kehendak para dewa itu?”

Para Vasettha, kehendak kalian adalah seperti ini: “ Setelah cukup memberi hormat dengan nyanyian, tarian, bunga dan wangi-wangian terhadap jenazah Sang Bhagava, sesudah itu mari kita bawa jenazah Sang Bhagava ke arah Selatan menuju ke arah Selatan kota dana akan memperabukan jenazah Sang Bhagava.”
  
Namun kehendak para dewa,  adalah “Kami sudah memberi penghormatan kepada jenazah Sang Bhagava dengan nyanyian, tarian, bungam dan wangi-wangian, baiklah kita bawa jenazah Sang Bhagava ke arah Utara ke luar kota. Setelah itu melewati pintu gerbang Utara dan kami akan melewati tengah kota, dan kemudian ke arah Timur ke Makutabandhana, cetiya suku Malla, dan di tempat itulah, kami akan memperabukan jenazah Sang Bhagava.”

“Bhikkhu, mari kita ikuti kehendak para dewa.”

Pada waktu itu, Kusinara sampai ke pelosok-pelosok ditimbuni dengan bunga Mandarava hingga setinggi lutut, sampai menutupi timbunan sampah dan kotoran. Selanjutnya para Dewa dan Suku Malla dari Kusinara dengan nyanyian, tarian, bungam dan wangi-wangian alam dewa dan manusia, mereka membawa jenazah Sang Bhagava ke arah Utara kota lalu melewati pintu gerbang Utara berjalan ke pusat kota, lalu keluar melalui gerbang Timur ke Makutabandhana, cetiya  suku Malla, tempat jenazah Sang Bhagava dibaringkan.

Kemudian mereka bertanya kepada Bhikkhu Ananda: “ Bhikkhu, bagaimana kami seharusnya memperlakukan jenazah Sang Tathagata?”

“Para Vasettha, kalian harus memperlakukan jenazah Tathagata laksana jenazah seorang Raja Dunia/Adiraja.”
“Dan bagaimana mereka melakukannya, Bhikkhu?”

“Para Vasettha, jenazah seorang Raja Dunia, mula-mula dibalut dengan kain linen baru, kemudian dilapis dengan kain wol katun, dan balutan ini di teruskan sampai terdapat lima ratus lapis kain linen dan lima ratus lapis kain wol katun. Apabila itu sudah dikerjakan di sebuah peti dari besi dan di tutup dengan satu peti dari besi yang lain. Lalu, harus dibangun satu tempat pembakaran yang terdiri dari berbagai jenis kayu wangi dan selanjutnya jenazah Raja Dunia diperabukan. Beginilah cara mereka memperlakukan jenazah seorang Raja Dunia, maka hal yang serupa juga harus dilakukan terhadap jenazah Sang Tathagata. Kemudian sebuah stupa harus dibangun di perempatan jalan. Dan barang siapapun yang meletakkan bunga, dupa atau kayu cendana, atau memberi penghormatan dengan hati yang penuh bakti akan orang itu akan memperoleh kebahagiaan untuk waktu yang lama.”

Kemudian suku Malla memberi perintah kepada orang-orangnya untuk mengumpulkan kain wol katun yang ada dari suku Malla, dan mereka memperlakukan jenazah Sang Bhagava menurut petunjuk Bhikkhu Ananda.

Tatkala upacara perabuan itu berlangsung di Kusinara, Bhikkhu Maha Kassapa sedang berada dalam perjalanan dari Pava menuju Kusinara dengan lima ratus orang Bhikkhu. Pada suatu ketika Bhikkhu Maha Kassapa berhenti di pinggir jalan dan mencari tempat duduk dibawah pohon rindang. Saat itu,

Ada seorang petapa kelana (Ajivaka) dengan membawa bunga Pohon Karang (Mandarava) dalam perjalanan  dari Kusinara menuju Pava. Dan Bhikkhu Maha Kassapa dari jauh sudah melihatnya, lalu sudah dekat Beliau lalu menyapa: “Apakah anda mengenal dengan Guru kami?”

“Benar, aku mengenal-Nya. Tetapi Beliau sudah wafat 7 hari yang lalu. Saya mengambil bunga pohon karang ini dari tempat wafat-Nya.”

Mendengar berita duka itu, maka sebagian Bhikkhu yang belum terbebas dari nafsu keinginan, mereka menjambaki rambut mereka sendiri, mengangkat lengan mereka dan menangis tersedu-sedu, menghempaskan diri ke tanah dan berguling-guling seraya meratap: “Alangkah cepatnya Sang Bhagava memasuki Parinibbana! Alangkah cepatnya Sang Mata Dunia lenyap dari dunia ini!”
Namun para Bhikkhu yang telah terbebas dari nafsu keinginan menerimanya dengan perhatian murni dan penuh kesadaran, mereka berkata: “Segala sesuatu yang terbentuk tidaklah kekal. Bagaimana mungkin bahwa apa yang terlahir, muncul, terbentuk, dan yang pasti hancur menjadi tak akan hancur? Itu tidak Mungkin!”

Pada waktu itu, diantara kumpulan Bhikkhu, hadir pula seorang Bhikkhu yang bernama Subhadda, yang telah ditahbiskan dalam usia lanjut. Subhadda lalu berkata kepada para Bhikkhu itu: “Cukup, sahabat! Jangan bersedih! Jangan meratap! Bukankah Sang Bhagava senantiasa membabarkan, bahwa segala sesuatu yang menyenangkan dan yang kita cintai akan terpisah dan berubah? Bagaimana mungkin bahwa apa yang terlahir, muncul, terbentuk, dan yang pasti hancur menjadi tidak hancur? Itu tidak Mungkin!”

Sementara itu, empat orang suku Malla dari keluarga terkemuka, mandi dan berkeramas lalu mengenakan pakaian baru, mereka berpikir: “Kita akan menyalakan api pembakaran jenazah Sang Bhagava”, namun waktu mereka berusaha menyalakannya, ternyata mereka tidak berhasil. Mereka lalu menghadap Bhikkhu Anuruddha dan menanyakan kepadanya mengenai penyebabnya.

“Para Vasettha, kehendak kalian bertentangan dengan kehendak para dewa.”
“Jika demikian, Bhikkhu, apa kehendak para dewa itu?”
“Para Vasettha, kehendak para dewa adalah begini: “Bhikkhu Maha Kassapa sedang dalam perjalanaan dari Pava menuju Kusinara, dengan diiringi lima ratus orang Bhikkhu. Api pembakaran jenazah Sang Bhagava tidak bisa menyala sebelum Bhikkhu Maha Kassapa memberikan sembah hormat pada kaki Sang Bhagava!”

“Bhikkhu, mari kita ikuti kehendak para dewa.”

Bhikkhu Maha Kassapa kemudian tiba di Cetiya dari suku Malla yang bernama Makuta-bandhana, di Kusinara, Beliau segera mendekati tempat dimana Sang Bhagava akan di perabukan. Beliau mengatur jubah dibahu, dengan tangan tertangkup yang di tempelkan ke kening, kemudian berjalan mengelilingi jenazah Sang Bhagava tiga kali dengan bahu kanan menghadap ke perapian itu. Lalu 
memberi hormat pada kaki Sang Bhagava. Hal yang sama pun dilakukan oleh lima ratus Bhikkhu lain yang datang bersama Bhikkhu Maha Kassapa. Setelah Bhikkhu Maha Kassapa dan Lima ratus Bhikkhu lainnya selesai memberi penghormatan, dengan tiba-tiba api menyala dengan sendirinya, membakar jenazah Sang Bhagava.

Ketika jenazah Sang Bhagava habis terbakar, maka semua kulit, jaringan, daging, urat dan cairan telah terbakar habis tanpa meninggalkan abu atau bagian-bagian apapun juga, hanya tulang-tulang yang tertinggal. Dan diantara kelima ratus lapis kain pembungkus berlapis, hanya dua lapis yang tidak terbakar, yaitu lapisan yang paling dalam dan yang paling luar.

Setelah jenazah Sang Bhagava habis terbakar, hujan lalu turun dari langit dan memadamkan api perabuan, sedangkan dari Pohon Sala juga keluar air. Orang-orang suku Malla dari Kusinara juga membawa air wangi, dan dengan air ini mereka membantu memadamkan api perabuan dari Sang Bhagava.

Kemudian warga suku Malla dari Kusinara menempatkan relik-relik dari Sang Bhagava di tengah-tengah ruangan sidang, dikelilingi dengan tombak, lalu dikelilingi lagi dengan pagar busur. Selama tujuh hari mereka memberi hormat kepada relik-relik Sang Bhagava dengan melakukan tarian-tarian, nyanyian disertai musik serta penaburan bunga dan wangi-wangian.











K. PEMBAGIAN RELIK


Tatkala Raja Ajatasattu dari Magadha, putra dari Videhi, mendengar bahwa Sang Bhagava telah wafat di Kusinara, Beliau segera mengirimkan utusan untuk menemui suku Malla di Kusinara, lalu berkata: “Sang Bhagava asalnya dari kasta Kshatriya, dan demikianlah juga aku. Aku berhak untuk menerima sebagian relik dari Sang Bhagava. Untuk relik itu aku juga akan mendirikan stupa besar untuk menyemayamkan dan memuliakan relik Sang Bhagava.”

Demikian pula halnya dengan para pangeran Licchavi dari Vesali, para Pangeran Sakya dari Kapilavatthu, para pangeran Buli dari Allakappa, para pangeran Koliya dari Ramagama, sang Brahmin dari Vethadipa, dan para Pangeran dari pava. Mendengar bahwa Sang Bhagava telah wafat di Kusinara, mereka segera mengirimkan utusan mereka untuk menemui kaum Malla di Kusinara untuk mendapatkan bagian relik Sang Bhagava. Untuk itu masing-masing bagian relik itu, mereka pun akan membangun stupa untuk menyemayamkan dan memuliakannya.

Mendengar kata-kata ini, Suku Malla dari Kusinara menjawab mereka: “Sang Bhagava wafat di daerah kami. Kami tak akan memberikan bagian relik Sang Bhagava sedikit pun.”

Dengan jawaban itu situasi memanas. Pada saat yang kritis ini, Brahmin Dona datang untuk mendamaikan mereka, ia berkata kepada kumpulan orang itu dengan lantunan Syair:

“Tuan-tuan, dengarkanlah diriku!
Buddha telah menagjarkan kita kesabaran.
Sesungguhnya, tidaklah pantas kita bersitegang
Terhadap pembagian relik orang yang suci.”

“Tuan-tuan,marilah kita bersatu selaras dan damai,
Bermufakat dengan suka cita membagi relik menjadi delapan bagian.
Marilah kita dirikan stupa di semua penjuru,
Agar semua makhluk bisa memuliakan dan memperoleh keyakinan terhadap Yang Empunya Mata Kebijaksanaan.”

Kemudian kumpulan orang-orang itu menjawab: “Jika demikian Brahmin, bagilah relik Sang Bhagava dengan cara terbaik dan teradil menjadi delapan bagian yang sama rata!”

“Baiklah, Tuan-Tuan,” kata Brahmin Dona menyetujui. Ia membuka peti emas tempat penyimpanan relik itu, lalu membagi relik Sang Bhagava secara adil menjadi delapan bagian yang setara. Setelah selesai, Brahmin Dona bertanya kepada kumpulan orang-orang itu: “Tuan-Tuan, berikanlah Bejana ini untuk saya! Saya pun akan mendirikan sebuah stupa besar untuk memuliakannya.” Dengan demikian, mereka memberikan bejana itu kepada Brahmin Dona.

Kemudian para pangeran Moriya dari Piphalivana juga mendengar bahwa Sang Bhagava telah wafat di Kusinara. Mereka juga mengirimkan utusan untuk menemui Kaum Malla di Kusinara guna meminta relik Sang Bhagava, namun mereka tiba sangat lambat.

Tatkala utusan kaum Moriya tiba di ruang pertemuan kaum Malla di kusinara, pembagian relik Sang Bhagava baru saja selesai. Ketika mereka meminta bagian mereka, kaum Malla dari Kusinara berkata: “ Tiada lagi sisa bagian relik Sang Bhagava, semuanya telah terbagi habis. Kalian boleh membawa pulang sisa-sisa kayu bakar dari tempat perabuan itu.” Demikianlah, mereka membawa pulang sisa-sisa kayu bakar itu.

Raja Ajatasattu dari Magadha mendirikan sebuah stupa besar untuk menyemayamkan relik Sang Bhagava di Rajagaha. Para Pangeran Licchavi dari Vesali mendirikan sebuah stupa besar di Vesali. Para pangeran Sakya dari Kapilavatthu mendirikan sebuah stupa besar di Kapilavatthu. Para Pangeran Buli dari Allakappa mendirikan sebuah stupa besar di Allakappa. Para Pangeran Koliya dari Ramagama mendirikan stupa besar di Ramagama. Sang Brahmin dari Vetthadipa mendirikan sebuah stupa besar di Vethaadipa. Para Pangeran dari Pava mendirikan sebuah stupa besar di Pava. Para Pangeran Malla dari Kusinara mendirikan sebuah stupa besar di Kusinara. Brahmin Dona mendirikan stupa besar untuk menyemayamkan bejananya, dan para Pangeran Moriya dari Pipphalivana mendirikan Pipphalivana, untuk memuliakan dan menghormatinya. Dengan demikian, delapan stupa di dirikan untuk menyemayamkan relik tersebut, satu stupa untuk menyemayamkan bejana relik, dan satu stupa lagi untuk menyemayamkan sisa-sisa kayu bakar tersebut.

Demikianlah kisah yang di ceritakan sejak jaman dulu.

Dibagi delapan relik dari Sang Bhagava
Yang Maha Tahu, Manusia Yang termulia.
Tujuh di puja di Jambu-dipa,
Satu di Ramagama oleh Raja Suku Naga
Satu gigi di puja di surga Tavatimsa
Satu di wilayah Kalinga,
Dan satu lagi di kerajaan suku Naga
Dengan sinar terang menerangi dunia ini
Dan memberinya berkah yang baik sekali.
Relik-relik dari Sang Bhagava paling tepat di puja
Oleh karena itu mereka berharga mendapat pujian,
Oleh para dewa dan Naga dan
Oleh Manusia bijaksana yang terkemuka.

Berilah hormat dengan merangkapkan kedua tanganmu!
Sebab sangatlah sulit, bahkan melalui beratus-ratus tahun
Baru dapat berjumpa dengan seorang Buddhis Yang Maha Sempurna!


Sumber buku:Bhikkhu Kusaladhamma, Kronologi Hidup Buddha, Karaniya
Pandita Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gautama, Jakarta, Nalanda 1979

0 komentar:

Posting Komentar