C’HAN
ATAU ZEN BUDDHISME
A.
Latar Belakang
C’han atau Zen merupakan aliran Budhisme yang
lebih menitikberatkan pada meditasi atau pengalaman langsung. Sehingga dalam
hal ini penyusun membahas mengenai hal-hal yang berhubungan dengan meditasi
atau pengalaman langsung, dan Zen ini apabila dilaksanakan dalam kehidupan
sehari-hari, maka praktisi akan lebih menerima manfaat yang sebenarnya dari
pada yang hanya mempelajari kitab suci.
Penyusunan makalah bertujuan
agar para pembaca dapat memahami dan mengetahui ajaran Zen, serta dapat
melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari.
B.
Rumusan Masalah
Bagaimanakah ajaran yang
terkandung dalam C’han atau Zen Buddhisme?
C.
Batasan Masalah
Menjelaskan ajaran yang
terkandung dalam C’han atau Zen Buddhisme.
D.
Tujuan
Memberikan pemahaman mengenai
ajaran C’han atau Zen Buddhisme.
E.
Manfaat
Ajaran Zen Buddhisme yang sudah
dipahami diharapkan dapat memberikan pemahaman dan dilaksanakan atau
dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Zen Budhisme
Zen merupakan sebuah kata jepang, dalam kata cina
yaitu c’han-na, dan dalam bahasa sansekerta yang berarti Dhyana yang secara
umum berarti pelatihan atau pengalaman meditasi. Zen Buddhisme adalah sebuah
aliran dalam agama Buddha yang menekankan pentingnya meditasi. Zen juga
mewakili puncak spiritualitas dalam agama Buddha yang berintikan tentang
transisi jiwa ajaran Buddha yang bersifat istimewa.
Dalam kehidupan lampau sang Buddha, pada waktu itu
sang Buddha sedang duduk dihadapan sekumpulan siswanya yang diam tenang menanti
beliau bersabda, tetapi beliau tak bersabda sepatah kata pun. Ditengah
keheningan beliau mengangkat sekuntum bunga dan memperhatikan reaksi
siswa-siswanya. Sementara semua yang hadir tetap diam tak mengerti tindakan
beliau, Kasyapa adalah salah satu seorang siswanya yang tertua tersenyum
mengerti ungkapan beliau. Peristiwa tersebut tidak mudah untuk dijelaskan yaitu
komunikasi spiritual tingkat tinggi yang terjadi antara Sang Buddha dengan
Kasyapa adalah sebuah pewarisan atau transmsi proses pencerahan pikiran yang
tidak lagi memerlukan kata-kata sebagai media. Hal itu hanya terjadi dari
pikiran yang cerah sempurna kepada pikiran yang hampir sempurna yang hanya
memerlukan sentuhan halus untuk membimbingnya.
Transmisi ini berlangsung
turun temurun dari murid ke murid, mula-mula dari Buddha kepada Kasyapa
kemudian dari Kasyapa kepada Ananda, dan seterusnya sehingga berjumlah 28 orang
yaitu: 1) Sakyamuni Buddha, 2) Maha Kasyapa, 3) Ananda, 4) Sanavasa, 5) Upagupta,
6) Dhritaka, 7)Micchaka, 8) Buddhanandi, 9)Buddhamitra, 10) Bhiksu Parsva, 11) Punyayasas,
12) Asvaghosha, 13) Bhiksu Kapimala, 14) Nagarjuna, 15) Kanadeva, 16) Arya
Rahulata, 17) Samghanandi, 18) Samghayasas, 19) Kumarata, 20) Jayata, 21) Vasubhandhu,
22) Manura, 23) Hakkenayasas, 24) Bhiksu Sinha, 25) Vasasita, 26) Punyamitra,
27) Prajnatara, 28) Bodhidharma.
Sesepuh Zen India ke-5 (Upagupta) bagaimana
Upagupta Thera berhasil meyakinkan kembali Dewa Mara untuk mengucapkan
aspirasinya menjadi Sammasambuddha. Diceritakan bahwa pada saat akan dilakukan
konsili Buddha ke-3 yang disponsori oleh Raja Asoka. Mogaliputta Thera yang
mengetuai konsili ini bahwa konsili buddhis kali ini akan diganggu oleh Dewa
Mara yang berasal dari sorga Parranimmitavassavati. Tetapi Mogaliputta Thera
tahu hanya seorang bhikkhu yang bernama Upagupta yang bersemayam di laut
Selatan yang mampu mengatasi Dewa Mara ini. Maka diutuslah orang untuk
mengundang Upagupta Thera.
Pada saat pelaksanaan konsili. Dewa Mara dengan keangkuhannya menciptakan badai dan angin kencang untuk mengacaukan suasana konsili. Tetapi Upagupta Thera dengan kesaktian (Abhinna) mengembalikan semua pada tempatnya.
Pada saat pelaksanaan konsili. Dewa Mara dengan keangkuhannya menciptakan badai dan angin kencang untuk mengacaukan suasana konsili. Tetapi Upagupta Thera dengan kesaktian (Abhinna) mengembalikan semua pada tempatnya.
Dewa Mara kemudian merubah dirinya menjadi Naga
dan menyerang Upagupta Thera. Upagupta juga merubah dirinya menjadi Garuda
raksasa yang balik menyerang Mara. Naga yang kalah bertarung kemudian melarikan
diri ke pegunungan himalaya dan dikejar oleh Garuda (Upagupta) yang pada
akhirnya Naga berhasil ditaklukkan oleh Garuda (Upagupta) tetapi Dewa Mara
dengan ego-nya masih tidak merasa takluk kepada Upagupta Thera.
Akhirnya Upagupta dengan kesaktiannya menciptakan bangkai anjing yang bau membusuk dan dikalungkan ke kepala Dewa Mara. Dewa Mara berusaha melepaskan tetapi tidak berhasil. Merasa tidak berhasil didunia, Dewa Mara kemudian lari ke Sorga Catumaharajika dan mencari Dewa Catumaharajika. Tetapi Dewa Catumaharajika mengatakan bahwa Dewa Mara dari Sorga yang lebih tinggi tidak dapat melepasakan kalung bangkai anjing itu, maka mereka juga tidak akan mampu.
Akhirnya Upagupta dengan kesaktiannya menciptakan bangkai anjing yang bau membusuk dan dikalungkan ke kepala Dewa Mara. Dewa Mara berusaha melepaskan tetapi tidak berhasil. Merasa tidak berhasil didunia, Dewa Mara kemudian lari ke Sorga Catumaharajika dan mencari Dewa Catumaharajika. Tetapi Dewa Catumaharajika mengatakan bahwa Dewa Mara dari Sorga yang lebih tinggi tidak dapat melepasakan kalung bangkai anjing itu, maka mereka juga tidak akan mampu.
Dewa Mara kemudian naik ke sorga Tavatimsa dan
mencapai Dewa Sakka. Tetapi Dewa Sakka juga tidak dapat melepaskan kalung
bangkai anjing itu. Dan dikatakan bahwa hanyalah Upagupta Thera sendiri yang
bisa melepaskan bangkai anjing tersebut. Akhirnya dengan terpaksa Dewa Mara
kembali menemui Upagupta Thera dan memohon untuk dilepaskan kalung bangkai anjing
tersebut. Upagupta Thera kemudian memberikan wejangan kepada Dewa Mara tentang
aspirasi dewa Mara untuk menjadi seorang samma sambuddha di masa mendatang.
Dewa Mara kemudian tersadar dan mengucapkan kembali aspirasinya untuk menjadi
samma sambuddha di masa mendatang dan Upagupta Thera kemudian melepaskan kalung
tersebut.
Upagupta Thera kemudian berkata bahwa pertemuan mereka ini diakibatkan adanya ikatan karma antara mereka berdua pada masa lampau.
Upagupta Thera kemudian berkata bahwa pertemuan mereka ini diakibatkan adanya ikatan karma antara mereka berdua pada masa lampau.
C’han Buddhisme tumbuh di Cina, dan
diperkembangkan dalam mazhab Mahayana melalui filsafat dan kebudayaan Tionghoa
yaitu Konfucuisme dan Taoisme yang akhirnya berkembang dijepang (Zen Buddhisme)
dan terwujud konkrit dalam beberapa ciri khas kebudayaan jepang. Dua aliran filsafat yang mendasari
kebudayaan Tionghoa mempengaruhi pertumbuhan C’han Buddhisme yaitu Konfucuisme
yang bersifat positif terhadap relitas dunia dan kemanusiaan serta bersifat
pragmatis, dan Taoisme yang bersifat mistik mengatasi intelek.
Filsafat Konfucuisme dekat dengan masalah-masalah
yang konkrit, menghindari pikiran-pikiran spikulatif, dan menekankan segala
keberadaan hubungan manusia pada tempatnya dan waktunya saat ini. Taoisme
terdapat gagasan yang terkenal yaitu Wu-wei yang artinya tidak bertindak dan
membiarkan hal-hal terjadi (menurut hukum-hukum sendiri). Kejahatan menurut tokoh
utama terjadi bila manusia berusaha untuk memaksakan kehendaknya melawan
hukum-hukum tersebut. Tao juga dapat dibandingkan dengan sunyata atau
kekosongan dalam aliran Madhyamika.
Lao Tzu tokoh utama dalam Taoisme menyatakan bahwa
Tao merupakan kekosongan itu bukanlah bersifat negatif. Dalam Madhyamika yang
dipelopori Nagarjuna yang terkenal dengan metodenya yaitu prasannappada,
dialektik kritis untuk memperlihatkan kemustahilan dari intelek atau
penipuan-penipuan yang terkandung dalam pikiran intelektif, maka Zen sama
sekali tidak mengembangkan suatu sistem filosofis yang mengandalkan intelek,
melainkan terjun langsung dalam meditasi yang mengatasi pikiran.
Tokoh utama C’han Buddhisme
adalah Bohiddharma, seorang Bhikkhu dari India Utara yang merantau ke Cina
(Boddhidharma juga dikenal sebagai perintis perguruan kungfu biara Shaolin).
Zen Buddhisme lahir dan tumbuh membesar di bumi Cina (kemudian di Jepang)
semenjak kedatangan Boddhidharma (Ta Mo/Daruma/Tat Mo Cou Su) pada tahun 620.
Boddhidharma menurunkan ajaran Dhyana
kepada muridnya, Hu K’o yang menjadi
sesepuh kedua aliran C’han di Cina yang dikenal enam sesepuh yaitu : 1)
Boddhidharma, 2) Hui Khe, 3) Shen Chie, 4) Tao Sin, 5) Hung Jen, 6) Hui Neng. Setelah
Hui Neng sistim pewarisan sesepuh atau Patriarch ditiadakan, terdapat beberapa
juga Zen Master yang terkenal diantaranya: Master Han San, Fa Jung, Upasaka
Ph’ang, dan Master Ma Tsu.
Zen
diasosiasikan sebagai ajaran yang mengatasi kata-kata, karena kata-kata
tidaklah identik dengan kebenaran. Kata-kata dan kebenaran adalah ibarat jari
telunjuk dan bulan. Jari telunjuk dapat menunjuk bulan, tetapi bukan bulan itu
sendiri. Begitu pula dengan kata-kata hanya menunjuk kebenaran, tetapi bukan
kebenaran itu sendiri. Dasar filsafat Zen yang mengatasi kata-kata diungkapkan
dalam syair yang berbunyi:
Disampaikan diluar kitab suci
Tanpa mempergunakan kata-kata atau tulisan
Langsung tertuju kepada hati/jiwa manusia
Mengenai
sifat asli hati itu sendiri adalah Buddha.
Syair yang
ditulis oleh Hui Neng (yang menyebabkan menjadi pewaris sesepuh ke enam di
Cina) sering diungkapkan sebagai contoh dari yang telah memahami inti Zen
Buddhisme yang mengatasi kata-kata, dan mengatasi syair yang ditulis oleh Shen
Siu yaitu:
Tubuh adalah pohon Bodhi
Hati bagaikan cermin yang berbingkai
Setiap saat rajin membersihkannya
Hingga
tidak terkotori debu
Setelah
mengetahui syair Shen Siu, Hui Neng menulis:
Bodhi sesungguhnya tidak berpohon
Cermin jernihpun bukanlah berbingkai
Pada awalnya memang tiada sesuatupun
Bagaikan
debu dapat mengotori.
Ajaran Zen membimbing pembebasan pikiran
dari ketergantungan terhadap kata-kata juga pengetahuan dan beralih untuk menyelami
kepada pikiran sejati kita sendiri. Dalam Zen kehidupan tidak untuk dirumuskan
dalam konsep yang abstrak atau dibatasi dalam kungkungan antara apa yang boleh
dan yang tidak boleh, melainkan untuk dijalani dengan mempercayakan kepada
tumbuhnya cahaya kebajikan dari pikiran sejati, bukan dari segala jenis
pengetahuan tangan kedua.
Empat
keistimewaan dari C’han atau Zen, karya Edward Conze yang merupakan kutipan
dari karya Maha Pandita Dr. Harsa Swabodhi dari terjemahan Budhism sebagai
berikut:
1. Aspek tradisional Budhisme tidak
dihiraukan
Zen mengarah kepada keBuddhaan secara
langsung, dimengerti diluar tradisi tertulis, gambar-gambar, arca-arca, kitab
suci, upacara, dan tata cara tidak diperhatikan. Zen berpendapat: Apa gunanya
menghitung kekayaan orang lain, sebab memandang sifat pembawaan pribadi itulah
C’han atau Zen.
2. Bertentangan dengan aspek spekulasi
metafisika
Pengikut C’han /Zen tidak menghabiskan
waktu didalam perenunngan metafisika bahkan mereka berusaha untuk menghilangkan
penggunaan akal (rasio). C’han/Zen lebih mengutamakan pandangan terang secara
langsung dari pada ajaran-ajaran yang sukar diketahui dan dimengerti. Kebebasan
dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya: Bhiksu Hsuan Chien
mencapai penerangan sewaktu melihat gurunya memadamkan api lilin.
3. Penerangan serta merta/Satori
Menurut Hui
Neng, mencapai penerangan bukan dengan cara berangsur-angsur tetapi merupakan
suatu proses seketika itu juga, ini sering disalah artikan dan bukan berati
proses persiapan sama sekali tidak ada dan tidak diperlukan. Demikian juga
dengan penerangan yang berati dapat dicapai dengan waktu yang singkat.
Mengharapkan dengan melalui cara hidup yang amat sederhana atau meditasi adalah
seperti’’menggosok batu bata agar dapat dijadikan cermin’’, bukanlah
pengumpulan pahala yang mengakibatkan penerangan, tetapi dengan suatu
pengenalan sifat diri sendiri semata-mata.
4. Proses penyangkalan
Kaum Zen berpendapat bahwa kehidupan
Buddhis hanya dapat dipenuhi dalam proses penyangkalan. Sang Buddha berada
dalam kehidupan sehari-haridan hal tersebut seharusnya dipandang sebagai datang
dan perginya secara bebas dan tidak terikat, itulah yang dimaksud dengan
pandangan luhur. Jikalau seorang hendak berjalan, berjalanlah! Apabila seorang
hendak duduk, duduklah!
Menurut
Dr. Edward Conze didalam bukunya Buddhisme: Zen merupakan suatu perkembangan
metafisika mahayana yang disesuaikan dengan prajna paramita dan konsep yogacara
serta dipengaruhi unsur-unsur Confucianisme dan Taoisme serta dibina dan
dibentuk kembali menurut kondisi dan situasi negeri tiongkok, Korea dan Jepang.
B.
Aliran-Aliran Zen
C’han/Zen
berkembang menurut metode yang berbeda atau keadaan tepat diantaranya sebagai
berikut:
1. Aliran Lin Chi
Aliran ini dikembangkan oleh Master Lin
Chi (850 M), yang telah banyak belajar Sutra dari bermacam-macam aliran Buddhis
serta Vinaya. Aliran ini berkembang secara cepat dan umum dan hingga saat ini
masih berpengaruh. Di Jepang aliran ini cukup kuat denga sebutan Rinzai Shyu.
2. Aliran
Chau Tung
Aliran ini dikembangkan oleh Master Tung
San Liang Chie (807-869) dan Chau San (840-901). Dibandingkan dengan dengan
aliran Lin Chi aliran tersebut lebih luwes dan lunak. Aliran ini berkembang
dengan baik di Jepang dengan sebutan Soto Shyu dan dikorea dengan sebutan
Chogye.
3. Aliran Kuei Yang
Aliran ini dikembangkan olek Kuei San
(771-853) dan Yang San (807-883).
4. Aliran
Yun Men
Aliran ini dikembangkan oleh Yun Men
(862-853).
5. Aliran Fa Yen
Aliran ini
dikembangkan oleh Fa Yen (885-958). Aliran-aliran tersebut tidaklah
berbeda mereka hanya berbeda didalam
cara metode dan cara penyampaiannya serta keadaan setempat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Zen Buddhisme merupakan sebuah aliran dalam agama Buddha yang menekankan
pentingnya meditasi dan mengkhususkan diri dalam hal itu. Zen diasosiasikan
sebagai ajaran yang mengatasi kata-kata, karena kata-kata tidaklah identik
dengan kebenaran. Kata-kata dan kebenaran adalah ibarat jari telunjuk dan
bulan. Kata-kata hanya digunakan untuk menunjuk kebenaran yang berada diatas
kata-kata. Ajaran Zen membimbing pembebasan pikiran dari ketergantungan
terhadap kata-kata juga pengetahuan dan beralih untuk menyelami pada sejati
diri kita sendiri. Dalam Zen, kehidupan tidak untuk dirumuskan dalam konsep
yang abstrak atau dibatasi dalam kungkungan anatara apa yang boleh dan yang
tidak boleh, melainkan untuk dijalani dengan mempercayakan pada tumbuhnya
cahaya kebajikan dari pikiran sejati.
B. Saran
Penyusun mengharapkan
penyusunan makalah C’han atau Zen Buddhisme dapat memberikan manfaat dalam
kehidupan sehari-hari bagi pembaca pada umumnya dan kepada mahasiswa pada
khususnya. Dalam penyusunan makalah tentunya masih terdapat kesalahan dan
kekurangan yang belum diketahui oleh penyusun, sehingga penyusun mengharapkan
kritik dan saran dari semua pihak, guna dalam pembenahan atau penyempurnaan
makalah yang selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ming, Chau. 1987. Beberapa Aspek
Tentang Agama Buddha Mahayana. Jakarta: Buddhis Bodhi.
Priastana, Jo. Priastana Jo. 1999.
Pokok-pokok Dasar Mahayana. Jakarta:
Yasodara Putri.
Swabodhi, Harsa. 1979. Buddha Dharma Berbagai Yana. Medan:
Yayasan Perguruan Bodhi dan Budaya.
0 komentar:
Posting Komentar