Kamis, 20 Februari 2014

agama buddha & politik

AGAMA BUDDHA DAN ILMU POLITIK
A.    Agama dan Politik Moral


Konteks kehidupan sosial kemasyarakatan, hubungan antara agama dan politik memiliki keterkaitan, tetapi tetap harus dibedakan. Satu pihak, masyarakat agama memiliki kepentingan mendasar agar agama tidak dikotori oleh kepentingan politik, karena apabila agama berada dalam dominasi politik, maka agama akan sangat mudah diselewengkan. Akibatnya agama tidak lagi menjadi kekuatan pembebas atas berbagai bentuk penindasan dan ketidakadilan, sebaliknya agama akan berkembang menjadi kekuatan yang menindas dan kejam.
Agama memiliki kewajiban yaitu kewajiban moral agama untuk ikut mengarahkan politik agar tidak berkembang menurut seleranya sendiri yang bisa membahayakan kehidupan. Agama harus dapat menjalankan peran moral, sehingga agama harus dapat mengatasi politik, bukan terlibat langsung ke dalam politik praktis. Karena bila agama berada di dalam kooptasi politik, maka agama akan kehilangan kekuatan moralnya yang mampu mengarahkan politik agar tidak berkembang menjadi kekuatan yang menekan kehidupan dan menyimpang dari batas-batas moral dan etika agama, masyarakat, dan hukum.
Konteks keterkaitan ilmiah, hubungan antara agama dan politik harus diwaspadai sehingga tidak sampai berjalan pada posisi yang salah. Salah satu ukuran atau kunci yang paling mudah dikenal agar dapat menarik batas yang mana politik yang harus dihindari sehingga tidak terjebak ke dalam arus politik kotor, khususnya oleh kaum Buddhis adalah dengan menghindari penggunaan kekerasan. Artinya politik yang harus dihindari adalah politik yang menyangkut perebutan kekuasaan melalui penggunaan kekerasan, termasuk dengan memperalat orang lain atau suatu organisasi, serta menggunakan simbol-simbol agama yang bisa sangat menyesatkan.
Agama secara moral dan politis berada pada posisi yang benar dan agama tidak menjadi alat untuk memperebutkan atau mempertahankan status quo kekuasaan. Sehingga apabila agama mengarah kepada politik kekuasaan, maka agama dalam posisi yang salah dan berbahaya. Terdapat 2 hal keterkaitan yaitu, pertama bagaimana agama dapat membentengi diri mereka dari setiap kecenderungan/kekuatan politik yang berkembang, sehingga agama dapat tetap menjadi kekuatan pembebas dan bukan menjadi yang dibebaskan atau pencipta masalah karena telah terdistorsi oleh kekuatan-kekuatan politik tersebut. Kedua bagaimana agama dapat memainkan peran moral mereka untuk ikut mengarahkan politik agar tidak berkembang menjadi kekuatan yang menyimpang dan menekan kehidupan.
Kedua hal di atas hanya dapat berjalan dengan baik apabila manusia memiliki pemahaman yang cukup mendalam atas setiap proses politik yang berjalan. Tanpa adanya pemahaman atas proses politik, sulit bagi seseroang untuk membentengi diri karena proses pemahaman tersebut akan menimbulkan kepekaan nurani setelah politik berjalan pada arah yang salah, sekaligus menimbulkan suatu perencanaan bagaimana arah politik yang seharusnya dan diharapkan, dengan mempertimbangkan nilai-nilai yang menjadi keyakinan, baik menyangkut rasa keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan.
Kebutaan seseorang atas persoalan politik akan membuat mudah dibodohi oleh kepentingan-kepentingan dan muatan-muatan politik yang tidak jelas arahnya. Jadi usaha agar agama tidak dikotori dan diberi muatan politik tidak berarti agama harus mengalami pendangkalan fungsinya sebagai agen pembebas. Justru pemahaman atas proses politik diperlukan karena agama memiliki peranan yang penting agar nilai-nilai moral dan spiritual mampu memberikan muatan bagi politik, bukan sebaliknya. Pemahaman atas sistem politik, baik yang menyangkut masalah ekonomi maupun sosial menjadi semakin penting bagi seorang Buddhis, karena berbicara mengenai Buddhisme adalah berbicara mengenai bagaimana memahami penderitaan, untuk kemudian memahami sebab dan jalan untuk mengatasinya. Buddhisme akan kehilangan akarnya bila tidak sanggup berbicara dan peduli dengan penderitaan dunia yang sudah sedemikian kompleks.
Penderitaan zaman sekarang tidak mudah untuk dipahami seperti penderitaan pada zaman Buddha. Masyarakat luas pada zaman Buddha tidaklah seburuk sekarang dan sistem yang ada belum terlalu kejam. Dan perubahan seseorang masih dapat memberikan pengaruh yang besar. Contohnya adalah Supata yang dikenal sebagai Anathapindika adalah seorang yang kaya raya, seorang banker pada zaman Buddha, menjadi pendukung seluruh orang miskin di wilayahnya. Tetapi pada zaman sekarang, terdapat seorang banker atau raja yang baik, atau mengganti penguasa yang lalim, tetapi tetap tidak membawa perubahan yang mendasar. Hal ini bukan semata-mata kesalahan si banker atau penguasa yang lalim.
Pemahaman atas sistem politik, ekonomi, maupun ideologi menjadi sangat penting. Usaha untuk mengatasi penghancuran lingkungan, ketidakadilan, dan berbagai kesenjangan sosial, politik, dan ekonomi, menjadi tugas seorang Buddhis. Tetapi tetap berusaha untuk menyadari bahwa setiap komitmen moral yang dimiliki terhadap usaha pembebasan penderitaan, sesungguhnya bersifat politis.
Penderitaan diatasi merupakan komitmen moral, tetapi melakukan perubahan struktural yang tidak demokratis agar rakyat terbebas dari struktur sosial yang menindas dan banyak menimbulkan penderitaan, maupun yang melanggengkan ketergantungan dan ketidak berdayaan merupakan keputusan politik. Pembebasan penderitaan tidak dapat dipahami hanya dalam konteks pribadi, karena Buddhisme selain memberi sarana bagi pembebasan pribadi, juga harus dapat melapangkan jalan bagi pembebasan sosial dan lingkungan.
Perjuangan Ambedhar, seorang pemimpin besar dan bapak konstitusi India, walaupun menjadi Buddhis pada saat akhir masa hidupnya, akan tetapi kedalaman spiritual dan intelektualnya mampu membawa ajaran Buddha dengan cara yang mengagumkan dan tidak hanya menjadikan Buddhisme sebagai sumber pencerahan pribadi, tetapi bagaimana nilai Buddhisme mampu memberikan pengharapan dan pencerahan bagi jutaan rakyat India, yang mengalami banyak ketidakadilan dan pendiskriminan. Buddhisme telah menjadi kekuatan pembebas yang begitu hebat, bukan hanya sebagai pembebasan pribadi, tapi juga pembebasan sosial dan politik.
Ambedhar senantiasa mengingatkan bahwa tidaklah cukup bagi seorang Buddhis berbicara mengenai sebab penderitaan hanya dari kebencian, keserakahan, dan kebodohan individual. Struktur sosial dan politik yang pincang adalah juga sebab penderitaan sebagai sebab-sebab yang tidak tersentuh. Sebagai seorang Buddhis, transformasi pribadi memang harus tetap dilakukan, tetapi akan tetap dibodohi bila tidak memahami secara jelas bagaimana sebuah sistem berjalan dan cara untuk mengubah sistem dan kondisi masyarakat yang menindas.
Etika sosial Buddhis telah menjadi pribadi, maka perlu menginter- pretasikan kembali sehingga sila berguna untuk menuntun cara hidup individu dan harus dapat mempertanyakan berbagai sistem dan kebijaksanaan yang berlangsung dengan melihat bagaimana suatu sistem juga mengandung suatu kekerasan dan penindasan. Pancasila Buddhis misalnya, dalam masyarakat tradisional yang hidup sederhana, masalah-masalah etika/sila juga menjadi mudah dan sederhana. Seseorang dapat saja berkata "Saya baik, saya tidak membunuh, mencuri,….." tapi ketika masyarakat sudah berkembang semakin kompleks, kesederhanaan etika menjadi kurang berfungsi. Tidak mencuri, sila kedua misalnya, secara formal seseorang bukan pencuri. Tetapi bagaimana dengan sistem tata niaga atau sistem embargo ?. Apakah hal tersebut tidak melanggar sila.
Kebijaksanaan (panna) harus mengandung pemahaman yang benar atas diri sendiri dan masyarakat. Bila kita memahami masyarakat dan bila masyarakat dalam kondisi yang diliputi oleh ketidakadilan, pengeksploitasian, dan kekerasan, bagaimana tanggapan atas hal tersebut? Apakah melepaskan tanggung jawab moral sosial dan cukup menjadi "seorang Buddhis yang baik". Apa benar Buddhisme tidak memiliki tanggung jawab dan kepedulian sosial?
Kesadaran-kesadaran yang masih perlu dibangun dan disadari oleh setiap generasi muda Buddhis para calon intelektual muda bangsa. Hal ini menjadi sesuatu yang sangat baru dan asing bagi sebagian besar masyarakat Buddhis, karena terlalu sering membiarkan diri berdiri terlalu jauh dari masalah-masalah sosial politik aktual. Tetapi dengan memahami bahwa sistem adalah bagian yang tidak terlepas dari penyebab penderitaan, seseorang dapat terbuka untuk mulai belajar dari proses sosial politik yang berlangsung, sehingga dapat semakin menyadari hakekat pembebasan yang menjadi amanat dasar dari Dharma.

E.     Agama Buddha dan Politik
Menurut C. Wright Mill semua politik pada hakikatnya adalah pertarungan kekuasaan, dan hal yang paling pokok dari kekuasaan adalah kekerasan. Agama Buddha berbeda dengan politik yaitu yang paling pokok adalah moralitas, kesucian, dan keyakinan. Sehingga agama Buddha menjaga jarak terhadap politik dan Buddha tidak berusaha mempengaruhi kekuatan politik untuk menyiarkan ajarannya, tidak juga mengizinkan ajarannya disalahgunakan untuk menguasai kekuatan politik.
Do-gen (1200-1253) yang berguru pada Ju-ching ditiongkok, dibekali pesan oleh gurunya agar tidak mendekati pembesar atau bangsawan dan jangan tinggal ditempat yang ramai. Menjauhi politik juga seperti menjauhi perangkap keduniawian. Para politikus juga dapat diarahkan agar bekerja dengan cara yang bersih dan bijaksana. Buddha memberikan petunjuk kepada penguasa menyangkut moral dan tanggungjawab dalam menggunakan kekuasaannya.
Georges Balandier berpendapat bahwa kelompok agama merupakan suatu dimensi dari suasana politik; agama dapat dijadikan alat kekuasaan, jaminan kesahannya, atau sarana yang dipakai dalam perjuangan politik. Para politikus ingin mempengaruhi semua lembaga termasuk agama guna meningkatkan pencapaian tujuan politik atau ketika gerakan agama diterima sebagai gerakan politik akan berlindung dibalik agama. Untuk kepentingan politik atau mencari legitimasi, suatu justifikasi dan legalisasi kebijaksanaan dan tindakan politik cenderung memanipulasi agama dan mereduksi pesan-pesan suci agama.
Politikus cenderung menyalahgunakan mimbar agama sehingga merusak kedamaian dan ketenteraman tempat ibadah. Moral, cinta kasih, nilai-nilai kebaikan, dan kerukunan sering kali dikorbankan. Orang atau kelompok atau juga negara dapat memaksakan dan melakukan apa saja atas nama agama, dan karena agama dapat saling menghancurkan antar sesama manusia. Agama tidak lagi melindungi  mana yang benar dan lemah.
Buddha telah menghimbau atau tidak memperbolehkan pengikutnya untuk melibatkan ajarannya atau Dhamma dalam politik negara, akan tetapi agama berperan penting dalam pengarahan politik kepada pandangan yang benar, seperti zaman raja Asoka yang menggunakan peperangan untuk menguasai kerajaan lain, tetapi setelah mengenal agama Buddha, raja Asoka merubah ketatanan negara dengan tidak menggunakan kekerasan dan raja pun membangun rumah sakit dinegara-negaranya serta berbagai perbuatan-perbuatan baik lainnya.

F.      Agama Buddha dan Perang
Perang menurut beberapa orang dapat mencapai perdamaian. Dalam ungkapan Romawi dinyatakan si vis pacem para bellum, artinya untuk mencapai perdamaian bersiaplah perang. Perang merupakan bagian dari kehidupan manusia karena kebencian dilawan dengan kebencian. Buddha menolak peperangan, memasok atau memperjualbelikan senjata juga tidak dibenarkan (A. III. 207). Dalam agama Buddha tidak ada perang suci. Karena perang hanya mengesahkan segala macam kejahatan yang dilakukan terhadap pihak lawan. Orang berperang dengan pikiran yang dipenuhi kebencian, ingin menghancurkan, membasmi, membunuh, maka orang itu terbunuh atau meninggal kemudian, ia dilahirkan di alam yang tidak menyenangkan (S. IV, 309).
Bagaimanapun Buddha mengakui eksistensi prajurit untuk menjaga keamanan dan meindungi negara, namun tradisi keprajuritan tidak berarti harus sama dengan tradisi perang. Prajurit tidak identik dengan kekerasan. Buddha tidak jarang mengemukakan sifat-sifat baik dari seorang prajurit sehubungan dengan latihan keagamaan. Misalkan, prajurit dihargai karena cakap memili medan yang menguntungkan, menembak jitu, menembak secepat kilat dan menembus  atau memenangkan objek sasaran yang luar biasa. Seorang biku mencontohkan sifat tersebut tinggal sesuai dengan cara hidup yang terlatih dan terkendali, dengan tepat menguasai pemusatan pikiran, memahami dengan tepat apa itu kebenaran dan menembus kabut kebodohan, mencapai pembebasan (A. II, 171).

0 komentar:

Posting Komentar