TATA CARA DAN SIKAP YANG BENAR
DALAM MELAKSANAKAN PUJA BHAKTI
Sebelum
mulai membahas topik diatas, kami akan mengemukakan komentar, yaitu :
Dari komentator ternama, Prof.Mukti Ali: pernah menuliskan satu buku yang menerangkan bahwa sesungguhnya Buddha Dharma dan agama itu berbeda. Letak perbedaan ya adalah, apapun juga yang namanya agama termasuk agama Buddha, berangkar dari tradisi dan kebudayaan, berbahasa dogma, kadang-kadang berlaku lokal. Sedangkan kalau Buddha Dharma, itu berangkat dari pikiran jernih, akal sehat, dan pengalaman lugas yang universal, sehingga di dalam Buddha Dharma, bebas berpikir, akal berfungsi, dan bisa ditembus oleh pribadi-pribadi secara total.
Dari komentator ternama, Prof.Mukti Ali: pernah menuliskan satu buku yang menerangkan bahwa sesungguhnya Buddha Dharma dan agama itu berbeda. Letak perbedaan ya adalah, apapun juga yang namanya agama termasuk agama Buddha, berangkar dari tradisi dan kebudayaan, berbahasa dogma, kadang-kadang berlaku lokal. Sedangkan kalau Buddha Dharma, itu berangkat dari pikiran jernih, akal sehat, dan pengalaman lugas yang universal, sehingga di dalam Buddha Dharma, bebas berpikir, akal berfungsi, dan bisa ditembus oleh pribadi-pribadi secara total.
”Budaya
memuja, tradisi sesaji, kepulan asap putih yang menyesakkan, bergelantungan
asesoris sebagai simbolistis, kata manis mengandung misteri abadi, menghibur
manusia yang ketakutan akan kegagalan dan segala kengerian hidup, merupakan
kerangka dasar suatu agama, ”kata Friedrick Nietzche dalam bukunya ”The Will ti
power” kehendak untuk berkuasa. Kekuatan mantra terletak bukan pada suara
ucapannya melainkan hati batin si pengucap. Dari dua sitiran tersebut diterangkan bahwa yang namanya agama-agama apapun
juga berangkat di warnai oleh tradisi dan kebudayaan, termasuk agama Buddha.
Namun kalau berbicara tentang Buddha Dharma; itu lepas dari tradisi dan
kebudayaan karena Buddha Dharma ini berangkat dari pikiran jernih, akal sehat
dan pengalaman lugas yang universal. Karena bersifa universal, ia berlaku di
mana saja, kapan saja, untuk siapa saja, sejak dahulu, sekarang dan yang akan
datang, selalu sama. Karena kalau Buddha Dharma, hukumnya tidak dibuat manusia,
tetapi hukup yang tanpa awal datanpa akhir (yang mutlak). Pilar-pilar Buddha
Dharma adalah : Triratna, catur Ariya Sacca, Ariya Atthangika Magga,
Tilakkhana, Kamma & Punabbhava, Paticca samuppada dan Nibbana. Tetapi kalau
agama, pilar-pilarnya adalah tradisi dan kebudayaan.
Karena itu usah terkejut bila kita berbicara tentang tradisi & kebudayaan (agama), kita harus berhadapan dengan citra, warna, rasa, tradisi, dan kebudayaan yang berbeda-beda. Dalam satu agama, satu pedoman kitab suci, mungkin juga satu nabi, itu pun mempunyai tradisi dan kebudayaan yang berbeda-beda, karena ini berlaku lokal. Karena itu, hendaknya kita bisa memperhatikan antara bagian tradisi & kebudayaan atau agama di satu pihak, dan Buddha Dharma di lain pihak. Kalau tradisi dan kebudayaan, memang akan selalu berbeda-beda, tetapi kalau Buddha Dharma adalah satu.pihak, dan Buddha Dharma di lain pihak. Kalau tradisi dan kebudayaaan, memang akan selalu berbeda-beda, tetapi akalau Buddha Dharma adalah satu.
TATALAKSANA
UPACARA
Disini
kita akan berbicara maslaah tradisi dan kebudayaan yang ada kaitannya dengan
tata laksana upacara menurut tradisi Buddhis. Tentunya kalau berbicara tradisi
& kebudayaan menurut tradisi Buddhis, maka kita melakukan tatacara
penghormatan yang kita tujukan kepada Sang Buddha, Sangh Dharma dan Sangh
Sangha. Kata upacara terdiri dari atas dua suku kata, yaitu: upa dan cara. Upa
artinya dekat dan cara artinya aturan. Intinya yaitu tindakan yang
dilakukan sebagai penghormatan. Kalau dilakukan secara perorangan, itu disebut
sebagai penghormatan, tetapi kalau dilakukan secara berkelompok dengan satu
aturan tertentu, ini disebut sebagai upacara. Kalau kita menghormat kepada Sang
Buddha sendirian, kita cukup memperhatikan diri sendiri, tetapi kalau secara
berkelompok kita harus mempertimbangkan perhitungan sekitar kita agar kita bisa
mendapatkan suatu kerapian dan kebersamaan yang baik. Pada hakikatnya, memang Sang Buddha tidak mengajarkan tata upacara yang khusus
untuk menghormat Beliau, atau menghormat Triratna. Tetapi mengenai
penghormatan, Sang Buddha mengajarkan ada 2 cara menghormat, yaitu menghormat
dengan materi (amisa puja) dan menghormat dengan suatu tindakan (patipatti
puja). Kalau kita menghormat atau memuja kepada siapapun juga yang patut
dihormat dengan materi (amisa puja), misalnya kita memberikan minuman, makanan,
dsb. Tetapi kalau kita melakukan atau mempraktikkan nasihat-nasihat baiknya,
itu dikatakan kita menghormatinya secara praktik/tindakan )patipatti puja).
Pada
intinya orang melakukan penghormatan atau puja ini mempunyai satu tujuan utama
yaitu mendapatkan kebahagiaan. Kebahagiaan tidak bisa datang dengan gratis atau
tiba-tiba. Semua itu harus diusahakan melalui suatu perjuangan. Salah satu
perjuangan untuk mendapatkan kebahagiaan yaitu apapbila kita berani berkorban,
minimal melakukan penghormatan. Dalam menghormat, ada dua aspek, yaitu yang
pertama secara keagamaan yang kedua secara kemanusiaan. Secara keagamaan
sebagai umat Buddha, maka obyeknya adalah Triratna. Secara kemanusiaan menurut
Sang Buddha, adalah kepada ibu, ayah, guru agama, guru biasa dan
raja/pemerintah. Inilah lapangan-lapangan yang subur yang bisa dijadikan obyek
penghormatan, demi mendapatkan kebahagiaan.
Tentu
ada satu alasan mengapa kita melakukan penghormatan kepada orang tua (ortu)
atau kepada Triratna. Kpeada ortu secara kemanusiaan adalah karena ortu adalah
orang-orang yang berjasa langsung kepada kita. Seorang ibu berkorban untuk
anak-anaknya sejak masih dalam kandungan. Sang ibu harus berpantang, tidak
makan ini-itu, menghentikan tindakan ini-itu, dan sebagainya, sampai saat
melahirkan, si ibu berjuang antara hidup dan mati, demi anak yang dilahirkannya.
Itulah sebabnya seorang ibu berhak mendapatkan penghormatan dari anak-anaknya.
Demikian pula dengan ayah, yang mencari nafkah atau penghodupan untuk membiayai
dan membesarkan anak-anaknya. Juga guru rohani atau guru agama, para bhikkhu
dan guru-guru di sekolah. Kepada raja/pemerintah yang secara tidak langsung
memberikan perlindungan kepada masyarakat, perlu kita berikan penghormatan dengan
cara yang tepat.
Di
dalam Aggabodhi Sutta, Sang Buddha menyatakan kalau seseorang menghormat kepada
guru biasa, kreditnya satu. Kepada guru agama, kreditnya 10 kali, kepada
ayahkreditnya 100 kali, kepada ibu kreditnya 1000 kali lipat dari menghormat
guru buasa. Maka beruntunglah ibu-ibu yang mengajarkan Dharma pasti akan
menghormati orang tuanya dengan tepat, sebab dia tahu bagaimana harga/jasanya
orangtua. Kepada raja/pemerintah, misalnya penghormatan yang dilakukan
bersama-sama dalma suatu upacara, seperti pada bendera dikantor-kantor, upacara
pada hari-hari nasional, upacara kenegaraan, dan lain-lainya, semua itu pada
intinya adalah memberikan penghormatan yang dilakukan secara berkelompok.
Sang
Buddha sendiri menurut suatu penghormatan secara praktik/tindakan (Patipatti
Puja). Sesaat menjelang Sang Buddha parinibbana, pohon Sala mendadak berbunga
dan menjatuhkan bunga-bunga. Sang Buddha masih sempat menasehati: bukan cara
itu menghormatiku yang baik. Tetapi apabila engkau sekalian mau melaksanakan
Dharma dengan benar, itulah cara menghormatiku yang baik. Memang kalau kita menghormat
secara materi, nilai atau harganya adalah seharga materi tersebut dan terbatas.
Tetapi kalau secara tindakan, itu harganya lebih tinggi sebab tidak terbatas.
PATIPATTI
PUJA
Ada
dua cra dalam melakukan penghormatan secara tindakan (patipatti puja), yaitu:
1
Secara Keagamaan (ritual),
2
Dan kemasyarakatan (Dhammacariya)
Penjelasan:
Ad. 1. Secara keagamaan (ritual)
Ad. 1. Secara keagamaan (ritual)
Secara ritual, yaitu
dengan melakukan puja bhakti (kebaktian). Kita berpuja bhakti, membaca paritta,
ini merupakan penghormatan yang kita lakukan kepada Buddha, Dharma, Sangha.
Seperti kalau kita membaca paritta Buddhanussati, Dhammanusati, Sanghanusati,
maka secara tidak langsung kita telah melakukan perenungan kepada Buddha,
Dhamma, Sangha. Manfaat yang didapat adalah selain kita mengingat sifat-sifat
luhur Sang Buddha, kita mendapatkan sisi lain dari membaca paritta yaitu
kekuatan. Kalau membaca mantra itu dibaca dengan sungguh-sungguh, dengan cara
yang benar, nien cing akan mempunyai kekuatan, daya, mukjizat. Paritta
(bhs.Pali), Mantra (bhs.Sansekerta), Mantra (bhs.Kawi kuno), ini merupakan
suatu kekuatan. Dari sekian banyak sutra yang ada, sutra mana yang perlu
dibaca? Saudara bisa mendapatkan petunjuk di dalam buku Paritta suci yang sudah
disusun. Disana selain jenis-jenis paritta yang bisa dibaca, juga ada petunjuk
penggunanya. Misalnya ada paritta-paritta untuk membuka toko baru, mendiami
rumah baru, potong rambut, perkawinan, kelahiran, kematian, dlsb. Kadang-kadang
terlihat masih banyak umat yang tidak mengerti atau tidak memperdulikan
pembacaan paritta ini, hal ini disebabkan oleh karena mereka belum sampai pada
keyakinan yang berkaki tiga (Tahu, mengerti dan mengalami). Tetapi bagi mereka
yang benar-benar telah mempunyai keyakinan berkaki tiga karena mambaca salah
satu paritta itu bermanfaat, berguna, maka dia tidak akan
melewatkan, dia akan selalu membacanya dengan sungguh-sungguh.
IRAMA PARITTA
Bagaimana sebenarnya cara membaca
sutra? Dalam pembacaan paritta, hendaknya dengan suara atau nada irama yang
sama. Jangan sampai ada yang tinggi dan rendah, atau keras-keras, tetapi malah
salah. Karena itu perlu diperhatikan irama disekitar kita. Kalau mau baik,
pakailah suara dalam, bukan suara luar. Paritta yang dibaca dengan irama yang
benar dan suar yang baik itu akan mempunyai kekuatan dan pengaruh. Mungkin akan
dijumpai beraneka ragam irama orang membaca paritta. Irama yang disepakati
untuk membawakan pembacaan paritta ini ada 3 jenis. Pertama, dibawakan dengan
irama Sarabannya, kedua dengan irama Samyoga, dan yang ketiga adalah Irama
Magadha. Kalau irama secara Magadha itu yang dibaca sepotong-sepotong. Juga
dalam pembacaan paritta itu ada tanda-tanda bacanya, mana yang harus dibaca
panjang dan mana yang pendek, tekanan suaranya, dan sebagainya. Kalau kita ktia
bisa mendapatkan cara yang benar, selain artinya yang berubah, maka kita akan
mendapatkan suasana yang enak, nafas yang cukup (tidak terengah-engah), tekanan
udara yang baik, pikiran yang bersih. Ini semua akan memberikan pengaruh yang
baik bagi diri sendiri dan kepada lingkungan, yaitu akan mengantarkan suasana
menjadi tenang. Sarana puja bakti Di dalam pelaksanaan pujabakti, maka kita
membutuhkan adanya sarana. Sarana-sarana tersebut adalah:
a. Vihara
Bila kita pergi ke vihara, maka akan bertemu dengan Triratna. Bagi mereka yang telah mengerti harga dan manfaatnya perbuatan untuk mendapatkan kebahagiaan itu, pergi ke vihara bukan karena di dorong oleh lingkungan atau mendapatkan popularitas, tetapi untuk mendapatkan kebahagiaan secara murni bagi pribadinya. Maka dari itu mereka tidak pernah bosan pergi ke vihara, walaupun tidak ada teman atau yang diajak, tidak menjadi penghalang, ia tetap pergi ke vihara untuk melakukan penghormatan kepada Triratna. Di dalam vihara-vihara itu ada bagian-bagian yaitu:Uposathagara (tempat kegiatan/upacara kebhikkhuan), Dhammasala (tempat untuk kebaktian umum), Kuti (tempat tinggal para bhikkhu), dan pohon Bodhi. Pohon Bodhi juga merupakan obyek pemujaan. Kita menghormat kepada pohon Bodhi berarti juga kita menghormat kepada Triratna, karena pertapa Siddhartha mencapai penerangan sempurna di bawah pohon Bodhi. Karena itu di Negara-negara Buddhis seperti Srilanka, Thailand, pohon Bodhi ini dihormati dengan suatu penghormatan yang tinggi sekali. Pohon bodhi itu selalu ditanam di suatu tempat yang dikeramatkan.
Bila kita pergi ke vihara, maka akan bertemu dengan Triratna. Bagi mereka yang telah mengerti harga dan manfaatnya perbuatan untuk mendapatkan kebahagiaan itu, pergi ke vihara bukan karena di dorong oleh lingkungan atau mendapatkan popularitas, tetapi untuk mendapatkan kebahagiaan secara murni bagi pribadinya. Maka dari itu mereka tidak pernah bosan pergi ke vihara, walaupun tidak ada teman atau yang diajak, tidak menjadi penghalang, ia tetap pergi ke vihara untuk melakukan penghormatan kepada Triratna. Di dalam vihara-vihara itu ada bagian-bagian yaitu:Uposathagara (tempat kegiatan/upacara kebhikkhuan), Dhammasala (tempat untuk kebaktian umum), Kuti (tempat tinggal para bhikkhu), dan pohon Bodhi. Pohon Bodhi juga merupakan obyek pemujaan. Kita menghormat kepada pohon Bodhi berarti juga kita menghormat kepada Triratna, karena pertapa Siddhartha mencapai penerangan sempurna di bawah pohon Bodhi. Karena itu di Negara-negara Buddhis seperti Srilanka, Thailand, pohon Bodhi ini dihormati dengan suatu penghormatan yang tinggi sekali. Pohon bodhi itu selalu ditanam di suatu tempat yang dikeramatkan.
b. Cetiya
Setiya sesunguhnya adalah suatu tempat yang digunakan untuk menyimpan barang-barang yang ada hubungannya dengan Sang Buddha, atau peninggalan dari Sang Buddha. Cetiya dapat dikelompokkan menjadi 4 macam, yaitu: Dhatu cetiya, yaitu tempat penyimpanan relic. Relic artinya sisa-sisa jasmani Sang Buddha, karena ketika Sang Buddha Parinibbana dan dikremasikan, jasmani Beliau tidak habis menjadi abu, tetapi tulang-tulangnya mengkristal menjadi relic. Relic itu bentuknya seperti mutiara. Biasanya relic ini disimpan didalam stupa. Jadi, cetiya, stupa, itu merupakan sarana penghormatan atau pemujaan kepada Sang Buddha atau Triratna. Borobudur yang berbentuk stupa, juga merupakan sarana menghormat/memuja Triratna. Paribhoga Cetiya Yaitu seperti kalau kita pergi ke Taman Lumbini (tempat kelahiran Pangeran Siddharta), ke Bodhgaya (tempat pencapaian penerangan sempurna), ke Benares (tempat pembabaran Dharma pertama kali), ke kusinara (tempat Parinibbana Sang Buddha), ini berarti juga kita menghormat Sang Buddha, Sang Triratna. Dhamma Cetiya Kalau kita punya satu set kitab suci Tipitaka, ini disebut Dhamma Cetiya, dan ini merupakan sarana penghormatan juga. Udesika Cetiya Misalnya Buddha Rupang(patung Buddha), Gambar Sang Buddha, Lambang Dhammacakkha, Siripada (tapak kaki mulia Sang Buddha), pohon Bodhi, itu semua juga sarana penghormatan kepada Sang Triratna.
Setiya sesunguhnya adalah suatu tempat yang digunakan untuk menyimpan barang-barang yang ada hubungannya dengan Sang Buddha, atau peninggalan dari Sang Buddha. Cetiya dapat dikelompokkan menjadi 4 macam, yaitu: Dhatu cetiya, yaitu tempat penyimpanan relic. Relic artinya sisa-sisa jasmani Sang Buddha, karena ketika Sang Buddha Parinibbana dan dikremasikan, jasmani Beliau tidak habis menjadi abu, tetapi tulang-tulangnya mengkristal menjadi relic. Relic itu bentuknya seperti mutiara. Biasanya relic ini disimpan didalam stupa. Jadi, cetiya, stupa, itu merupakan sarana penghormatan atau pemujaan kepada Sang Buddha atau Triratna. Borobudur yang berbentuk stupa, juga merupakan sarana menghormat/memuja Triratna. Paribhoga Cetiya Yaitu seperti kalau kita pergi ke Taman Lumbini (tempat kelahiran Pangeran Siddharta), ke Bodhgaya (tempat pencapaian penerangan sempurna), ke Benares (tempat pembabaran Dharma pertama kali), ke kusinara (tempat Parinibbana Sang Buddha), ini berarti juga kita menghormat Sang Buddha, Sang Triratna. Dhamma Cetiya Kalau kita punya satu set kitab suci Tipitaka, ini disebut Dhamma Cetiya, dan ini merupakan sarana penghormatan juga. Udesika Cetiya Misalnya Buddha Rupang(patung Buddha), Gambar Sang Buddha, Lambang Dhammacakkha, Siripada (tapak kaki mulia Sang Buddha), pohon Bodhi, itu semua juga sarana penghormatan kepada Sang Triratna.
c. Stupa
Adalah semacam monument yang dibuat/dibangun sebagai tempat peringatan dan penghormatan kepada Sang Buddha. Stupa melambangkan tempat Buddha. Stupa biasanya dipakai sebagai tempat menyimpan relik. Ad2. Secara Kemasyarakatan (Dhammacariya) Tindakan penghormatan secara kemasyarakatan, adalah: Dana, yaitu sifat mulia yang diwujudkan dalam praktik dapat member dan siap menolong mereka yang perlu dibantu. Piyavaca, yaitu sifat yang diwujudkan dalam praktik ramah-tamah dalam ucapan terhadap orang lain. Atthacariya, yaitu sifat mulia yang diwujudkan dalam suatu perbuatan yang berguna bagi kepentingan orang banyak (masyarakat). Samanattata, yaitu sifat mulia yang berwujud keseimbangan batin dan tidak bersikap sombong serta membeda-bedakan orang lain, memiliki kebijaksanaan sehingga dapat mengendalikan diri.
SIKAP MENGHORMAT
Membahas tentang sikap menghormat,
akan erat sekali hubungannya dengan estetika dan etika. Estetika adalah seni
budaya, sedangkan etika adalah sopan santun. Jadi kita menghormat, melakukan
suatu tindakan yang mengandung makna atau misi seni, agar bisa menjadi lebih
baik. Dan orang itu dinilai punya etika kalau orang tersebut mengenal sopan
santun. Atika di dalam masyarakat Buddhis ini ditanamkan dan diberikan dengan sama. Di
Jawa kuno, orang banyak mendapatkan etika-etika yang ditanamkan sejak zaman
Sang Buddha. Kalau kita berbicara tentang etika, manusia Siddharta adalah orang
yang mempunyai etika tinggi. Karena beliau sebagai pangeran yang semula
disiapkan untuk menggantikan kedudukan raja Suddhodana, ayahnya sudah diajar
dan dibekali dengan etika, tentang sopan santun yang tinggi sekali, juga
tentang seni (estetika). Sebab seorang raja itu adalah figure yang menjadi suri
tauladan oleh rakyatnya. Kalau rajanya tidak mempunya etika dan jiwa seni yang
tinggi, nanti masyarakatnya seperti apa? Etika ini sudah ada sejak dulu sekali,
sejak agama Buddha berkembang dan jaya di bumi nusantara ini. Karena agama
Buddha ini pernah tinggal di nusantara selama seribu tahun, maka bukan mustahil
kalau tradisi, kebudayaan, watak, jiwa, dan kepribadian masyarakat nusantara
banyak dipengaruhi oleh kebudayaan atau tradisi Buddhis.
Etika ini akan sama dimana saja. Dari sekian banyak etika yang ada, tentu sulit
dilakukan oleh masyarakat/umat awam secara utuh. Tetapi kalau seorang bhikkhu
atau samanera, dituntut untuk bisa melakukannya semaksimal mungkin.
Karena itu, untuk orang biasa, sikap menghormat atau etika yang paling dasar
ini diberikan secara umum, selain juga berlaku untuk para bhikkhu dan samanera.
Dan ini akan mempunyai suatu kesamaan bagi seluruh umat Buddha dimana saja
berada.
ETIKA DASAR
Etika yang paling dasar dari sikap menghormat
yang benar adalah:
1
Anjali
2
Namaskhara
3
Pradaksina/padakkhina
4
Utthana
5
Samicikamma
Inilah sikap menghormat secara tindakan yang paling dasar. Jadi kita memberikan penghormatan, apakah kepada Triratna, kepada ayah-ibu, guru, pejabat pemerintah yang sekarang juga sudah memakai sikap dasar tradisi Buddhis ini, dengan cara beranjali. Hanya saja kadang-kadang masih ada yang melakukannya dengan kurang tepat. Padahal ini perlu sekali ditanamkan sejak dini kepada anak-anak. Dengan melakukan hal itu, akan mendapatkan nilai tambah. Seseorang itu bisa dikatakan baik atau tidak baik, pertama-tama dapat dilihat dari tindakannya secara lahiriah. Dalam Vasala Sutta, Sang Buddha berkata, seseorang itu dikatakan Vasala (sampah masyarakat) bukan karena kelahiran. Sebaliknya, seseorang bisa dikatakan brahmana (tingkatan luhur) juga bukan hanya karena kelahiran, tetapi seseorang dikatakan Vasala atau brahmana itu karena pikiran, ucapan dan perbuatannya. Ini menurut Sang Buddha di dalam Vasala sutta.
ANJALI
Anjali yaitu merapatkan kedua belah telapak tangan di ulu hati (didada), telapak tangan berbentuk cekung sehingga kalau ditelungkupkan akan membentuk kuncup bunga teratai. Dengan dapat bersikap anjali bila berjumpa dengan sesama umat Buddha, ini sudah menunjukkan bahwa kita adalah umat Buddha. Karena anjali ini prinsip dasarnya adalah untuk memberikan penghormatan, maka di dalam memberikan penghormatan ini juga bertingkat. Bagaimana tingkatan dari anjali ini? Ada lima tingkatan anjali:
Anjali yaitu merapatkan kedua belah telapak tangan di ulu hati (didada), telapak tangan berbentuk cekung sehingga kalau ditelungkupkan akan membentuk kuncup bunga teratai. Dengan dapat bersikap anjali bila berjumpa dengan sesama umat Buddha, ini sudah menunjukkan bahwa kita adalah umat Buddha. Karena anjali ini prinsip dasarnya adalah untuk memberikan penghormatan, maka di dalam memberikan penghormatan ini juga bertingkat. Bagaimana tingkatan dari anjali ini? Ada lima tingkatan anjali:
1
Kalau kita menghormat kepada Triratna
dengan membaca paritta, maka anjali di ulu hati. Jadi selama pembacaan paritta,
mulai dari vandana, tisanarana, buddhanussati, sampai selesai anjalinya di ulu
hati.
2
Kalau menghormat sesama teman yang
sebaya umurnya, anjali di ujung dagu.
3
Kalau kepada orang yang lebih tua,
anjali di ujung hidung.
4
Kepada guru/bhikkhu, dilekuk hidung
sambil menunduk sedikit.
5 Kepada Buddha, Dharma dan Sangha
(Triratna) baru dikening mata (di dahi), bukan di ubun-ubun. Jadi ada lima
tempat yaitu; di dada, ujung dagu, ujung hidung, lekuk hidung, dan kening
mata/dahi. Dalam bersikap anjali, siku adalah menempel dibadan, tidak terbuka
lebar. Dengan anjali walau beberapa detik ini, disamping kita mendapat nilai
etika secara lahiriah, kita juga telah sempat membuat pikiran menjadi bersih,
sebab tak mungkin pikiran ini dapat melakukan 2 hal pada satu titik di satu
waktu. Jadi pikiran pada saat itu tidak sempat membuat bentuk-bentuk pikiran
yang tidak baik
NAMASKARA/NAMAKHARA
Sikap menghormat yang lebih tingi lagi, yaitu Namaskara. Namaskara ini lebih sulit dari anjali. Dalam namaskara, ada 5 anggota tubuh yang harus menyentuh lantai, dan ada hitungan atau tahapannya.
Sikap menghormat yang lebih tingi lagi, yaitu Namaskara. Namaskara ini lebih sulit dari anjali. Dalam namaskara, ada 5 anggota tubuh yang harus menyentuh lantai, dan ada hitungan atau tahapannya.
PRADAKSINA /PADAKKHINA
Yaitu suatu penghormatan kepada
Triratna dengan cara mengelilingi tempat-tempat tertentu di sebelah kanan kita.
Ini biasanya dilakukan pada saat upacara Waisak atau kebaktian di VIhara.
Mengelilingi Dharmasala, pohon Bodhi, atau stupa, dengan membawa bunga, dupa,
lilin:sebanyak 3 kali. Putaran pertama kepada Buddha, kedua kepada Dhamma dan
ketiga kepada Sangha. Selama berputar itu kita merenungkan sifat-sifat luhur
Buddha, Dhamma dan Sangha. Bisa juga dengan menyanyikan Buddha Jaya Manggala
Gatha, yaitu perenungan/penghormatan atas kedelapan kemenangan Sang Buddha;
atau menyenandungkan lagu “aku berlindung” itu pun baik.
UTTHANA
Yaitu sikap penghormatan dengan cara berdiri. Utthana ini bisa dilakukan secara umum, tidak hanya di lingkup keagamaan. Misalnya sebagai tuan rumah kalau menerima tamu, kita berdiri untuk menyambutnya, syukur bisa dengan anjali. Ini berarti bahwa kita menghormati tamu, senang dengan kunjungannya. Akhir-akhir ini, saya lihat etika ini sudah luntur. Misalnya anak-anak, ada orangtuanya masuk atau lewat, dia acuh saja, tidak perduli. Enak-enak merokok, asyik nonton TV, atau baca Koran. Tetapi kalau anak-anak yang mengerti etika, meskipun baca Koran, belajar, atau mengerjakan sesuatu, kalau ada ortu yang masuk, dia harus berdiri, memberikan hormat atau mempersilahkan lewat duduk misalnya. Sebagai orang yang mengenal etika, semestinya kita dapat mempraktikkan hal ini. Kebiasaan seperti ini terlihat sekali di Negara-negara Buddhis. Penjaga-penjaga Vihara atau penjaga museum, begitu ada tamu datang, mereka mesti berdiri dan memberikan penghormatan. Begitulah tuan rumah yang baik.
SAMICIKAMMA
Yaitu: penghormatan secara tindakan atau perbuatan yang patut dilakukan. Misalnya ada teman di vihara yang menggelar tikar atau menata kursi, meskipun tidak diminta, ya kita bantu menggelar tikar atau menata kursi dan sebagainya. Itu juga suatu penghormatan untuk mendapatkan kebaikan dan kebahagiaan. Yang mendapatkan kebaikan itu bukan orang yang terhormat, tetapi orang yang menghormat. Yang dihormat tidak mendapatkan apa-apa, yang menghormat itu yang mendapatkan nilai tambah. Inilah yang pelu kita perhatikan di dalam melakukan penghormatan. Demikianlah secara umum uraian tentang tatacara dan sikap yang benar dalam melakukan penghormatan
Yaitu: penghormatan secara tindakan atau perbuatan yang patut dilakukan. Misalnya ada teman di vihara yang menggelar tikar atau menata kursi, meskipun tidak diminta, ya kita bantu menggelar tikar atau menata kursi dan sebagainya. Itu juga suatu penghormatan untuk mendapatkan kebaikan dan kebahagiaan. Yang mendapatkan kebaikan itu bukan orang yang terhormat, tetapi orang yang menghormat. Yang dihormat tidak mendapatkan apa-apa, yang menghormat itu yang mendapatkan nilai tambah. Inilah yang pelu kita perhatikan di dalam melakukan penghormatan. Demikianlah secara umum uraian tentang tatacara dan sikap yang benar dalam melakukan penghormatan
0 komentar:
Posting Komentar