PENGANTAR ABHIDHAMMA
A.
Pengertian Abhidhamma
Abhidhamma sebagai istilah Pali secara
etimologi terdiri dari dua kata, yaitu "Abhi"
yang berarti halus, tinggi luas; dan "Dhamma" yang
berarti kebenaran atau ajaran dari Buddha. Jadi Abhidhamma dapat
diberi pengertian sebagai ajaran yang tertinggi atau luhur dari Buddha.
Sebagai ajaran tertinggi, Abhidhamma
memungkinkan seseorang untuk mencapai pembebasan
mutlak dari segala bentuk penderitaan, karena Abhidhamma sangat berguna
untuk mengembangkan pandangan terang (Vipassana).
Abhidhamma merupakan
penuntun yang tak ternilai bagi mereka yang ingin menambah
kebijaksanaan dan melaksanakan kehidupan Buddhis yang ideal. Tetapi
tidak pula dikatakan bahwa Abhidhamma mutlak atau perlu untuk mencapai
kebebasan, pengertian dan pencapaian semata-mata tergantung pada diri masing-masing.
Empat kesunyataan mulia yang melandasi ajaran Buddha terdapat dalam diri masing-masing.
Dhamma tidak terlepas dari diri sendiri, carilah kedalam diri sendiri dan
kebenaran akan nampak.
"Bukankah Patacara yang menderita
kedukaan, yang kehilangan orang-orang terdekat dan tercinta,
mencapai Nibbana dengan merenungkan
lenyapnya air yang membasahi kakinya? Bukankah Culapantaka yang
tidak dapat menghafal satu bait syair selama empat bulan dapat mencapai
tingkat Arahat dengan mengamati ketidak-kekekalan dari sapu tangan bersih yang dipegangnya
dibawah cahaya matahari? Bukankah Upatisa yang kemudian
dikenal sebagai Sariputra Thera menyadari Nibbana hanya dengan mendengar satu bait syair yang berhubungan
dengan sebab akibat?".
Abhidhamma sebagai ajaran tertinggi juga
melebihi ajaran yang terdapat dalam Sutta Pitaka. Sang Buddha menggunakan
istilah-istilah konvensional seperti: manusia, binatang, benda-benda dan
sebagainya. Sebaliknya dalam Abhidhamma Pitaka segala sesuatu dianalisis secara
teliti dan digunakan istilah yang abstrak seperti kelompok kehidupan (Khanda),
unsur (Dhatu, landasan (Ayatana), dan sebagainya.
Sesungguhnya perbedaan antara sutta dan
Abhidhamma tidak terlalu banyak menyangkut pokok persoalan, hanya
lebih banyak mengenai peraturan dan pembahasan. Didalam Sutta sering
dibicarakan tentang 'individu', 'orang', 'aku' dan sebagainya. Seolah-olah yang
disebut individu atau pribadi benar-benar ada. Abhidhamma membicarakan realitas
(Paramattha Dhamma), yaitu fenomena kejiwaan dan fisik walaupun hanya kurun
waktu yang sebentar yang muncul dan lenyap setiap saat. Memang dalam
kenyataannya atau dalam "Pengertian mutlak" (Paramattha)
tidak ada sesuatu yang sejati, berdiri sendiri, kekal sesuatu yang dinamakan
aku, kecuali proses yang muncul dan lenyap, bersyarat
yang selalu berubah. Dengan demikian Abhidhamma hanya berkaitan
dengan gambaran, analisis dan penjelasan mengenai fenomena tersebut.
Fenomena ini dibicarakan didalam
Sutta menurut aspek lima kelompok (pancakkhandha),
yaitu kelompok bentuk jasmani, perasaan, pencerapan, bentuk pikiran dan
kesadaran (Rupa, Vedana, Sañña, Saékhara, Viññana),
sedangkan Abhidhamma membahas semua fenomena diatas berdasarkan tiga
aspek yang lebih bersifat Filosofis yaitu kesadaran, bentuk bathin
dan bentuk lahir.
Abhidhamma menyatakan bahwa tubuh manusia
terbentuk dari kalapa-kalapa (satuan-satuan atom), tiap-tiap kalapa merupakan suatu kumpulan yang dibentuk
oleh empat unsur alam yang disebut Dhatu.
Keempat unsur alam ini adalah: Pathavi (padat),
Apo (Air), Tejo (Api), Vayo (angin).
Keempat dhatu ini mempunyai fungsi masing-masing terhadap unsur
pokok lainnya, jika salah satu dhatu ini ada, maka ada pula dhatu
yang lainnya, yang menjalankan fungsi masing-masing terhadap yang lain.
B.
Pembabaran Abhidhamma
Abhidhamma sesungguhnya kekal
abadi. Ia berada dalam alam semesta yang sangat luas ini. Hanya
suatu ketika Abhidhamma itu dilupakan oleh para Brahma, Dewa dan
manusia pada saat itu muncul Samma Sambuddha yang mampu mengajarkan Abhidhamma kepada makhluk-makhluk: manusia, Dewa dan
Brahma. Makhluk-makhluk lain seperti Savaka Buddha atau Arahat dan Ariya
Puggala tidak mampu menerangkan atau mengajarkan Abhidhamma jika
mereka tidak pernah mendengar atau belajar ajaran Abhidhamma. "Oleh sebab itu,
para Atthakathacariya pernah menjelaskan dalam Paticcasamuppadavibhagathakatha
sebagai berikut: "Abhidhamma ini bukan muncul dalam jaman
sekarang ini saja. Para Resi (pertapa atau orang suci) atau dewa
tidak mampu mengajarkan Abhidhamma (bila tidak belajar). Hanya Sammasambuddha
saja yang dapat mengajar".
Dalam kitab suci Tripitaka dapat dijumpai
beberapa kisah yang berkaitan dengan Abhiddhamma. Pada minggu keempat setelah
pencapaian penerangan sempurna, Buddha berdiam dikamar batu permata yang diciptakannya dan bermeditasi mengenai
Abhidhamma.
Pada tahun ketujuh setelah penerangan sempurna
selama satu vassa (tiga bulan), Buddha mengunjungi
surga Tavatimsa dan
dapat memberikan pelajaran Abhidhamma kepada ibunya (Dewi Maya)
yang tumimbal lahir di surga Tusita serta kepada para dewa
lainnya dan para Brahma. Abhidhamma yang diajarkan oleh Buddha di surga
Tavatimsa ini secara terinci, karena itu disebut Vitatharanaya (diajarkan secara terperinci).
Pada masa vassa tersebut Buddha
Gotama dengan Abhinna/kekuatan batinnya
mengajarkan Abhidhamma kepada YA.
Sariputra di hutan Kayu cendana, tetapi Abhidhamma yang diajarkan
disini secara singkat dan disebut Sankhepanaya
(diajarkan secara singkat), YA. Sariputta mengajarkan pula kepada
lima ratus orang Bhikkhu dibawah bimbingannya, yang tujuannya untuk
mengingat dan menguasainya. Dengan cara ini maka ketujuh
kitab Abhidhamma telah disampaikan kepada kita secara utuh.
Abhidhamma yang diajarkan oleh YA. Sariputra ini secara tidak
terperinci dan juga tidak singkat.
Pada Sanghasamaya (sidang agung) di
Pattaliputta pada tahun 313 SM (230 tahun setelah Buddha Gotama
PariNibbana), Abhidhamma diulang
oleh YA. Moggaliputta tissa, maka dengan demikian lengkaplah Tripitaka.
C.
Pembagian Abhidhamma Pitaka
Abhidhamma Pitaka yang berisi uraian
mengenai filsafat, metafisika dan ilmu jiwa Buddha
Dhamma itu dibagi menjadi tujuh kitab, yaitu:
a.
Dhammasangani,
Buku ini menguraikan perincian Paramattha Dhamma,
yaitu etika atau seri batin, terbagi menjadi empat bab, yaitu:
i.
Citta (kesadaran).
ii.
Rupa (materi).
iii.
Nikkhepa
(ringkasan).
iv.
Athuddhara
(penjelasan).
Dua puluh dua Tika matika (kelompok tiga) dan seratus duka matika (kelompok dua), yang berisikan intisari Abhidhamma
diterangkan dalam buku ini. Buku ini Sebagian besar menerangkan tiga yang
pertama, yaitu Kusala Dhamma, Akusala Dhamma, dan Abyakata Dhamma. Tercakup didalam
13 Bhavanara (satu Bhavanara = 250 syair, satu syair
berisi empat baris, satu baris berisi delapan huruf Dewanagari, maka satu Bhavanara
terdiri atas 8.000 huruf Dewanagari), jadi berisikan lebih dari 104.000
huruf Dewanagari.
b.
Vibhanga,
Buku ini menguraikan pembagian Paramattha Dhamma
yang terdapat dalam Dhammasangani, terdiri atas delapan belas bagian,
tiga bagian yang pertama tentang Khandha (kelompok kehidupan), Ayatana (landasan indriya), dan Dhatu
(unsur) adalah yang terpenting. Bab-bab lainnya adalah tentang sacca atau kebenaran, Indriya (pengendalian indriya), Paccayakara (asal-muasal penyebab),
Satthippatthana (dasar-dasar perhatian),
Sammappaddhana (usaha tertinggi), Iddhipadha (makna pencapaian), Bhojjanga (faktor kebijaksanaan, Jhana (pencerapan), Apamanna (tidak terbatas), Magga (jalan), Sikkhapada (latihan),
Patisambhida (pengetahuan analisis), Ñana (kebijaksanaan), Khuddhakavatthu (pokok kecil) dan Dhammahadaya (intisari kebenaran). Bagian-bagian
itu kebanyakan terdiri atas tiga bagian, yaitu penjelasan sutta, penjelasan
Abhidhamma dan sebuah tanya-jawab (Tanhapucchaka). Keseluruhannya
meliputi 35 Bhanavara (280. 000 huruf
Dewanagari).
c.
Dhatukatha,
Buku ini menguraikan unsur-unsur batin
dari Paramattha Dhamma, membahas
apakah Dhamma termasuk atau tidak, berhubungan atau terlepas dari khandha (kelompok kehidupan), Ayatana (landasan), dan Dhatu (unsur). Buku ini terdiri atas
empat belas bab yang keseluruhannya melebihi empat Bhanavara (48.000 huruf Dewanagari).
d.
Puggalapaññatti, (Penjelasan
mengenai orang-orang)
Buku ini menguraikan tentang Paññatti, Puggala, Paramattha.
Buku ini dalam cara menerangkan menyerupai
Anguttara Nikaya dari Sutta Pitaka. Buku ini menerangkan berbagai jenis
orang, terdiri atas sepuluh bab, bab pertama tentang perseorangan
tunggal, yang kedua tentang pasangan, ketiga tentang kelompok tiga
dan sebagainya. Keseluruhan melebihi 5 Bhanavara
(40.000 huruf Dewanagari).
e.
Kathavatthu (pokok-pokok
pembahasan),
Buku ini menguraikan Paramattha Dhamma dalam bentuk tanya jawab. Penghimpun pokok-pokok
ajaran ini adalah YA. Moggaliputta Tissa Thera, yang hidup pada jaman Raja
Dhammasoka. Beliau yang menjadi ketua Sangha Samaya ketiga yang
diadakan di Pataliputta (Patna) pada abad ketiga sebelum masehi.
Karya beliau dimasukkan dalam Abhidhamma Pitaka pada konsili
tersebut. Buku ini terbagi menjadi 23 bab dan berisikan 216 pembahasan.
f.
Yamaka (Kitab
pasangan),
Buku ini menguraikan Paramattha Dhamma
secara berpasangan, suatu pertanyaan dan kebalikannya dikelompokkan. Buku ini
terbagi menjadi sepuluh bab yaitu: Mula (akar), khandha (kelompok kehidupan), Ayatana (landasan), dhatu (unsur), sacca (kebenaran), saékhara (benda yang tercipta), anussaya (kecenderungan yang
tersembunyi, Citta (kesadaran), Dhamma dan indriya (pengendalian diri).
Keseluruhannya berisikan 120 Bhanavara
(960.000 huruf Dewanagari).
g.
Patthana (Kitab
berhubungan),
Buku ini menguraikan dua puluh empat Paccaya (hubungan-hubungan antara batin dengan jasmani) dan yang
terpenting dan terpanjang dalam Abhidhamma Pitaka. Orang yang tidak dengan
sabar membacanya tidak dapat/tidak
akan mengagumi kebijaksanaan sempurna dan pandangan yang
mendalam dari Buddha. Istilah Patthana berasal dari "Pa" (berbagai) dan "Thana"
(hubungan atau keadaan/Paccaya). Disebut demikian karena
menguraikan dua puluh empat hubungan sebab, Tika (kelompok tiga) dan Duka (kelompok dua) yang telah
diterangkan dalam Dhammasangani.
Abhidhamma merupakan Paramattha
Dhamma (Paramatthasacca), yang merupakan
jalan untuk mencapai kebebasan mutlak. Oleh sebab itu, empat Paramattha Dhamma yang merupakan pokok dasar
Abhidhamma harus dipelajari dengan sebaik-baiknya. Paramattha Dhamma/Paramatthasacca berarti
kesunyatan tertinggi yang terdiri atas Citta
(kesadaran), Cetasika
(bentuk-bentuk batin) Rupa (materi)
dan Nibbana/Nirwana.
Kebenaran atau sacca yang diajarkan oleh
Buddha terdapat dua jenis, yaitu:
1.
Sammuttisacca, berarti
kebenaran konvensional (kebenaran umum) yang biasa dipakai dalam kehidupan
sehari-hari.
2.
Paramatthasacca, yang berarti
kebenaran tertinggi atau kebenaran mutlak atau kebenaran terakhir.
D.
Abhidhammattasaêgaha
Abhidhammattasaêgaha berasal dari bahasa Pali yang terdiri atas lima kata,
yaitu "Abhi" yang
berarti halus/tinggi, "Dhamma"
berarti kebenaran atau pelajaran dari Buddha, "Atta" yang berarti intisari, "San" yang berarti singkatan, "Gaha" yang berarti gabungan. Abhidhammattasaêgaha berarti singkatan dari gabungan intisari
Abhidhamma Pitaka.
Abhidhammattasaêgaha berisikan pelajaran mengenai Citta, Cetasika, Rupa dan Nibbana.
Abhidhammattasaêgaha ditulis
oleh Bhikkhu Anuruddhacariya Mahathera pada tahun 357 SM atau 900 BE. Kelompok Citta, Cetasika dan Rupa sama dengan Pancakhandha
yang merupakan makhluk dalam pengertian
Sutta Pitaka. Rupakkhandha dalam
Abhidhamma adalah Rupa yang terdiri
dari 28 macam, Vedanakkhandha dalam
Abhidhamma adalah Vedana Cetasika,
Saññakhandha dalam Abhidhamma
adalah Sañña Cetasika, Saékharakhandha dalam Abhidhamma adalah Saékhara Cetasika yang terdiri dari 50 jenis (tidak termasuk Sañña Cetasika dan Vedana Cetasika). Viññana
dalam Abhidhamma adalah Citta yang
terdiri atas 89 atau 121 jenis.
Abhidhammattasaêgaha sangatlah penting untuk dipelajari, karena merupakan pokok dasar Abhidhamma. Umat
Buddha yang ingin mempelajari Abhidhamma Pitaka untuk mendapat pengertian yang
baik harus mempelajari Abhidhammattasaêgaha
terlebih dahulu. Untuk dapat menangkap pengertian yang terjalin dalam Abhidhamma,
seseorang harus membaca Abhidhammattasaêgaha
dengan sabar dan cermat disertai dengan perenungan pada ajaran
"dalam' yang terkandung didalamnya. Selain itu diperlukan pula tekad yang
kuat untuk mempelajari, memahami dan melaksanakan Abhidhamma.
E.
Penjelasan Citta, Cetasika, Rupa dan Nibbana
a.
Citta
i.
Pengertian Citta
Citta berasal dari
kata "Citti" (berpikir). Citta dalam Abhidhamma berarti kesadaran akan
suatu obyek atau sesuatu yang sadar akan suatu obyek. Sinonimnya
adalah Ceta, Cittupada, Nama, Mana, Viññana.
Suatu makhluk dibagi menjadi dua Nama atau
batin yang digunakan. Jika dibagi menjadi lima kelompok kehidupan (Pancakhandha) digunakan istilah Viññana (kesadaran). Istilah Citta digunakan dalam hubungannya
berbagai tingkat kesadaran. Pada dasarnya tidak ada perbedaan antara batin
dengan kesadaran. Ada pernyataan dalam bahasa Pali sebagai berikut: “Arammanaç
Cintetiti Cittaç” yang artinya
"Keadaan yang mengetahui obyek, yaitu menerima obyek selalu keadaan itu
disebut kesadaran/pikiran".
ii.
Pembagian Citta
Kesadaran atau pikiran menurut sifat atau
keadaan adalah “keadaan yang mengetahui obyek” saja, kesadaran atau pikiran itu
hanya satu, Tetapi menurut "keadaan" yang diketahui"
dan "bagian yang diketahui", maka Citta itu ada banyak. Mengetahui dalam hal keinginan yang baik dan yang
tidak baik, mengetahui Rupa jhana,
mengetahui Arupajhana serta
mengetahui Nibbana. Jadi, bila
kesadaran/pikiran itu dihitung secara terperinci maka ada 89-121 macam/bulatan.
Citta terbagi menjadi empat bagian:
1.
Kamavacara Citta ada 54
bulatan, yaitu kesadaran atau pikiran yang berkelana di kamabhumi atau kamaloka 11
(alam nafsu).
2.
Rupavacara Citta terdiri dari
15 macam/bulatan, yaitu kesadaran yang mencapai obyek Rupajhana atau kesadaran pikiran yang berkelana di Rupabhumi (berkenaan dengan alam berbentuk).
3.
Arupavacara Citta terdiri
atas 12 macam/bulatan, yaitu kesadaran pikiran yang mencapai obyek dari Arupajhana (kesadaran yang berkenaan
dengan alam tidak berbentuk).
4.
Lokuttara Citta terdiri atas
8-40, yaitu kesadaran/pikiran diluar ketiga dunia (kesadaran diatas duniawi).
b.
Cetasika
i.
Pengertian Cetasika
Cetasika atau
bentuk-bentuk batin adalah keadaan yang bersekutu dengan Citta. Gejala yang bersekutu dengan Citta itu disebut "Cetoyuttalakkhanam",
yaitu keadaan yang bersekutu dengan Citta
disertai empat macam sifat:
1.
Timbulnya bersama
dengan Citta.
2.
Padamnya
bersama dengan Citta.
3.
Mempunyai obyek
yang sama dengan Citta.
4.
Pemakaian obyek
(sebagai dasar) sama sengan Citta.
ii.
Pembagian Cetasika
Karena setiap jenis Cetasika mempunyai sifat yang tidak sama, maka terdapat 52 jenis Cetasika, yang terbagi atas tiga bagian,
yaitu:
1.
Bentuk-bentuk batin
yang sama keadaannya: dapat bersekutu dengan semua kesadaran/pikiran yang baik
dan yang buruk.
2.
Bentuk-bentuk batin
yang jahat. Cetasika ini membentuk
semua kejadian yang tidak baik dari kesadaran/pikiran. Cetasika ini berjumlah 14 bulatan.
3.
Bentuk-bentuk
batin yang baik, disebut demikian karena Cetasika
ini umum dibagi keseluruhan menjadi moral yang baik dari kesadaran/pikiran. Cetasika ini muncul dalam kombinasi
yang beraneka ragam dalam pernyataan kesadaran yang baik dan Cetasika ini berjumlah 25 jenis dan
terbagi menjadi 4 bagian.
c.
Rupa
i.
Pengertian Rupa
Rupa adalah keadaan yang dapat bercerai-berai atau berubah padam, karena
kedinginan dan kepanasan. Sering diterjemahkan dengan materi, bentuk-bentuk,
tubuh, dan sebagainya.
ii.
Pembagian Rupa
Rupa yang terdiri atas 28 unsur secara singkat terbagi menjadi dua,
yaitu:
1.
Mahabhutarupa yang terdiri
atas 4 unsur.
2.
Upadayarupa yang terdiri
atas 24 macam.
d.
Nibbana
i.
Pengertian Nibbana
Nibbana berasal dari kata "Ni"
dan "Vana", “Ni” berarti tidak, “Vana” berarti menenun atau menginginkan, yang berfungsi bagaikan
tali untuk menghubungkan rangkaian kehidupan dari makhluk hidup dalam
pengembaraannya (Samsara). Selama seseorang
terjerat oleh keinginan atau kemelekatan, ia akan menumpuk kekuatan kamma yang
segar/baru yang harus diwujudkan dalam satu bentuk didalam lingkaran kelahiran
dan kematian yang tiada putusnya. Bila semua keinginan telah termusnahkan,
kekuatan kamma akan berhenti bekerja dan seseorang dikatakan mencapai Nibbana, terlepas dari lingkaran
kelahiran dan kematian.
Pengertian lainnya, Nibbana juga berasal dari kata Ni dan Va, yang berarti
meniup. Nibbana berarti
tertiup padam, musnahnya api nafsu, kebencian ketidaktahuan. Nibbana secara intrinsik (Sabhavato) adalah kedamaian (Santi) dan unik (Kevala). Nibbana
merupakan suatu kenyataan
mutlak (Vatthudhamma) yang
diatas duniawi (Lokuttara).
Nibbana merupakan Arupadhamma,
yaitu Dhamma yang bukan Rupa, dan
disebut pula Namadhamma, disebut
pula Kalavimutti karena
terbebas dari Kala 3 (Atita, Paccupañña, Anagata), dan merupakan Asankhatadhamma (keadaan yang tidak bersyarat).
ii.
Pembagian Nibbana
1.
Nibbana 2
a.
Saupadisesa Nibbana:
padamnya kilesa (kekotoran batin) secara
total tetapi masih ada Pancakhandha.
b.
Anupadisesa Nibbana: padam kilesa (kekotoran batin) secara total
dan juga padamnya pancakhandha.
2.
Nibbana 3
a.
Animita Nibbana: keadaan Nibbana yang terbebas dari obyek
bayangan.
b.
Apanihita Nibbana: keadaan Nibbana yang terbebas dari obyek
keinginan.
c.
Suññata Nibbana: keadaan
Nibbana yang terbebas dari kilesa dan
pancakhandha
F.
Peranan Abhidhamma Dalam Kehidupan Sehari-Hari
a.
Menimbulkan
pengertian benar
Orang yang tekun mempelajari Abhidhamma,
terutama Abhidhammattasaêgaha dan
melaksanakan Vipassana Bhavana akan
melenyapkan Vipallasa, sehingga
timbul pengertian benar dalam dirinya. Vipallasa berarti khayalan atau
kepalsuan atau kekeliruan yang berkenaan dengan paham yang menganggap
suatu kebenaran sebagai suatu kesalahan dan kesalahan sebagai suatu
kebenaran. Vipallasa terbagi menjadi empat macam:
i.
Kekeliruan dari
pencerapan, pikiran dan pandangan yang menganggap sesuatu yang tidak cantik
sebagai cantik.
ii.
Kekeliruan dari
pencerapan, pikiran dan pandangan yang menganggap sesuatu yang diderita sebagai
kebahagiaan.
iii.
Kekeliruan dari
pencerapan, pikiran dan pandangan yang menganggap seseuatu yang tidak kekal
sebagai kekal.
iv.
Kekeliruan dari
pencerapan, pikiran dan pandangan yang menganggap sesuatu tanpa aku sebagai
aku.
Kita dalam kehidupan sehari-hari, perlu
mengetahui berbagai jenis kesadaran atau Citta
dan tahu kesadaran mana yang menjadi dasar akan timbulnya sesuatu
perbuatan sehingga kita dapat melakukan perbuatan baik karena cinta kasih dan
kasih sayang yang murni tanpa adanya pikiran yang tidak baik yang mengotori
batin.
b.
Menimbulkan
kesadaran akan pengendalian diri.
Pada orang yang tekun mempelajari
Abhidhamma lambat-laun akan timbul kesadaran akan pengendalian diri, ia akan
berusaha semaksimal mungkin untuk menghindari perbuatan-perbuatan yang menyenangkan.
Bila kita mengerti bahwa kehidupan kita adalah Nama dan Rupa yang muncul
karena keadaan-keadaan dan dapat lenyap kembali, maka kita akan semakin
mengurangi keterikatan pada hasil yang menyenangkan dan akan mengurangi
kecenderungan untuk menyalahkan orang lain karena hal yang tidak menyenangkan
yang akan kita alami. Kita tidak akan berhasrat untuk
melekat kuat pada rangsangan nafsu yang menyenangkan, karena
rangsangan itu tak dapat membawa ke kebahagiaan yang kekal. Kita akan lebih
sabar dalam situasi yang bagaimanapun dan tidak akan marah bila
dihina dan dicela.
c.
Menimbulkan
akan kesadaran akan kesucian batin
Orang yang tertarik belajar Abhidhamma
maka ia ingin mempelajari segala sesuatu yang lebih mendalam dalam pengertian
paramatthadhamma karena hal ini juga
ada hubungannya dengan salah satu nasehat Buddha yang berbunyi: "Sacitta Pariyodapanam" yang
artinya: Sucikan hati dan pikiran. Untuk menyisihkan pikiran orang harus mempelajari
seluk-beluk pikiran, mengingat pikiran merupakan dasar dari semua
perbuatan, baik dan tidak baik yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Pengetahuan Abhidhamma akan mendorong kita untuk melatih diri dalam
melaksanakan Vipassana Bhavana. Dengan melaksanakan Vipassana Bhavana sedikit
demi sedikit kekotoran batin yang menjadi akar dari kekotoran batin dapat
disingkirkan.
0 komentar:
Posting Komentar