Rabu, 12 Maret 2014

pengantar Abhidhamma

PENGANTAR ABHIDHAMMA


A.    Pengertian Abhidhamma
Abhidhamma sebagai istilah Pali secara etimologi terdiri dari dua kata, yaitu "Abhi" yang berarti halus, tinggi luas; dan "Dhamma" yang berarti kebenaran atau ajaran dari Buddha. Jadi Abhidhamma dapat diberi pengertian sebagai ajaran yang tertinggi atau luhur dari Buddha.
Sebagai ajaran tertinggi, Abhidhamma memungkinkan seseorang untuk mencapai pembebasan mutlak dari segala bentuk penderitaan, karena Abhidhamma sangat berguna untuk mengembangkan pandangan terang (Vipassana). Abhidhamma merupakan penuntun yang tak ternilai bagi mereka yang ingin menambah kebijaksanaan dan melaksanakan kehidupan Buddhis yang  ideal. Tetapi tidak pula dikatakan bahwa Abhidhamma mutlak atau perlu untuk mencapai kebebasan, pengertian dan pencapaian semata-mata tergantung pada diri masing-masing. Empat kesunyataan mulia yang melandasi ajaran Buddha terdapat  dalam diri masing-masing. Dhamma tidak terlepas dari diri sendiri, cari­lah kedalam diri sendiri dan kebenaran akan nampak.
"Bukankah Patacara yang menderita kedukaan, yang kehi­langan orang-orang terdekat dan tercinta, mencapai Nibbana dengan merenungkan lenyapnya air yang membasahi kakinya? Bukankah Culapantaka yang tidak dapat menghafal satu bait syair selama empat bulan dapat mencapai tingkat Arahat dengan mengamati ketidak-kekekalan dari sapu tangan bersih yang dipegangnya dibawah cahaya matahari? Bukankah Upatisa yang kemudian dikenal sebagai Sariputra Thera menyadari Nibbana hanya dengan mendengar satu bait syair yang berhubungan dengan sebab akibat?".
Abhidhamma sebagai ajaran tertinggi juga melebihi ajaran yang terdapat dalam Sutta Pitaka. Sang Buddha menggunakan istilah-istilah konvensional seperti: manusia, binatang, benda-benda dan sebagainya. Sebaliknya dalam Abhidhamma Pitaka segala sesuatu dianalisis secara teliti dan digunakan istilah yang abstrak seperti kelompok kehidupan (Khanda), unsur (Dhatu, landasan (Ayatana), dan sebagainya.
Sesungguhnya perbedaan antara sutta dan Abhidhamma tidak terlalu banyak menyangkut  pokok persoalan, hanya lebih banyak mengenai peraturan dan pembahasan. Didalam Sutta sering dibicarakan tentang 'individu', 'orang', 'aku' dan sebagainya. Seolah-olah yang disebut individu atau pribadi benar-benar ada. Abhidhamma membicarakan realitas (Paramattha Dhamma), yaitu fenomena kejiwaan dan fisik walau­pun hanya kurun waktu yang sebentar yang muncul dan lenyap setiap saat. Memang dalam kenyataannya atau dalam "Pengertian mutlak" (Paramattha) tidak ada sesuatu yang sejati, berdiri sendiri, kekal sesuatu yang dinamakan aku, kecuali proses yang muncul dan lenyap, bersyarat yang selalu berubah. Dengan demikian Abhidhamma hanya berkaitan dengan gambaran, analisis dan penjelasan mengenai fenomena tersebut.
Fenomena ini dibicarakan didalam Sutta menurut aspek lima kelompok (pancakkhandha), yaitu kelompok bentuk jasmani, pera­saan, pencerapan, bentuk pikiran dan kesadaran (Rupa, Vedana, Sañña, Saékhara, Viññana), sedangkan Abhidhamma membahas semua fenomena diatas berdasarkan tiga aspek yang lebih bersifat Filosofis yaitu kesadaran, bentuk bathin dan bentuk lahir.
Abhidhamma menyatakan bahwa tubuh manusia terbentuk dari kalapa-kalapa (satuan-satuan atom), tiap-tiap kalapa merupakan suatu kumpulan yang dibentuk oleh empat unsur alam yang dise­but Dhatu. Keempat unsur alam ini adalah: Pathavi (padat), Apo (Air),  Tejo (Api), Vayo (angin). Keempat dhatu ini  mempunyai fungsi masing-masing terhadap unsur pokok lainnya, jika salah satu dhatu ini ada, maka ada pula dhatu yang lainnya, yang menjalankan fungsi masing-masing terhadap yang lain.



B.     Pembabaran Abhidhamma
Abhidhamma sesungguhnya kekal abadi. Ia berada dalam alam semesta yang sangat luas ini. Hanya suatu ketika Abhidhamma itu dilupakan oleh para Brahma, Dewa dan manusia pada saat itu muncul Samma Sambuddha yang mampu mengajar­kan Abhidhamma kepada makhluk-makhluk: manusia, Dewa dan Brahma. Makhluk-makhluk lain seperti Savaka Buddha atau Arahat dan Ariya Puggala tidak mampu menerangkan atau menga­jarkan Abhidhamma jika mereka tidak pernah mendengar atau belajar ajaran Abhidhamma. "Oleh sebab itu, para Atthakathacariya pernah menjelaskan dalam Paticcasamuppadavibhagathakatha sebagai berikut: "Abhid­hamma ini bukan muncul dalam jaman sekarang ini  saja.  Para Resi (pertapa atau orang suci) atau dewa tidak mampu mengajar­kan Abhidhamma (bila tidak belajar). Hanya Sammasambuddha saja yang dapat mengajar".
Dalam kitab suci Tripitaka dapat dijumpai beberapa kisah yang berkaitan dengan Abhiddhamma. Pada minggu keempat setelah pencapaian penerangan sempurna, Buddha berdiam dikamar batu permata yang diciptakannya dan bermeditasi mengenai Abhidhamma.
Pada tahun ketujuh setelah penerangan sem­purna selama satu vassa (tiga bulan), Buddha  mengunjungi surga Tavatimsa dan dapat memberikan pelajaran Abhidhamma kepada ibunya (Dewi Maya) yang tumimbal lahir di surga Tusita serta kepada para dewa lainnya dan para Brahma. Abhidhamma yang diajarkan oleh Buddha di surga Tavatimsa ini secara terinci, karena itu disebut Vitatharanaya (diajarkan secara terperinci).
Pada masa vassa tersebut Buddha Gotama dengan Abhinna/kekuatan batinnya  mengajarkan Abhidhamma kepada YA. Sariputra di hutan Kayu cendana, tetapi Abhidhamma yang diajarkan disini secara singkat dan disebut Sankhepanaya (diajarkan secara singkat), YA. Sariputta mengajarkan pula kepada lima ratus orang Bhikkhu dibawah  bimbingan­nya, yang tujuannya untuk mengingat dan menguasainya. Dengan cara ini maka ketujuh kitab Abhidhamma telah disampaikan kepada kita secara utuh. Abhidhamma yang diajarkan oleh YA. Sariputra ini secara tidak terperinci dan juga tidak singkat.
Pada Sanghasamaya (sidang agung) di Pattaliput­ta pada tahun 313 SM (230 tahun setelah Buddha Gotama PariNibbana), Abhidhamma diulang oleh YA. Moggaliputta tissa, maka dengan demikian lengkaplah Tripitaka.

C.    Pembagian Abhidhamma Pitaka
Abhidhamma Pitaka yang berisi uraian mengenai filsafat, metafisika dan ilmu jiwa Buddha Dhamma itu dibagi menjadi tujuh kitab, yaitu:
a.       Dhammasangani,
Buku ini menguraikan perincian Paramattha Dhamma, yaitu etika atau seri batin, terbagi menjadi empat bab, yaitu:
                          i.      Citta (kesadaran).
                        ii.      Rupa (materi).
                      iii.      Nikkhepa (ringkasan).
                      iv.      Athuddhara (penjelasan).

Dua puluh dua Tika matika (kelompok tiga) dan seratus duka matika (kelompok dua), yang berisikan intisari Abhidhamma diterangkan dalam buku ini. Buku ini Sebagian besar menerang­kan tiga yang pertama, yaitu Kusala Dhamma,  Akusala  Dhamma, dan Abyakata  Dhamma. Tercakup didalam 13 Bhavanara (satu Bhavanara = 250 syair, satu syair berisi empat baris, satu baris berisi delapan huruf Dewanagari, maka satu Bhavanara terdiri atas 8.000 huruf Dewanagari), jadi berisikan lebih dari 104.000 huruf Dewanagari.

b.      Vibhanga,
Buku ini menguraikan pembagian Paramattha Dhamma yang terdapat dalam Dhammasangani, terdiri atas delapan belas bagian, tiga bagian yang pertama tentang Khandha (kelompok kehidupan), Ayatana (landasan indriya), dan Dhatu (unsur) adalah yang terpenting. Bab-bab lainnya adalah tentang sacca atau kebenaran, Indriya (pengendalian indriya), Paccayakara (asal-muasal penyebab), Satthippatthana (dasar-dasar perhatian), Sammappaddhana (usaha tertinggi), Iddhipadha (makna pencapaian), Bhojjanga (faktor kebijaksanaan, Jhana (pencerapan), Apamanna (tidak  terbatas), Magga (jalan), Sikkhapada (latihan), Patisambhida (pengetahuan analisis), Ñana (kebijaksanaan), Khuddhakavatthu (pokok kecil) dan Dhammahadaya (intisari kebenaran). Bagian-bagian itu kebanyakan terdiri atas tiga bagian, yaitu penjelasan sutta, penjelasan Abhidhamma dan sebuah tanya-jawab (Tanhapucchaka). Keseluruhannya meliputi 35 Bhanavara (280. 000 huruf Dewanagari).

c.       Dhatukatha,
Buku ini menguraikan unsur-unsur batin dari Paramattha Dhamma, membahas apakah Dhamma termasuk atau tidak, berhubungan atau terlepas dari khandha (kelompok kehidupan), Ayatana (landasan), dan Dhatu (unsur). Buku ini terdiri atas empat belas bab yang keseluruhannya melebihi empat Bhanavara (48.000 huruf Dewanagari).

d.      Puggalapaññatti, (Penjelasan mengenai orang-orang)
Buku ini menguraikan tentang Paññatti,  Puggala, Paramattha. Buku ini dalam cara menerangkan menyerupai Anguttara Nikaya dari Sutta Pitaka. Buku ini menerangkan berbagai jenis orang, terdiri atas sepuluh bab, bab pertama tentang perseo­rangan  tunggal, yang kedua tentang pasangan, ketiga tentang kelompok tiga dan sebagainya. Keseluruhan melebihi 5 Bhanavara (40.000 huruf Dewanagari).

e.       Kathavatthu (pokok-pokok pembahasan),
Buku ini menguraikan Paramattha Dhamma  dalam bentuk tanya jawab. Penghimpun pokok-pokok ajaran ini adalah YA. Moggaliputta Tissa Thera, yang hidup pada jaman Raja Dhammaso­ka. Beliau yang menjadi ketua Sangha Samaya ketiga yang diadakan di Pataliputta (Patna) pada abad ketiga sebelum masehi.  Karya beliau dimasukkan dalam Abhidhamma Pitaka pada konsili tersebut. Buku ini terbagi menjadi 23 bab dan  berisi­kan 216 pembahasan.

f.       Yamaka (Kitab pasangan),
Buku ini menguraikan Paramattha Dhamma secara berpasangan, suatu pertanyaan dan kebalikannya dikelompokkan. Buku ini terbagi menjadi sepuluh bab yaitu: Mula (akar), khandha (kelompok kehidupan), Ayatana (landasan), dhatu (unsur), sacca (kebenaran), saékhara (benda yang tercipta), anussaya (ke­cenderungan yang tersembunyi, Citta (kesadaran), Dhamma dan indriya (pengendalian diri). Keseluruhannya berisikan 120 Bhanavara (960.000 huruf Dewanagari).

g.      Patthana (Kitab berhubungan),
Buku ini menguraikan dua puluh empat Paccaya (hubungan-hubungan antara batin dengan jasmani) dan yang terpenting dan terpanjang dalam Abhidhamma Pitaka. Orang yang tidak dengan sabar membacanya tidak dapat/tidak akan mengagumi kebijaksanaan sempurna dan pandangan yang mendalam dari Buddha. Istilah Patthana berasal dari "Pa" (berbagai) dan "Thana" (hubungan atau keadaan/Paccaya).  Dise­but demikian  karena  menguraikan dua  puluh  empat  hubungan sebab, Tika (kelompok tiga) dan Duka (kelompok dua) yang telah diterangkan dalam Dhammasangani.

Abhidhamma merupakan Paramattha Dhamma (Paramatthasacca), yang merupakan jalan untuk mencapai kebebasan mutlak. Oleh sebab itu, empat Paramattha Dhamma yang merupakan pokok dasar Abhidhamma harus dipelajari dengan sebaik-baiknya. Paramattha Dhamma/Paramatthasacca berarti kesunyatan terting­gi yang terdiri atas Citta (kesadaran), Cetasika (bentuk-bentuk batin) Rupa (materi) dan Nibbana/Nirwana.
Kebenaran atau sacca yang diajarkan oleh Buddha terdapat dua jenis, yaitu:
1.      Sammuttisacca, berarti kebenaran konvensional (kebenaran umum) yang biasa dipakai dalam kehidupan sehari-hari.
2.      Paramatthasacca, yang berarti kebenaran tertinggi atau kebenaran mutlak atau kebenaran terakhir.

D.    Abhidhammattasaêgaha
Abhidhammattasaêgaha berasal dari bahasa Pali yang terdiri atas lima kata, yaitu "Abhi" yang berarti halus/ting­gi, "Dhamma" berarti kebenaran atau pelajaran dari Bud­dha, "Atta" yang berarti intisari, "San" yang berarti singka­tan, "Gaha" yang berarti gabungan. Abhidhammattasaêgaha berarti singkatan dari gabungan intisari Abhidhamma Pitaka.
Abhidhammattasaêgaha berisikan pelajaran mengenai Citta, Cetasika, Rupa dan Nibbana. Abhidhammattasaêgaha ditulis oleh Bhikkhu Anuruddhacariya Mahathera pada tahun 357 SM atau 900 BE. Kelompok Citta, Cetasika dan Rupa sama dengan Pancakhandha yang merupakan makhluk dalam pengertian Sutta Pitaka. Rupakkhandha dalam Abhidhamma adalah Rupa yang terdiri dari 28 macam, Vedanakkhandha dalam Abhidhamma  adalah Vedana  Cetasika, Saññakhandha dalam Abhidhamma  adalah  Sañña Cetasika,  Saékharakhandha dalam Abhidhamma adalah Saékhara Cetasika yang terdiri dari 50 jenis (tidak termasuk Sañña Cetasika dan Vedana Cetasika). Viññana dalam Abhidhamma adalah Citta yang terdiri atas 89 atau 121 jenis.
Abhidhammattasaêgaha sangatlah penting untuk dipelajari, karena merupakan pokok dasar Abhidhamma. Umat Buddha yang ingin mempelajari Abhidhamma Pitaka untuk mendapat pengertian yang baik harus mempelajari Abhidhammattasaêgaha terlebih dahulu. Untuk dapat menangkap pengertian yang terjalin dalam Abhidhamma, seseorang harus membaca Abhidhammattasaêgaha dengan sabar dan cermat disertai dengan perenungan pada ajaran "dalam' yang terkandung didalamnya. Selain itu diperlu­kan pula tekad yang kuat untuk  mempelajari, memahami dan melaksanakan Abhidhamma.

E.     Penjelasan Citta, Cetasika, Rupa dan Nibbana
a.       Citta
                    i.      Pengertian Citta
Citta berasal dari kata "Citti" (berpikir). Citta dalam Abhidhamma berarti kesadaran akan suatu obyek atau sesuatu yang sadar akan suatu obyek. Sinonimnya adalah Ceta, Cittupada, Nama, Mana, Viññana. Suatu makhluk dibagi menjadi dua Nama atau batin yang digunakan. Jika dibagi menja­di lima kelompok kehidupan (Pancakhandha) digunakan istilah Viññana (kesadaran). Istilah Citta digunakan dalam hubungannya berbagai tingkat kesadaran. Pada dasarnya tidak ada perbedaan antara batin dengan kesadaran. Ada pernyataan dalam bahasa Pali sebagai berikut: “Arammanaç Cintetiti Cittaç” yang artinya "Keadaan yang menge­tahui obyek, yaitu menerima obyek selalu keadaan itu disebut kesadaran/pikiran".



                  ii.      Pembagian Citta
Kesadaran atau pikiran menurut sifat atau keadaan adalah “keadaan yang mengetahui obyek” saja, kesadaran atau pikiran itu hanya satu, Tetapi menurut "keadaan" yang diketahui" dan "bagian yang diketahui", maka Citta itu ada banyak. Mengetahui dalam hal keinginan yang baik dan yang tidak baik, mengetahui Rupa jhana, mengetahui Arupajhana serta mengetahui Nibbana. Jadi, bila kesadaran/pikiran itu dihitung secara terperinci maka ada 89-121 macam/bulatan.
Citta terbagi menjadi empat bagian:
1.      Kamavacara Citta ada 54 bulatan, yaitu kesadaran atau pikiran yang berkelana di kamabhumi atau kamaloka 11 (alam nafsu).
2.      Rupavacara Citta terdiri dari 15 macam/bulatan, yaitu kesadaran yang mencapai obyek Rupajhana atau kesadaran pikiran yang berkelana di Rupabhumi (berkenaan dengan alam berbentuk).
3.      Arupavacara Citta  terdiri atas 12 macam/bulatan, yaitu kesadaran pikiran yang mencapai obyek dari Arupajhana (kesadaran yang berkenaan dengan alam tidak berbentuk).
4.      Lokuttara Citta terdiri atas 8-40, yaitu kesadaran/pikiran diluar ketiga dunia (kesadaran diatas duniawi).
b.      Cetasika
                    i.      Pengertian Cetasika
Cetasika atau bentuk-bentuk batin adalah keadaan yang bersekutu dengan Citta. Gejala yang bersekutu dengan Citta itu disebut "Cetoyuttalakkhanam", yaitu keadaan yang bersekutu dengan Citta disertai empat macam sifat:
1.      Timbulnya bersama dengan Citta.
2.      Padamnya bersama dengan Citta.
3.      Mempunyai obyek yang sama dengan Citta.
4.      Pemakaian obyek (sebagai dasar) sama sengan Citta.
                  ii.      Pembagian Cetasika
Karena setiap jenis Cetasika mempunyai sifat yang tidak sama, maka terdapat 52 jenis Cetasika, yang terbagi atas tiga bagian, yaitu:
1.      Bentuk-bentuk batin yang sama keadaannya: dapat bersekutu dengan semua kesadaran/pikiran yang baik dan yang buruk.
2.      Bentuk-bentuk batin yang jahat. Cetasika ini membentuk semua kejadian yang tidak baik dari kesadaran/pikiran. Cetasika ini berjumlah 14 bulatan.
3.      Bentuk-bentuk batin yang baik, disebut demikian karena Cetasika ini umum dibagi keseluruhan menjadi moral yang baik dari kesadaran/pikiran. Cetasika ini muncul dalam kombinasi yang beraneka ragam dalam pernyataan kesadaran yang baik dan Cetasika ini berjumlah 25 jenis dan terbagi menjadi 4 bagian.
c.       Rupa
                    i.      Pengertian Rupa
Rupa adalah keadaan yang dapat bercerai-berai atau berubah padam, karena kedinginan dan kepanasan. Sering diterje­mahkan dengan materi, bentuk-bentuk, tubuh, dan sebagainya.

                  ii.      Pembagian Rupa
Rupa yang terdiri atas 28 unsur secara singkat terbagi menjadi dua, yaitu:
1.      Mahabhutarupa yang terdiri atas 4 unsur.
2.      Upadayarupa yang terdiri atas 24 macam.

d.      Nibbana
                    i.      Pengertian Nibbana
Nibbana berasal dari kata "Ni" dan "Vana", “Ni” berarti tidak, “Vana” berarti menenun atau menginginkan, yang berfungsi bagaikan tali untuk menghubungkan rangkaian kehidupan dari makhluk hidup dalam pengembaraannya (Samsara). Selama seseorang terjerat oleh keinginan atau kemelekatan, ia akan menumpuk kekuatan kamma yang segar/baru yang harus diwujudkan dalam satu bentuk didalam lingkaran kelahiran dan kematian yang tiada putusnya. Bila semua keinginan telah termusnahkan, kekuatan kamma akan berhenti bekerja dan seseorang dikatakan mencapai Nibbana, terlepas dari lingkaran kelahiran dan kema­tian.
Pengertian lainnya, Nibbana juga berasal dari kata Ni dan Va, yang berarti  meniup.   Nibbana berarti tertiup padam, musnahnya api nafsu, kebencian ketidaktahuan. Nibbana secara intrinsik (Sabhavato) adalah kedamaian (Santi) dan unik (Kevala). Nibbana  merupakan suatu kenyataan mutlak (Vatthudhamma)  yang diatas  duniawi  (Lokuttara). Nibbana merupakan Arupadhamma, yaitu  Dhamma yang bukan Rupa, dan disebut pula Namadhamma, disebut  pula Kalavimutti karena terbebas dari Kala 3 (Atita, Paccupañña, Anagata), dan merupakan Asankhatadhamma  (keadaan yang tidak bersyarat).

                  ii.      Pembagian Nibbana
1.      Nibbana 2
a.       Saupadisesa Nibbana: padamnya kilesa (kekotoran batin) secara total tetapi masih ada Pancakhandha.
b.      Anupadisesa Nibbana: padam kilesa (kekotoran batin) secara total dan juga padamnya pancakhandha.

2.      Nibbana 3
a.       Animita Nibbana: keadaan Nibbana yang terbebas dari obyek bayangan.
b.      Apanihita Nibbana: keadaan Nibbana yang terbebas dari obyek keinginan.
c.       Suññata Nibbana: keadaan Nibbana yang terbebas dari kilesa dan pancakhandha

F.     Peranan Abhidhamma Dalam Kehidupan Sehari-Hari

a.       Menimbulkan pengertian benar
Orang yang tekun mempelajari Abhidhamma, terutama Abhidhammattasaêgaha dan melaksanakan Vipassana Bhavana akan melenyapkan Vipallasa, sehingga timbul pengertian benar dalam dirinya.  Vipallasa berarti khayalan atau kepalsuan atau kekeliruan yang berkenaan dengan paham yang menganggap suatu kebenaran sebagai suatu kesalahan dan kesalahan sebagai suatu kebenaran. Vipallasa terbagi menjadi empat macam:
                          i.      Kekeliruan dari pencerapan, pikiran dan pandangan yang menganggap sesuatu yang tidak cantik sebagai cantik.
                        ii.      Kekeliruan dari pencerapan, pikiran dan pandangan yang menganggap sesuatu yang diderita sebagai kebahagiaan.
                      iii.      Kekeliruan dari pencerapan, pikiran dan pandangan yang menganggap seseuatu yang tidak kekal sebagai kekal.
                      iv.      Kekeliruan dari pencerapan, pikiran dan pandangan yang menganggap sesuatu tanpa aku sebagai aku.
Kita dalam kehidupan sehari-hari, perlu mengetahui berbagai jenis kesadaran atau Citta dan tahu kesadaran mana yang menjadi dasar akan timbulnya sesuatu perbuatan sehingga kita dapat melakukan perbuatan baik karena cinta kasih dan kasih sayang yang murni tanpa adanya pikiran yang tidak baik yang mengotori batin.


b.      Menimbulkan kesadaran akan pengendalian diri.
Pada orang yang tekun mempelajari Abhidhamma lambat-laun akan timbul kesadaran akan pengendalian diri, ia akan berusaha semaksimal mungkin untuk menghindari perbuatan-perbuatan yang menyenangkan. Bila kita mengerti bahwa kehidupan kita adalah Nama dan Rupa yang muncul karena keadaan-keadaan dan dapat lenyap kembali, maka kita akan semakin mengurangi keterikatan pada hasil yang menyenangkan dan akan mengurangi kecenderungan untuk menyalahkan orang lain karena hal yang tidak menyenang­kan yang akan kita alami. Kita tidak akan berhasrat untuk melekat kuat pada rangsangan nafsu yang menyenangkan, karena rangsangan itu tak dapat membawa ke kebahagiaan yang kekal. Kita akan lebih sabar dalam situasi yang bagaimanapun dan tidak akan marah bila dihina dan dicela.
c.       Menimbulkan akan kesadaran akan kesucian batin
Orang yang tertarik belajar Abhidhamma maka ia ingin mempelajari segala sesuatu yang lebih mendalam dalam penger­tian paramatthadhamma karena hal ini juga ada hubungannya dengan salah satu nasehat Buddha yang berbunyi: "Sacitta Pariyodapanam" yang artinya: Sucikan hati dan pikiran. Untuk menyisihkan pikiran orang harus mempelajari seluk-beluk pikiran, mengingat pikiran merupakan dasar dari semua perbuatan, baik dan tidak baik yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan Abhidhamma akan mendorong kita untuk melatih diri dalam melaksanakan Vipassana Bhavana. Dengan melaksanakan Vipassana Bhavana sedikit demi sedikit kekotoran batin yang menjadi akar dari kekotoran batin dapat disingkirkan.

0 komentar:

Posting Komentar