AGAMA DAN POLITIK MORAL
Dalam konteks kehidupan sosial
kemasyarakatan, hubungan antara agama dan politik jelas memiliki suatu
keterkaitan, namun tetap harus dibedakan. Satu pihak, masyarakat agama
memiliki kepentingan mendasar agar agama tidak dikotori oleh kepentingan
politik, karena bila agama berada dalam dominasi politik, maka agama
akan sangat mudah diselewengkan. Akibatnya agama tidak lagi menjadi
kekuatan pembebas atas berbagai bentuk penindasan dan ketidakadilan,
sebaliknya agama akan berkembang menjadi kekuatan yang menindas dan
kejam.
Di pihak lain, adalah kewajiban moral
agama untuk ikut mengarahkan politik agar tidak berkembang menurut
seleranya sendiri yang bisa membahayakan kehidupan. Agar agama dapat
menjalankan peran moral tersebut, maka agama harus dapat mengatasi
politik, bukan terlibat langsung ke dalam politik praktis. Karena bila
agama berada di dalam kooptasi politik, maka agama akan kehilangan
kekuatan moralnya yang mampu mengarahkan politik agar tidak berkembang
menjadi kekuatan yang menekan kehidupan dan menyimpang dari batas-batas
moral dan etika agama, masyarakat, dan hukum.
Dalam konteks keterkaitan ilmiah, maka
hubungan antara agama dan politik harus kita waspadai sehingga ia tidak
sampai berjalan pada posisi yang salah. Salah satu ukuran atau kunci
yang paling mudah dikenali agar kita dapat menarik batas yang mana
politik yang harus dihindari sehingga kita tidak terjebak ke dalam arus
politik kotor, khususnya oleh kaum Buddhis adalah dengan menghindari
penggunaan kekerasan. Artinya politik yang harus dihindari adalah
politik yang menyangkut perebutan kekuasaan melalui penggunaan
kekerasan, termasuk dengan memperalat orang lain atau suatu organisasi,
apalagi bila sudah menggunakan simbol-simbol agama yang bisa sangat
menyesatkan.
Jadi, agama secara moral dan politis
berada pada posisi yang benar pada saat agama tidak menjadi alat untuk
memperebutkan atau mempertahankan status quo kekuasaan. Sehingga pada
saat agama mengarah kepada politik kekuasaan, pada saat itulah agama
dalam posisi yang salah dan berbahaya. Jadi ada 2 hal keterkaitan yang
menjadi wacana diskusi kita, pertama bagaimana agama dapat membentengi
diri mereka dari setiap kecenderungan/kekuatan politik yang berkembang
di sekitar mereka, sehingga agama dapat tetap menjadi kekuatan pembebas
dan bukan sebaliknya menjadi yang dibebaskan atau pencipta masalah
karena telah terdistorsi oleh kekuatan-kekuatan politik tersebut. Kedua
bagaimana agama dapat memainkan peran moral mereka untuk ikut
mengarahkan politik agar tidak berkembang menjadi kekuatan yang
menyimpang dan menekan kehidupan.
Tetapi kedua hal di atas hanya dapat
berjalan dengan baik bila kita memiliki pemahaman yang cukup mendalam
atas setiap proses politik yang berjalan. Tanpa adanya pemahaman atas
proses politik, sulit bagi kita untuk membentengi diri karena proses
pemahaman tersebut akan menimbulkan kepekaan nurani pada saat politik
berjalan pada arah yang salah, sekaligus menimbulkan suatu perencanaan
bagaimana arah politik yang seharusnya dan diharapkan, dengan
mempertimbangkan nilai-nilai yang menjadi keyakinan kita, baik
menyangkut rasa keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan.
Sebaliknya, kebutaan kita atas
persoalan politik akan membuat kita begitu mudah dibodohi oleh
kepentingan-kepentingan dan muatan-muatan politik yang tidak jelas
arahnya. Jadi usaha agar agama tidak dikotori dan diberi muatan politik
tidak berarti agama harus mengalami pendangkalan fungsinya sebagai agen
pembebas. Justru pemahaman atas proses politik diperlukan karena agama
memiliki peranan yang penting agar nilai-nilai moral dan spiritual mampu
memberikan muatan bagi politik, bukan sebaliknya. Selain itu, saat ini
pemahaman atas sistem politik, baik yang menyangkut masalah ekonomi
maupun sosial menjadi semakin penting bagi seorang Buddhis karena
bagaimanapun juga, berbicara mengenai Buddhisme adalah berbicara
mengenai bagaimana kita memahami penderitaan, untuk kemudian memahami
sebab dan jalan untuk mengatasinya. Buddhisme akan kehilangan akarnya
bila tidak sanggup lagi berbicara dan peduli dengan penderitaan dunia
saat ini yang sudah sedemikian kompleks.
Tetapi memahami penderitaan saat ini
tidaklah semudah kita memahami penderitaan pada zaman Buddha. Masyarakat
luas saat itu tidaklah seburuk sekarang dan sistem yang ada juga belum
terlalu kejam. Dan perubahan seseorang masih dapat memberikan pengaruh
yang besar. Contohnya adalah Supata yang dikenal sebagai Anathapindika.
Ia adalah seorang yang kaya raya, seorang banker pada zaman Buddha,
menjadi pendukung seluruh orang miskin di wilayahnya. Tapi pada zaman
sekarang, kita mungkin dapat menemukan seorang banker atau raja yang
baik, atau bahkan mungkin mengganti penguasa yang lalim, tapi hal ini
tetap saja tidak membawa perubahan yang mendasar. Ini bukan semata-mata
kesalahan si banker atau penguasa yang lalim.
Ini menyangkut seluruh bagian dari
suatu sistem yang pincang dan tidak demokratis. Melalui sistem ini
manusia saling membunuh dan menerkam. Karenanya kita perlu
mempertanyakan setiap sistem yang berlangsung, tapi bukan membenci
orang-orang yang terlibat dalam sistem tersebut. Oleh karena itu
pemahaman atas sistem politik, ekonomi, maupun ideologi menjadi sangat
penting. Usaha untuk mengatasi penghancuran lingkungan, ketidakadilan,
dan berbagai kesenjangan sosial, politik, dan ekonomi, misalnya, jelas
menjadi tugas seorang Buddhis.. Tapi kita juga tidak boleh lalai untuk
menyadari bahwa setiap komitmen moral yang kita miliki terhadap usaha
pembebasan penderitaan, sesungguhnya bersifat politis.
Mengatasi penderitaan memang merupakan
komitmen moral, tapi melakukan perubahan struktural yang tidak
demokratis agar rakyat terbebas dari struktur sosial yang menindas dan
banyak menimbulkan penderitaan, maupun yang melanggengkan ketergantungan
dan ketidak berdayaan mereka, merupakan keputusan politik. Jadi jelas,
pembebasan penderitaan saat ini tidak dapat dipahami hanya dalam konteks
pribadi, karena Buddhisme selain memberi sarana bagi pembebasan
pribadi, ia juga harus dapat melapangkan jalan bagi pembebasan sosial
dan lingkungan.
Kita teringat dengan perjuangan
Ambedhar, seorang pemimpin besar dan bapak konstitusi India. Meskipun ia
menjadi Buddhis pada saat-saat akhir masa hidupnya, akan tetapi
kedalaman spiritual dan intelektualnya membuat ia mampu membawa ajaran
Buddha dengan cara yang mengagumkan. Ia tidak hanya menjadikan Buddhisme
sebagai sumber pencerahan pribadi, tapi juga bagaimana nilai Buddhisme
mampu memberikan pengharapan dan pencerahan bagi jutaan rakyat India,
yang mengalami banyak ketidakadilan dan pendiskriminan saat itu.
Buddhisme saat itu telah menjadi kekuatan pembebas yang begitu hebat,
bukan hanya sebagai pembebasan pribadi, tapi juga pembebasan sosial dan
politik.
Ambedhar senantiasa mengingatkan bahwa
tidaklah cukup bagi seorang Buddhis berbicara mengenai sebab
penderitaan hanya dari kebencian, keserakahan, dan kebodohan individual.
Itu hanya satu sisi dari sebab “internal” karena di samping itu,
struktur sosial dan politik yang pincang adalah juga sebab penderitaan
sebagai sebab-sebab yang tidak tersentuh. Sebagai seorang Buddhis,
transformasi pribadi memang harus tetap dilakukan, tapi kita akan tetap
dibodohi bila kita tidak memahami secara jelas bagaimana sebuah sistem
berjalan dan cara untuk mengubah sistem dan kondisi masyarakat yang
menindas.
Bila selama ini etika sosial Buddhis
telah menjadi begitu pribadi, maka kita perlu menginter- pretasikannya
kembali sehingga sila selain berguna untuk menuntun cara hidup individu,
ia juga harus dapat mempertanyakan berbagai sistem dan kebijaksanaan
yang berlangsung dengan melihat bagaimana suatu sistem juga mengandung
suatu kekerasan dan penindasan. Pancasila Buddhis misalnya, dalam
masyarakat tradisional yang hidup sederhana, masalah-masalah etika/sila
juga menjadi mudah dan sederhana. Seseorang dapat saja berkata “Saya
baik, saya tidak membunuh, mencuri,…..” tapi ketika masyarakat sudah
berkembang semakin kompleks, kesederhanaan etika seperti itu menjadi
kurang berfungsi. Tidak mencuri, sila kedua misalnya, secara formal
seseorang mungkin memang bukan pencuri. Tapi bagaimana dengan sistem
tata niaga atau sistem embargo ?. Apakah hal tersebut tidak melanggar
sila.
Begitupun dengan pemikiran Buddhis
atas pencerahan dan kebijaksanaan yang mutak diperlukan sehingga tidak
selalu diartikan sebagai pencerahan pribadi.. Kebijaksanaan (panna)
harus mengandung pemahaman yang benar atas diri sendiri dan masyarakat.
Bila kita memahami masyarakat dan bila masyarakat dalam kondisi yang
diliputi oleh ketidakadilan, mengeksploitasian, dan kekerasan, bagaimana
tanggapan kita atas hal tersebut? Apakah kita melepaskan tanggung jawab
moral sosial kita dan cukup menjadi “seorang Buddhis yang baik”. Apa
benar Buddhisme tidak memiliki tanggung jawab dan kepedulian sosial?
Kesadaran-kesadaran inilah yang masih
perlu dibangun dan disadari oleh setiap generasi muda Buddhis para calon
intelektual muda bangsa. Memang ini masih menjadi sesuatu yang sangat
baru dan asing bagi sebagian besar masyarakat Buddhis, karena selama ini
kita terlalu sering membiarkan diri kita berdiri terlalu jauh dari
masalah-masalah sosial politik aktual. Tapi dengan memahami bahwa sistem
juga adalah bagian yang tidak terlepas dari penyebab penderitaan,
semoga kita dapat semakin terbuka untuk mulai belajar setiap proses
sosial politik yang berlangsung, sehingga kita dapat semakin menyadari
hakekat pembebasan yang menjadi amanat dasar dari Dharma.
Bila Dharma sesuatu yang tidak terikat
oleh waktu, ia juga harus dapat berguna bagi usaha pembebasan di segala
zaman. Sudah saatnya bagi generasi muda Buddhis, khususnya mahasiswa
calon intelektual muda, untuk mulai berani berbicara mengenai landasan
ekonomi, termasuk politik yang seringkali menjadi sebab tak tersentuh
dari persoalan penderitaan dan kemanusiaan. Akhirnya mengapa pemahaman
dan wawasan yang mendalam atas persoalan sosial politik diperlukan,
karena sebagai manusia yang memiliki semangat spiritualitas Dharma, yang
selalu bersandar kepada kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan, akan
terusik nuraninya bila melihat politik berkembang menjadi kekuatan yang
kotor, menekan dan menindas. Yang kita inginkan adalah politik moral
yang dapat memperjuangkan kehidupan ke arah demokrasi, bukan politik
binatang yang mematikan demokrasi dan kemanusiaan.
0 komentar:
Posting Komentar