AGAMA BUDDHA DAN KESEHATAN
A. Latar
Belakang Masalah
Kesehatan memegang peranan penting dalam kehidupan
manusia. Dengan kesehatan segala aktivitas dapat terlaksana sesuai dengan
tujuan yang akan dicapai. Secara umum kesehatan
terbagi menjadi dua yaitu kesehatan fisik dan kesehatan mental atau jiwa. Dua
jenis kesehatan ini saling terkait satu dengan yang lainnya. Misalnya orang
yang tidak memiliki keluh kesah fisik dipandang orang yang sehat secara mental.
Memiliki kesehatan merupakan anugrah tertinggi, Nibbana adalah kebahagiaan
tertingi (M.II.VII.65). Oleh karena itu upaya untuk memelihara kesehatan
jasmani maupun mental diperlukan ilmu pengetahuan khusus menangani kesehatan
yang dikenal dengan ilmu kedokteran.
Ilmu pengetahuan termasuk ilmu kedokteran tersusun secara
sistematis berdasarkan bukti yang dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat
sehingga terbukti keotentikannya. Buddha Gotama pernah bersabda seperti yang
tertuang dalam Dhammanusatti “datang lihat dan buktikkan” ehipasiko. Secara
implisit Buddha Gotama telah memiliki pemikiran yang sistematis sebelum
pengetahuan berkembang. Hal ini membuat penulis tertarik untuk mendiskripsikkan
agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan khususnya dalam bidang kesehatan.
B. Rumusan
Masalah
Ilmu kesehatan merupakan masalah yang kompleks dan cukup
luas, oleh karena itu penyusun dalam makalah ini penulis membatasi bagaimanakah hubungan agama Buddha dan ilmu kesehatan
?
C. Tujuan
Mendeskripsikan hubungan agama Buddha dan ilmu kesehatan.
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kesehatan
Kesehatan merupakan dasar untuk peningkatan dan Pembinaan
kesegaran jasmani. Sebelum kesegaran jasmani, kita harus dalam Kondisi “sehat”.
Pola hidup sehat yaitu suatu kesatuan program yang meliputi program kesehatan,
kesegaran Jasmani, gizi dan aktivitas rekreasi yang bila dilaksanakan dengan
baik dan benar akan mendukung tercapainya produktivitas kerja yang tinggi.
Manfaat dari pola hidup sehat yaitu: a) berpenampilan lebih sehat dan ceria, b)
dapat tidur nyenyak, c) dapat menikmati kehidupan sosial baik di lingkungan
keluarga maupun masyarakat, d) sehingga meningkatkan kualitas hidup, e) dapat
belajar atau berkarya lebih baik, f) dapat meningkatkan produktivitas kerja, g)
berpikir sehat dan positif, h) merasa tentram dan nyaman, i) memiliki rasa
percaya diri dan hidup seimbang.
Kesehatan adalah “ keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan
sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan
ekonomis. (UU no: 23 tahun 1992). Kebiasaan-kebiasaan baik dalam pola hidup
sehat meliputi: 1) pemeliharaan kebersihan dan kesehatan pribadi, 2) makan
makanan sehat, 3) makanan harus disesuaikan dengan usia dan jenis aktivitas
tubuh, 4) pemeliharaan kesehatan lingkungan, 5) pemeriksaan kesehatan secara
berkala, 6) menghindari kebiasaan buruk, 7) hindari memakai perlengkapan
pribadi orang lain, 8) jangan melakukan hubungan sek di luar nikah, 9) menghindari
stress.
Kesegaran jasmani mepupakan kemampuan untuk melakukan
kegiatan sehari-hari tanpa merasa kelelahan yang berlebihan, serta masih
memiliki cadangan tenaga untuk mengisi waktu luang dan kegiatan-kegiatan yang
sifatnya mendadak. Komponen kesegaran jasmani meliputi: kesehatan (daya tahan jantung, paru-paru, komposisi tubuh,
fleksibilitas, kekuatan dan daya tahan otot) dan keterampilan (daya ledak, kecepatan, kelincahan, koordinasi,
kecepatan reaksi, dan keseimbangan).
Kesehatan merupakan suatu keadaan yang sehat, kebaikan
badan jasmani, keadaan sehat jiwa, masyarakat kesehatan jasmani bagi rakyat
(KBBI, 2001. 1011). Kesehatan merupakan harta yang sangat berharga yang
dimiliki manusia. Konsep kesehatan itu sendiri adalah suatu keadaan dimana
badan jasmani, mental lingkungan dan segala sesuatu yang ada disekitarnya
benar-benar terjadi suatu keharmonisan. Dalam kehidupannya yang suka mengganggu
kehidupan orang lain, suka adu domba, fitnah, menyeleweng dan menipu, gejala tersebut
merupakan unsur dari pada kejiwaan yang tidak sehat, jiwa yang sehat akan
menimbulkan jasmani yang sehat pula. Berarti sehat merupakan suatu konsep dasar
yang mudah dirasakan dan diamati keadaannya. Misalnya orang yang tidak memiliki
keluh kesah fisik dipandang orang yang sehat secara mental. Menurut WHO (World
Health Organization) kesehatan merupakan suatu bentuk yang sangat luas dan
keadaan yang sempurna baik fisik, mental maupun sosial, tidak hanya terbebas
dari penyakit, kelemahan atau merupaka suatu keadaan ideal dari segi biologis,
psikologis dan sosial.
Mental adalah cara berpikir dan berperasaan berdasarkan
atas nurani yang tercermin pada perilaku seseorang. Kesehatan mental merupakan:
a). Terhindarnya seseorang dari gejala-gejala gangguan jiwa dan penyakit jiwa, b).
Kemampuan untuk menyesuaikan diri sendiri, dengan orang
lain dan masyarakat serta lingkungan dimana dia hidup, c). Pengetahuan dan
perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan segala potensi,
bakat dan pembawaan yang ada semaksimal mungkin sehingga membaur kepada
kebahagiaan sendiri dan orang lain, serta terhindar dari gangguan dan penyakit
jiwa, d). Terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi jiwa,
serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problema – problema yang biasa
terjadi (Dr. Darajat, 1996). Terdapat dua faktor yang mempengaruhi mental sehat, yaitu: faktor
internal (sifat pemarah, halus, talenta) faktor keturunan : intelektualitas,
emosi, potensi. Dan faktor eksternal (pendidikan agama,
status sosial, hukum, budaya dan sistem pemerintahan, berbohong). Ciri-ciri seseorang yang
memiliki mental yang sehat: jujur, terpercaya (amanah), adil, konsisten, dapat
bekerjasama, beriman dan bertaqwa, bertanggungjawab, berpikir positif, sikap
hormat dan sopan santun, menghargai orang lain dan berperilaku tertib, dewasa,
disiplin, menghargai waktu.
Seseorang dikatakan sehat tidak hanya terlepas dari
penyakit dan kelemahan, tetapi juga mampu menjalankan aktivitas kehidupan dan
dapat menyesuaikan diri dengan perubahan. Untuk mencegah berbagai penyakit
diperlukan dukungan masyarakat, sumber alam dan fasilitas yang memadai.
(Mariati Sukarni,1994;140).
B.
Konsep kesehatan menurut Agama Buddha
Manusia mengenal dirinya pada mulanya dari dimensi
biologisnya dan memanfaatkan anggota tubuhnya untuk memenuhi kebutuhannya,
makan, minum, dan bekerja. Jadi tidak langka bila tubuh mengalami gangguan
kesehatangnya karena manusia belum merasa puas bila kebutuhannya belum
tercukupi dan tidak pernah memperdulikan kesehatannya (terlalu bekerja keras,
tidak ingat waktu). Dalam agama Buddha dimensi biologis (jasmani) terbagi
menjadi empat unsur yaitu tanah, air, api dan gas. Ketidak seimbangan dari
keempat unsur ini menjadi salah satu sebab timbulnya gangguan kesehatan.
Status kesehatan seseorang ataupun masyarakat sangat
dipengaruhi oleh lingkungan, sekalipun tidak tepat tetapi juga tidak salah, kesehatan
lingkungan sering diartikan sebagai kebersihan lingkungan. kesehatan lingkungan
seharusnya, mencakup pula kebersihan perorangan, kebiasaan hidup dan semua
dampak hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan pertalian dengan
peningkatan derajat kesehatan atau pencegahan penyakit. Lingkungan yang bersih
adalah lingkungan yang sehat, jadi ini tergantung dari manusia dan masyarakat
dimana menjaga lingkungan yang bersih. Setiap
individu memiliki peranan dalam kehidupan baik keluarga, masyarakat dan
sekolah. Seseorang yang mempunyai jasmani dan mental yang sehat akan meras puas
dengan perannya dalam lingkungannya tersebut, tetapi sebaliknya seseorang tidak
memiliki sehat jasmani dan mental yang sehat tidak merasa terpuaskan dalam
peranan-peranan tersebut, dan memang bila seseorang tidak memiliki badan
jasmani dan mental yang kuat tidak bisa beraktifitas dengan baik.
Manusia merupakan satu kesatuan dari unsur jasmani dan
rohani, mengenai pemahaman yang benar terhadap tubuh yang rapuh yang merupakan
sarang suatu penyakit yang justru akan mendorong agar manusia memperhatikan
perawatan tubuhnya dengan baik. “Perhatikanlah tubuh yang indah ini, penuh
penyakit, terdiri dari tulang belulang, lemah dan perlu banyak perawatan,
keadaan tidak kekal serta tidak tetap” (Dhp. XI. 147). Perilaku yang bersih dan
sehat akan menghasilkan lingkungan yang bersih dan sehat pula, begitu pula
sebaliknya lingkungan yang bersih dan sehatakan mendorong perilaku yang bersih
dan sehat pula, walaupun diri sendiri merupakan factor utama dalam menciptakan
keadaan yang sehat.
Salah satu hal yang sangat penting dalam pribadi
seseorang adalah ksehatan mental, yaitu kondisi mental yang tidak sakit. Buddha
Dhamma berperan besar dalam memecahkan kesulitan para ahli tentang kesehatan
mental, Buddha menunjukkan bahwa setiap orang secara terus-menerus mendengarkan
suatu suara dalam dirinya dan menafsirkan apa yang sedang dirasakannya.
Tindakan ini merupakan tindakan untuk menenangkan diri terhadap prasangka,
kegelisahan dan ketakutan. “melenyapkan kegelisahan, dan kekawatiran maka akan
terbebas dari perasaan tegang, dengan pikiran tenang, mensucikan batinnya dari
kegelisahan dan kekawatiran. Ia melenyapkan keragu-raguan, ia hidup bagaikan
orang yang telah terbebas dari kekacauan batin dan batinnya berada dalam
kebaikan, ia mensucikan batinnya dari keragu-raguan” (D.III.XIV.25).
“Sehat adalah anugerah tertinggi, Nibbana adalah
kebahagiaan tertinggi” (M.II.VII.65). Nibbana adalah tujuan tertinggi umat
Buddha, sedangkan sakit, usia tua, kematian sebagai ciri dari penderitaan
merupakan proses tak terelakan yang penuh makna dan hikmah dalam perjalanan
mencapai tujuan tertinggi. “Sungguh bahagia hidup tanpa penyakit diantara
orang-orang yang berpenyakit, diantara orang-orang yang berpenyakit hidup tanpa
penyakit” (Dhp. XV.198). Jadi dalam hal ini tidak bisa dikatakan bahwa tujuan
agama adalah sebuah keadaan kesehatan mental yang sempurna dan kebahagiaan
sejati, tetapi selama manusia belum melenyapkan dukkha dalam dirinya maka
kesakitan mental akan berada dalam dirinya bahkan dapat berkembang dengan cepat
dan kedamaian Nibbana belum dapat dirasakan. Perlu diketahui bahwa tujuan dari Buddha
mengajarkan dhamma adalah untuk kebahagiaan umat manusia dan memperoleh mental
yang benar-benar bebas dari penyakit apapun. Bhagava mengajarkan dhamma agar
dhamma dapat melenyapkan dukkha dari orang yang melaksanakannya (D.III.XIV.24).
Dukkha merupakan kekacauan-kekacauan dan nibbana adalah keadaan yang teratur
dan sehat, tetapi umat Buddha dalam pengurangan serta pelenyapan dukkha dan
mencapai nibbana yaitu dengan pelaksanaan delapan jalan utama secara sempurna.
Kesehatan terapi buddhis menjadi suatu pedoman yang
disebut dengan jalan utama beruas delapan, yang merupakan terapi penolong dan
terapi yang sebenarnya, trapi ini mencangkup perilaku setiap hari dari disiplin
mental serta pengenalan terhadap teori filsafat Buddha Dhamma, terapi yang
sebenarnya adalah meditasi (Dhyana ) terapi buddhis dalam melenyapkan kekacauan
mental memiliki beberapa kesamaan seperti teks wawancara dan diskusi, meditasi
mirip dengan tehnik terapi perilaku karena bagaimanapun terdapat beberapa aspek
meditasi yang merupakan keunggulan dalam terapi buddhis, hal yang penting dalam
meditasi adalah perhatian, sempurna dalam perilaku, suci dalam cara hidup,
sempurna dalam sila, terjaga dalam pintu indriya, memiliki perhatian murni dan
pengertian yang jelas. Terapi buddhis mengatakan bahwa penyebab tubuh ini
menjadi sakit dan sehat adalah karena adanya melalui perasaan jasmani (rasa
sakit) dan keadaan pikiran (emosi-emosi) yang mempengaruhinya. Dengan begitu
apabila tubuh ini ingin tetap sehat hendaknya menyadari segala bentuk-bentuk
pikiran emosi-emosi yang timbul dalam diri. Yang dimaksud dengan bentuk pikiran
yang menyebabkan penderitaan karena mempunyai beberapa hal yaitu: (1).
Keserakahan, (2). Harga diri yang terluka, (3). Iri hati, (4). Kebencian, (5).
Kekhawatiran.
C. Pengaruh
Perkembangan Ilmu Kedokteran Terhadap Pola Hidup Manusia
Kehidupan manusia yang semakin maju baik dalam ilmu
tekhnologi maupun kedokteran mempunyai pengaruh yang dapat mengembangkan pola hidup
manusuia yaitu :
a.
Untuk
meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat dibidang kesehatan, meningkatkan
mutu pemeriksaan yang terjamin terhadap penyakit-penyakit yang diderita,
sehingga terbukti dan dapat dipertanggung jawabkan hasil pemeriksaannya.
b.
Dengan
banyaknya peralatan dan fasilitas yang digunakan maka akan meningkatkan pula
mutu dari tenaga medis (Fahrul rasyid, tempo tahun 1990:76, murniyati,
rangkuman agama Buddha dan disiplin ilmu I dan II 2003 ).
c.
Semakin
banyaknya penelitian-penelitian media yang dilakukan secara intensif maka akan
mendorong didirikannya labolatorium kesehatan dengan peralatan dan fasilitas
yang lebih lengkap.
d.
Perkembangan
ilmu kedokteran dapat meningkatkan mutu manusia secara fisik (ilmu bedah dapat
membantu manusia menutupi cacat fisik yang ada pada dirinya) (medika, 1992: 59,
murniyati, Rangkuman Agama Buddha dan disiplin ilmu I dan II 2003).
D.
Penyalahgunaan Narkoba dan Psikoterapika
1.
Pengertian
Narkotika dan Psikoterapi
Narkotika adalah
suatu zat atau bahan yang mempunyai efek kerja tertentu serta menimbulkan
gejala-gejala fisik dan psikis bagi pemakai dan lama- kelamaan akan menimbulkan
ketergantungan bagi pemakai kepada bahan narkotika tersebut sehingga pemakai
akan selalu membutuhkannya. Menurut UU No. 22 Tahun 1997 Pasal 1, Narkotika
adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis
ataupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat
menimbulkan ketergantungan. Menurut UU No. 5 Tahun 1997 Pasal 1, Psikoterapi
adalah zat atau obat, baik alamaiah atau sintesis bukan narkotika, yang
bersifat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang
menyebabkan perubahan pada aktivitas mental dan perilaku.
2.
Penggolongan
Narkotika dan Psikoterapi
Berdasarkan UU No.
22 Tahun 1997 tentang narkotika, ada tiga golongan berdasarkan tinggi rendahnya
potensi yang dapat menimbulkan ketergantungan, yaitu:
a.
Narkotika
golongan 1 yaitu narkotika yang dapat digunakan untuk tujuan perkembangan ilmu
pengetahuan, bukan untuk digunakan dalam terapi karena potensinya sangat tinggi
dan mengakibatkan ketergantungan. Diantaranya: Opium mentah, Opium masak,
tanaman koka (Geneus Erythroxloncoca) dan ganja.
b.
Narkotika
golongan II yaitu narkotika yang digunakan untuk pengobatan, namun merupakan
pemilihan terakhir, bisa digunakan untuk terapi atau bertujuan untuk
pengembangan ilmu pengetahuan dan memiliki potensi tinggi mengakibatkan
ketergantungan. Diantaranya: Morfin (berasal dari tanaman papaversomiferum L,
morfin berupa serbuk putih yang bisa digunakan untuk menghilangkan rasa nyeri
sepewri pada penderita kanker atau pada operasi), fentanil, egonina, petinida
dan berikut garam-garamnya.
c.
Narkotika
golongan III yaitu narkotika yang digunakan untuk pengobatan atau terapi dan
pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan
ketergantungan. Diantaranya: Kodein (sintesa dari morfin, namun bersifat lebih
ringan) Etil morfin, Dihidrokodlin dan berikut garam-garamnya.
Berdasarkan UU. No.
5 Tahun 1997 tentang psikoterapika, ada empat penggolongan psikoterapika,
yaitu:
·
Psikoterapi
golongan I yaitu psiloterapi yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu
pengatuhuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi sangat
kuat mengakibatkan ketergantungan. Diantaranya: Brolamfetamina, etisiklinida,
etriptamina dan katinona.
·
Psikoterapika
golongan II yaitu Psikoterapika yang berkhasiat untuk pengobatan dan dapat
digunakan dalam terapi atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai
potensi kuat mengakibatakan ketergantungan. Diantaranya: Amfetamina,
fenetilina, rasemat, metamfetamina dan zipepprol.
·
Psikoterapika
golongan III yaitu psikoterapika yang berkhasiat untuk pengobatan dan dapat
digunakan dalam terapi atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai
potensi sedang mengakibatkan ketergantungan. Diantaranya: Amobarbital,
buprenorfina, butalbital dan katina.
·
Psikoterapi
golongan IV yaitu psikoterapika yang berkhasiat untuk pengobatan dan dapat
digunakan dalam terapi atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai
potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Diantaranya: Alprazolam,
amfepramona, aminorex, barbital dan etinamat.
Selain
psikoterapika golongan I, II, III dan IV masih terdapat psikoterapika lainnya
yang tidak mempunyai potensi ketergantungan tetapi digolongankan sebagai obat
keras. Oleh karena itu pengaturan, pembinaan dan pengawasannya tunduk pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang obat keras.
3.
Sebab
terjadinya penyalahgunaan narkotika dan psikoterapika.
Penyalahgunaan
narkotika dan psikoterapika yang terjadi sangat relative dan bermacam alas an.
Hal ini lebih banyak terjadi pada kalangan generasi muda. Saat ini banyak
pemakai dan pengedar narkotika dan psikoterapika yang mulai masuk kalangan
pelajar dan mahasiswa, bahkan dikalangan dasar. Padahal penggunaan narkotika
dan psikoterapika secara berlebihan dapat menyebabkan kemerosotan pada diri
pemakai. Generasi muda (remaja) yang
masih dalam pertumbuhan dan perkembangan akan merasa harmonis, gembira,
produktif apabila semua kebutuhan tidak terpenuhi dengan cukup maka generasi
muda akan mengalami kekecewaan, tidak puas dan akan frustasi yang pada akhirnya
akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya. Dengan demikian setiap tingkah
laku remaja selalu berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai. Pemakai
pengedar narkotika dan psikoterapika mempunyai beberapa alasan dalam menggunakan
atau mengedarkan narkotika dan psikoterapika. Kalangan pengedar melakukannya dengan
alasan adanya desakan perekonomian yang kurang baik dalam keluarga, sehingga mereka menggunakan
jalan mengendarkan narkotika dan psikoterapika untuk memperoleh keuntungan yang
lebih untuk menutupi kebutuhan keluarga. Pegedar narkotika dan psikoterapika
termasuk mata pencaharian yang salah, artinya pekerjaan mengedarkan narkotika
dan psikoterapika menyebabkan orang mengkonsumsi barang yang dapat meracuni
atau menyebabkan kerusakan jasmani dan mental. Buddha mengajarkan kepada para
siswanya tentang adanya enam saluran untuk penghamburan kekayaan yaitu:
ketagihan akan minum-minuman keras, sering keluyuran di jalan pada waktu yang
tidak pantas, mengejar tempat-tempat hiburan, gemar berjudi, mempunyai
pergaulan yang tidak baik atau salah dalam memilih teman dan mempunyai
kebiasaan menganggur (D.III.180-193). Dalam Pancasila Buddhis sila ke-lima
telah jelas disebutkan bahwa minum dan atau makan minuman dan atau makanan yang
dapat melemahkan kesadaran merupakan tindakan yang harus dihindari.
4.
Gejala-gejala
pada korban narkotika dan psikoterapika
Gejala-gejala dini
korban ketergantungan narkotika dan psikoterapika antara lain:
a.
Adanya
perubahan kebiasaan dan tingkah laku sehari-hari seperti kehilangan minat
bergaul, olah raga, mengendornya disiplin pribadi, suka menyendiri, mudah
tersinggung dan marah, suka berbuat curang dan tidak jujur, sering menghindari
dari perhatian orang banyak, selalu berhubungan dengan orang-orang itu saja.
b.
Menurunnya
prestasi di sekolah atau kantor.
c.
Disiplin
kerja mulai luntur.
d.
Ditemukannya
barang-barang atau alat-alat obat tertentu, seperti alat penghisap, skuit
injeksi, ipetetes, pipet plastic, alumunium foil, amplop-amplop atau bungkusan
yang berisi serbuk (DEPKES, 1996:6)
5.
Akibat
Dari Penyalahgunaan Narkotika Dan Psikoterapika
Beberapa akibat dari
penyalahgunaan narkotika dan psikoterapika dapat dilihat dari beberapa aspek
yaitu:
·
Aspek
jasmani dan mental meliputi kelainan pada otak, rasa panik, merubah pola hidup
individu dan menimbulkan ketidakstabilan emosi.
·
Aspek
psikologis meliputi timbulnya halusinasi visual, denyut jantung yang bertambah
cepat, berbicara dan tertawa yang tidak terkontrol, hilangnya persepsi waktu,
kesadaran merubah seakan-akan mimpi, menurunnya fungsi paru-paru dan akan
menyebabkan kematian.
·
Aspek
ketahanan dan keamanan meliputi banyaknya tindakan tindakan pencurian,
perampokan, kenakalan remaja, kebrutalan serta semua yang berkenaan dengan
adanya tindakan kriminal.
·
Aspek
sekolah dan keluarga meliputi banyaknya pergaulan yang kurang baik, perkelahian
atau tawuran pelajar, timbulnya pencurian dan kekerasan, kurangnya keharmonisan
dalam keluarga, putusnya hubungan dalam keluarga. Berkenaan dengan akibat dari
penyalahgunaan narkotika dan psikoterapika, sang Buddha telah mengajarkan kepada siswanya
tentang adanya enam akibat buruk dari kegemaran akan minum minuman keras yaitu:
kehilangan harta dengan cepat, menambah adanya pertengkaran, mudah terkena
penyakit, memperoleh nama buruk, menunjukkan rasa tidak kenal malu dan dapat
melemahkan daya kecerdasan (D.iii.180-193).
6.
Penanggulangan
penyalahgunaan narkotika dan psikoterapika
a.
Pihak
orang tua
Orang
tua dan anggota keluarga sangat berperan dalam penanggulangan penyalahgunaan
narkotika dan psikoterapika. Peran orang tua atau keluarga dalam memberikan
pendidikan serta membimbing anggota keluarganya dengan, menciptakan suasana
nyaman dalam keluarga, komunikasi yang baik, penjelasan secara terinci mengenai
narkotika dan psikoterapika. (DEKDIKNAS,1999:39-40).
b.
Pihak
instansi pendidikan
Instansi
pendidikan dapat menggunakan beberapa cara dalam menangani penyalahgunaan
narkotika dan psikoterapika. Upaya ini dapat dilakukan dengan melakukan
kerjasama dengan instansi terkait dengan narkotika dan psikoterapika atau
penegak hukum. Membentuk atau memfungsikan kembali badan fungsional yang
menangani permasalahan kenakalan siswa. (DEPDIKNAS,2002:32-33).
c.
Pihak
kepolisian
Pihak
kepolisian dalam
menaggulangi penyalahgunaan obat obat terlarang menggunakan berbagai cara
antara lain:
·
Banyaknya
kegiatan operasi atau razia dijalan-jalan, instansi pemerintah dan tempat
tempat pendidikan.
·
Mengadakan
penyauluhan tentang bahaya dari penyalahgunaan narkotika dan psikoterapika.
·
Mengadakan
operasi pada hotel-hotel, tempat-tempat hiburan, seperti bar, club malam,
tempat-tempat panti pijat dan tempat remang-remang.
d.
Pihak
pemerintah
Berkenaan
dengan penggunaan, pengedaran dan penyalahgunaan narkotika dan psikoterapika
maka pemerintah telah berupaya untuk mengatur dan menaggulangi nasalah ini
dengan mengeluarkan Undang Undang. Yaitu UU no.22 tahun 1997 tentang narkotika
dan UU No. 5 tahun 1997 tentang psikoterapika. Didalam UU ini terdapat berbagai
macamcara penyaluran, pemakaian, dan hukuman-hukuman yang akan diberikan baik
pidana atau denda bagi mereka yang melanggar ketentuan yang ada.
Selain larangan-larangan serta peraturan-peratuaran
pemerintah dan UU yang telah ditetapkan ada beberapa cara penanggulangan
penyalahgunaan narkotika dan psikoterapika, seperti adanya tindakan preventif
dan reprentif (pencegahan dan tindakan).
a.
Tindakan
preventif
Merupakan
upaya pencegahan terjadinya penyalahgunaan narkotika, psikoterapika, obat keras
dan minum minuman keras. Pencegahan ini melalui beberapa jalur seperti jalur
pendidikan baik secara formal maupun non formal, jalur sosial.
b.
Tindakan
reprensif
Tindakan
yang dilakukan antara lain tindakan pemberantasan penyelundupan dan
mengkonsumsi serta perawatan dan rehabilitasi terhadap korban narkotika dan psikoterapika,
mengadakan kerja sama dengan negara-negara lain dalam pelaksanaan pemberantasan narkotika dan
psikoterapika, mengadakan operasi operasi yang rutin.
7.
Penanggulangan
Penyalahgunaan Narkotika Dan Psikoterapika Menurut Pandangan Agama Buddha.
Penggunaan dan
peredaran obat obatan terlarang memang sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup
manusia. Sang Buddha menggolongkan obat obatan terlarang kedalam bagian makanan
atau minuman yang dapat menyebabkan hilangnya kesadaran dan ketagihan. Didalam
pancasila buddhis sudah dijelaskan bahwa umat Buddha bertekad untuk menghindari
makanan dan minuman yang menyebabkan mabuk dan ketagihan. Selain itu dalam
Sigalovada sutta Sang Buddha menjelaskan bahwa kekerasan tidak berdiri sendiri
namun berkaitan dengan tindakan kejahatan lainnya. Sang Buddha menganjurkan
siswanya untuk mematuhi lima sila, mengingat pelanggaran terhadap satu sila
juga akan menyebabkan pelanggaran sila lainnya, dan tindakan kekerasan biasanya
menyertai tindakan pelanggaran sila, pancasila buddhis yang harus dihindari
adalah tidak: “membunuh, mencuri, berzina, berdusta, makan minum yang
memabukkan” (D.iii.180-193).
Sang Buddha juga
menyarankan siswa-siswanya agar tidak bergaul dengan orang orang dungu. Seperti
yang dijelaskan Sang Buddha dalam Sutta Nipata; “tidak bergaul dengan si dungu,
bergaul dengan orang yang bijaksana dan menghormati itulah berkah termulia”.
“menjauhi dan tidak melakukan kejahatan, menghindari minum minuman keras yang
memabukkan dan mengakibatkan ketagihan, tekun mengamalkan dharma itulah berkah
yang mulia” (Sn.4). Sehubungan dengan moralitas atau perbuatan yang sesuai
dengan sila, Sang Buddha memberikan nasihat kepada rahula yang juga merupakan
nasihat Sang Buddha bagi umat Buddha dimanapun dan kapanpun berada: “jika ada
suatu perbuatan, rahula, yang ingin kamu lakukan, bayangkanlah demikian: apakah
perbuatan ini mengakibatkan kerugian saya, maupun orang lain, atau keduanya?
Lalu adakah perbuatan buruk ini membawa penderitaan. Perbuatan semacam ini
harus kamu hindari”. “ jika ada suatu perbuatan, rahula, yang hendak kamu
lakukan, bayangkanlah demikian: apakah perbuatan ini mengakibatkan kerugian
saya maupun orang lain atau keduanya? Lalu adakah perbuatan ini membawa
kebahagiaan. Perbuatan semacam ini harus kamu lakukan berulang ulang”
(Sn.ii.11).
Orang tua wajib
memberi tahu anak terhadap perbuatan perbuatan tercela yang mesti dihindari
yang mungkin saja sering dilihatnya seperti pembunuhan, pencurian, perzinaan,
berdusta, dan makan minum yang menyebabkan memabukkan (D.iii.180-193). Atau
juga sesuatu yang tidak dibenarkan seperti merangsang hawa nafsu yang menambah
belenggu penderitaan, yang memupuk kekotoran batin, yang menimbulkan ketidak
puasan, yang membuat atau bersifat malas dan bermewahan (A.vi.23). orang tua
juga berkewajiban menanamkan nilai nilai buddhis kepada anak. Misalnya tahu
tentang tujuh hal yang membawa kemajuan dan kemuliaan yaitu memiliki keyakinan,
malu berbuat salah, takut hasil perbuatan salah, banyak mendengar dan belajar,
bersemangat, memiliki kesadaran dan memiliki kebijaksanaan (jo priastana,
2000:119-121).
Dalam sigalovada
sutta Sang Buddha mengingatkan akan adanya enam jalan yang dapat menghabiskan
harta benda yang pada akhirnya menimbulkan penderitaan berkepanjangan. Keenam
jalan tersebut adalah: Ketagihan minuman keras, sering berkeliaran di jalan
pada waktu yang tidak pantas, gemar berjudi, pergaulan yang tidak dan kebiasaan
bermalas-malasan (D.III.180-193). Buddha menjelaskan tentang adanya enam akibat buruk dari kegemaran
akan inum-minuman keras, yaitu: Kehilangan harta dengan cepat, bertambah
pertengkaran, mudah terkena penyakit, memperoleh nama buruk, menunjukkan rasa
tidak kenal malu dan dapat melemahkan daya kesadaran (D.III.180-193).
E.
Rekayasa Genetika (cloning)
Cloning berasal dari bahasa Inggris Clone yang berarti
proses pengembangbiakan sekelompok mahkluk hidup yang berasal dari satu induk
tanpa hubungan seksual. Teknologi cloning juga berhubungan dengan teknologi
trasgenitik yaitu penyisipan Gen dari makluk yang sama sekali berbeda.
Kelihatannya gagasan cloning bukan barang baru dalam agama Buddha. Kloning yang
dimaksud adalah produk tenaga batin (abbinna). Kemampuan tenaga batin lain
misalnya membuat diri tidak terlihat, menyalin rupa, menciptakan harimau
jadi-jadian, menembus tanah, berjalan diatas air, membaca pikiran orang lain
dan mengingat tumimbal lahir yang terdahulu (D. III. 281).
Kloning yang menjadi isu sekarang adalah suatu teknik
membiakkan mahkluk baru secara seksual atau tanpa pembuahan dengan memakai sel
dewasa. Hasilnya berupa sekelompok organisme yang satu sama lain secara genetic
identik. Segi teori tumimbal lahir, reproduksi semacam ini dimungkinkan
terjadi. Apa yang disebut nyawa dalam bahasa konvensional atau dalam terminology
Buddhis adalah Patisandhi Gandhabba dijagat raya ini tidak terhitung jumlahnya
dan akan muncul menjadi mahkluk baru dengan mendapatkan unsure jasmani yang
tepat untuknya. Agama Buddha tidak mengenal kekuatan luar yang menentukan nasib
dan kelahiran seseorang, tetapi karma masing-masing yang menentukan. Tentu saja
ada karma perorangan dan ada karma bersama. Unsur jasmani yang diperlukan oleh
suatu makhluk baru berasal dari orang tua atau induknya (dengan daya tarik dan
pertalian karma yang sama). Kemampuan membelah atau memperbanyak sel dan tumbuh
berkembang tidak hanya dimiliki oleh unsure seks, tetapi juga ditemukan pada
unsure jasmani lainnya. Karena itu cara kelahirannya tidak selalu harus melalui
pembuahan.
Bila cloning manusia berhasil dilakukan, maka cara pembuahan
adalah tidak sesuai dengan ajaran agama Buddha. Dimana dalam pelaksanaan
prosesnya banyak terjadi pembunuhan embrio yang sudah merupakan makhluk hidup
baru dalam Mahatanhasankaya Sutta;
Embrio terjadi karena penggabungan tiga hal, yaitu:
1.
Adanya
pertemuan ayah dan ibu
2.
Ibu
dalam masa subur
3.
Adanya
makhluk yang siap lahir (M. I. 259).
Adanya manusia itu merupakan keturunan atau hasil perkawinan
dari ayah dan ibu. Kloning manusia dapat merusak tatanan lembaga perkawinan,
karena tidak memerlukan ayah dan ibu. Tanpa adanya perkawinan seseorang dapat
memiliki anak, tidak peduli orang itu pria atau wanita. Cinta kasih atau kasih
saying ibu dan ayah akan tidak ada lagi atau tatanan keluarga akan menjadi
hilang. Disamping itu pasangan homo maupun lesbian akan mendapat kebebasan
sebab mereka dapat memiliki anak dari mereka sendiri.
Ketika masih embrio bila dideteksi cacat maka mereka mudah diganti oleh embrio yang baru, maka pembunuhan telah terjadi. Hal ini menunjukkan penyimpangan, merugikan dan membahayakan manusia. Dengan demikian cloning manusia bertentangan dengan ajaran agama Buddha, karena dalam proses pelaksanaanya memungkinkan terjadinya suatu pembunuhan terhadap embrio (makhluk baru) dan hal ini akan bertentangan dengan pancasila Buddhis yakni sila pertama.
Ketika masih embrio bila dideteksi cacat maka mereka mudah diganti oleh embrio yang baru, maka pembunuhan telah terjadi. Hal ini menunjukkan penyimpangan, merugikan dan membahayakan manusia. Dengan demikian cloning manusia bertentangan dengan ajaran agama Buddha, karena dalam proses pelaksanaanya memungkinkan terjadinya suatu pembunuhan terhadap embrio (makhluk baru) dan hal ini akan bertentangan dengan pancasila Buddhis yakni sila pertama.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
Simpulan
Kesehatan adalah “ keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan
sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan
ekonomis. (UU no: 23 tahun 1992). “Perhatikanlah tubuh yang indah ini, penuh
penyakit, terdiri dari tulang belulang, lemah dan perlu banyak perawatan,
keadaan tidak kekal serta tidak tetap” (Dhp. XI. 147). Dalam agama Buddha tidak
dianjurkan melekati badan jasmani karena pada hakekatnya adalah tidak kekal,
tidak menyenangkan dan tanpa inti yang kekal. Tetapi tubuh perlu mendapatkan
perawatan agar tidak mudah terserang penyakit. Ada enam penyebab penyakit mudak
muncul yaitu: 1) suatu ketidak seimbangan dari empat unsur-unsur (tanah, air,
api, dan gas), 2) kebiasaan yang berkenaan dengan aturan makan tidak beraturan,
3) metoda meditasi yang salah, 4) minuman keras, 5) pemilikan setan, dan 6)
kekuatan dari karma yang tidak baik. Kersehatan meliputi kesehatan jasmani dan
mental. Jasmani memerlukan makanan materi untuk menjaga kesehatan, batin memerlukan makanan batin untuk menjaga kesehatan
mental atau jiwa.
B.
Saran
Makalah Agama Buddha dan Ilmu kesehatan ini masih jauh
dari kesempurnaan sehingga penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun demi perbaikan pada makalah selanjurtnya. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.
0 komentar:
Posting Komentar