Tiap orang memiliki
pandangan-pandangan berbeda tentang seorang bhikku. Jika ditinjau dari umur,
pendapat remaja lain dengan pendapat orang dewasa. Remaja berpendapat bahwa
menjadi bhikku berarti mencukur rambut mengenakan jubah, melaksanakan sila-sila,
dan mengendalikan hawa nafsu. Ini tak sesuai dengan jiwa meraka. Jiwa yang
penuh dengan gejolak nafsu. Sangat sulit bagi mereka yang mengendalikan nafsu
keinginan. Bagi mereka, masa remaja harus diisi dengan kesenangan-kesenangan
dan pergaulan. Menjadi bhikku adalah urusan di hari tua nanti.
Orang dewasa memiliki pandangan
lain lagi. Mereka mungkin menyatakan, menjadi bhikku berarti berusaha
menghindari kenyataan-kenyataan hidup. Menurut mereka, hidup adalah suatu
tantangan yang harus mereka hadapi.
Cara seseorang memandang
keadaan bhikku juga di pengaruhi oleh tingkat kesadaran yang dimilikinya. Pada
umumnya, makin bertambah umur seseorang makin bertambah pula kesadarannya.
Sehingga lama kelamaan ia dapat mengetahui hakekat untuk apa sebenar nya menjadi
bhikku. Dalam kitab suci Dhammapada, Vagga II (Appamada Vagga = Kewaspadaan),
ayat 21, sang Buddha menyatakan :
“Kesadaran adalah jalan menuju kehidupan,
ketidaksadaran adalah jalan menuju kematian. Orang yang sadar tidak akan mati,
yang tidak sadar seolah-olah telah masuk kubur.” Dalam menjalani proses
kehidupan, seseorang memperoleh pengalaman-pengalaman hidup. Apabila ia tak
dapat mengambil kesimpulan-kesimpulan atas pengalaman-pengalaman yang dialami
nya, ornag tersebut berada dalam keadaan”tak sadar”. Ia seakan-akan buta
terhadap keadaan di sekelilingnya. Perasaannya tidak peka. Hal sebalik nya
dialami oleh orang yang proses kesadarannya bertambah. Ia selalu mengamati
perasaan-perasaan yang timbul. Berpikir tentang segala kejadian yang pernah di
alaminya. Lalu ia merasa tidak puas atas apa yang pernah di peroleh nya. Ia
bertanya,”inikah yang dikatakan hidup?”. Bila seseorang memiliki jalan pikiran
seperti ini, ia dikatakan “ menuju kesadaran “.
Bila seseorang ingin menjadi
bhikku, tentu ia dilandasi oleh dorongan-dorongan. Dari sekian banyak
motivasi-motivasi, secara umum dapat dikelompokkan atas 3 bagian, yaitu :
1.
Dorongan (motivasi) yang berasal dari keinginan- keinginan rendah
misalnya : karena ingin mendapat makanan secara gratis, karena ingin
disanjung-sanjung, ataupun ingin dilihat sebagai seseorang yang taat beragama.
2.
Dorongan yang berasal dari sifat-sifat luhur terdiri dari :
·
Metta, cinta kasih yang menyeluruh, bebas dari sifat mementingkan diri
sendiri. Bila seseornag memiliki sifat Metta, ia akan melihat bahwa menjadi
bhikku memberikan peluang besar bagi dirinya untuk menyebarkan sifat metta
kepada semua makhluk.
·
Karuna, belas kasihan melihat penderitaan makhluk hidup, sehingga ia
ingin membebaskan mereka dari penderitaan. Perasaan ingin menolong makhluk
hidup menyebabkan seseorang mencari cara untuk itu. Dan cara yang terbaik
adalah menjadi bhikku.
·
Mudita, perasaan bahagia melihat orang lain berbahagia, sehingga timbul
rasa simpati yang bebas dan iri hati.
·
Upekkha, suatu kejadian bathin yang seimbang dan tidak tergoncangkan.
Dengan sikap ini, seseorang tidak akan ragu-ragu lagi untuk menjadi bhikku. Ia
tidak mudah tergoda nafsu-nafsu duniawi.
3.
Dorongan-dorongan selain hal-hal diatas, misalnya: rasa ingin
tahu, terdesak oleh keadaan, dan lain-lain.
Selanjutnya, akan kita tinjau
apasebenarnya manfaat-manfaat yagn dapat diperoleh kalau seseorang
bersungguh-sungguh menjalankan tugas sebagau seorang Bhikkhu. Sang Buddha telah
menguraikan hal ini da;am “Samana Phala Sutta”.
Menurut Sang Buddha,
faedah-faedah menjadi Bhikkhu antara lain:
1.
Setelah menjadi Bhikkhu, ia hidup mengejedalikan diri sesuai
dengan Patimokkha (peraturan-peraturan Bhikkhu), sempurna kelakuan dan
latihannya, dapat melihat bahayadalam kesalahan-kesalahan yagn paling kecil
sekalipun. Ia menyesuailkan dan melatih dirinya dalamperaturan-peraturan.
Menyempurnakan perbuatan-perbuatan dan ucapannya. Suci dalam cara hidupnya,
sempruna silanya, terjaga pintu-pintu inderanya. Ia memiliki perhatian murni
dan pengertian jelas dan hidup puas.
2.
Tugas utama seorang Bhikkhu adalah menyingkirkan lima rintangan
(Panca Nivarana) dari dirinya. Lima rintangan tersebut adalah:
·
Kerinduan terhadap dunia (Kamachanda-Nivarana)
·
Itikad- itikad jahat (Vyapada-Nivarana)
·
Kemalasan dan kelambanan (Thinamiddha-Nivarana)
·
Kegelisahan dan kekhawatiran (Uddhacca-Kukkucca- Nivarana)
·
Keragu-raguan (Vicikiccha-Nivarana)
Bila ia menyadari bahwa lima rintangan ini telah disingkirkan dari
dalam dirinya, maka timbulla kegembiraan, karena gembira maka timbullah
kegiuran (piti), karena bathin tergiur, maka seluruh tubuhnya terasa nyaman.
Kemudian ia akan merasa bahagia, karena bahagia maka pikirannya terpusat. Lalu
setelah terpisah dari nafsu-nafsu, jauh dari kecenderungan-kecenderungan tidak
baik, maka ia masuk dan berdiam dalam jhana pertama, suatu keadaan bathin yang
tergiur dan bahagia (piti-sukha), yang timbul dari kebebasan, yang masih
disertai Vitakka (pengarah pikiran pada obyek) dan Vicara (mempertahankan
pikiran pada obyek). Seluruh tubuhnya dipenuhi, digenangi, dan diresapi serta
diliputi dengan perasaan tergiur dan bahagia, yang timbul dari ‘kebebasan’.
Semua bagian tubuhnya diliputi oleh perasaan tergiur dan bahagia.
3.
Seorang Bhikkhu yang telah membebaskan diri dari Vitakka dan
Vicara, memasuki dan berdiam dalam jhana kedua, yaitu keadaan bathin yang
tergiur dan bahagia, yang timbul dari ketenangan konsentrasi, tanpa disertai
dengan Vitakka dan Vicara, keadaan batin yang memusat. Semua bagian dari
tibuhnya diluputi oleh perasaan tergiur dan bahagia yang timbul dari
‘konsetrasi’.
4.
Seorang Bhikkhu yang telah membebaskan dirinya dari perasaan
tergiur, berdiam dalam keadaan yang seimbang dan disertai dengan perhatian
murni dan pengertian murni dan pengertian jelas. Tubuhnya diliputi dengan
perasaan bahagia, yang dikatakan oleh para ariya sebagai ‘kebahagiaan yang
dimiliki oleh mereka yang bathinmua seimbang dan penuh perhatian murni’, ia
memasuki dan berdiam dalam jhana ketiga. Seluruh tubuhnya dipenuhi, digenangi,
diresapi serta diliputi dengan perasaaan bahagia yang tanpa disertai perasaan
tergiur.
5.
Dengan menyingkirkan perasaan bahagia dan tidak bahagia, dengan
menghilangkan perasaan-perasaan senang dan tidak senang yang telah dirasakan
sebelumnya, bhikkhu itu memasuki dan berdiam dalam jhana keempat, yaitu suatu
keadaan yang benar-benar seimbang, yang memiliki perhatian murni (sati
parisuddhi). Bebas dari perasaan bahagia dan tidak bahagia. Demikian ia duduk
disana, meluuyti seluruh tubuhnya dengan perasaan bathin yang bersih dan
jernih.
6.
Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, bebas dari nafsu,
bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat
digoncangkan, ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya ke pandangan terang
yang timbul dari pengetahuan (nana-dassana). Maka ia mengerti: ‘Tubuhku ini
mempunyai bentuk terdiri aas 4 unsur pokok (unsur padat, cair, api dan angin),
berasal dari ayah dan ibu, timbul dan berkembang karena perawatan yang
terus-menerus, bersifat tidak kekal, dapat mengalami kerusakan, kelapukan,
kehancuran dan kematian. Begitu pula dengan kesadaran (vinnana) yang terikat
dengannya.
7.
Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari
nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat
digoncangkan, ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada penciptaan
‘tubuh-ciptaan-bathin (mano-maya-kaya), yang memiliki bentuk, memiliki
anggota-anggota dan bagian-bagian tubuh lengkap, tanpa kekurangan sesuatu organ
apapun.
8.
Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari
nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat
digoncangkan, ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada bentuk-bentuk
iddhi (perbuatan-perbuatan gaib)
9.
Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari
nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat
digoncangkan,, ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada
kemampuan-kemampuan dibbasoa (telinga dewa). Dengan kemampuan-kemampuan
dibbasota yang jernih, yang melebihi telinga manusia, ia mendengarkan suara
manusia dan dewa, yang jauh atau yang dekat.
10.
Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari
nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat
digoncangkan,, ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada ceto-pariyanana
(pengetahuan untuk membaca pikiran orang lain). Dengan menembus pikirannya
sendiri, ia mengetahui pikiran-pikiran makhluk lain.
11.
Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari
nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat
digoncangkan, ia mempergunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan
tentang ubenivasanusati (ingatan terhadap kelahiran-kelahiran lampau). Dengan
pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari nafsu, bebas dari noda,
lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat digoncangkan, ia
memperginakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan tentang timbul dan
lenyapnya makhluk-makhluk (cutupapata-nana), dan dengan kemampuan dibbacakkhu
(mata dewa) yang jernih, melebihi mata manusia, ia melihat bagaimana setelah
makhluk-makhluk berbalu dari satu perwujudan, muncul dalam perwujudan lain;
rendah, mulia, indah, jelek, bahagia dan menderita. Ia melihat bagaimana
makhluk-makhluk itu muncul sesuai dengan perbuatan-perbuatannya.
12.
Dengan pikiran yang telah terpusat, bersih, jernih, bebas dari
nafsu, bebas dari noda, lunak, siap untuk dipergunakan, teguh dan tidak dapat
digoncangkan,, ia menpergunakan dan mengarahkan pikirannya pada pengetahuan
tentang penghancuran noda-noda bathin (asava)…… ia mengetahui sebagaimana adanya
“Inilah jalan yang menuju pada lenyapnya asava”.Dengan mengetahui, melihat
demikian, maka pikirannya terbebaskan dari noda-noda nafsu (kamasava),
noda-noda pewujudan (bhavasava), noda-noda ketidaktahuan 9avijjasava). Dengan
terbebas demikian, maka timbullah pengetahuan tentang kebebasannya. Dan ia
mengetahui; ‘Berakhirlah kelahiran kembali, terjalani kehidupan suci,
selesailah apa yang harus dikerjakan, tiada lagi kehidupan sesudah ini.’
Faedah-faedah yang telah
diterangkan diatas adalah faedah-faedah yang dapat diperoleh bhikkhu itu
sendiri. Menjadi bhikkhu juga memberi manfaat kepada orang lain, misalnya:
Menjadi ladang bagi orang-orang
yang hendak menanamkan karma baik. Bhikkhu adalah tempat berdana, yang akan
menghasilak buah kekayaan/kemakmuran dalam satu kehidupan kepada orang itu.
Bhikkhu juga sering berkhotbah tentang Dharma (Dharmadesana) dengan
sungguh-sungguh akan mendapat pahala dengan bertambhanya kebijaksanaan. Ada
pula orang-orang yang memiliki persoalan-persoalan hidup. Lalu ia menanyakan cara
penyelesaiannya kepada seorang Bhikkhu. Berdasarkan sifat karuna, bhikkhu
tersebut tentu akan berusaha untuk mencari jalan keluarnya.
Demikian dapatlah diambil
kesimpulan bahwa manfaat menjadi Bhikkhu ini banyak sekali. Baik bagi dirinya
sendiri maupun bagi orang lain.
0 komentar:
Posting Komentar