1. Hukum
Kosmis (Niyama)
"Ia yang menjadi sempurna oleh hukum kosmis, Ia
yang mengajarkan hukum tersebut, Ia Sang Pelindung, dengan penghormatan
demikian saya akan menguraikan hukum tersebut." (Niyama-dipani)
Ungkapan "menjadi sempurna oleh hukum
kosmis" berarti bahwa hukum ini termasuk hukum kosmis untuk para Buddha,
di mana keadaan Kebuddhaan sepenuhnya dicapai. Hukum ini membawa pencapaian
Bodhi oleh para Maha-Bodhisatta, yaitu sepuluh kesempurnaan yang masing-masing
terdiri atas tiga tahapan, lima pengorbanan besar, tiga kewajiban, dan pada
hari terakhir perjuangannya, hukum sebab-akibat, dan saat bermeditasi mencapai
konsentrasi jhana dengan pernapasan, awal mula dan lenyapnya lima kelompok
kehidupan. Dengan hal-hal ini para Buddha mencapai Kebuddhaan, karenanya
hal-hal demikan disebut hukum tertib kosmis untuk para Buddha. Dengan ini kita
simpulkan bahwa bukan dengan kesempatan ataupun kebetulan para Buddha menjadi
sempurna.
a.
"Ia yang mengajarkan hukum
tersebut" bermakna bahwa Ia mengajarkan satu hukum tertib kosmis yang
terdiri atas lima rangkaian hukum. Kelima unsur tersebut adalah:
Utu-niyama (hukum energi)
b.
Bija-niyama (hukum pembenihan)
c.
Kamma-niyama (hukum perbuatan)
d.
Citta-niyama (hukum psikis)
e.
Dhamma-niyama (hukum Dhamma)
2. Utu-niyama
Dunia materi terbentuk dari empat unsur utama
(mahabhuta), yaitu unsur pathavi, apo, tejo, dan vayo. Unsur pathavi (secara
harfiah berarti "tanah") merupakan unsur yang bersifat
"luasan" dan liat, yang berfungsi menjadi basis unsur lainnya. Unsur
kedua tidak dapat saling mengikat tanpa dasar untuk ikatan tersebut; unsur
ketiga tidak dapat menghangatkan tanpa basis bahan bakar; unsur keempat tidak
dapat bergerak tanpa dasar untuk gerakannya; semua materi bahkan atom sekali
pun membutuhkan unsur pathavi sebagai basisnya.
Unsur apo (secara harfiah berarti "air")
merupakan unsur yang bersifat kohesif (ikat-mengikat) dan dapat menyesuaikan
diri, yang berfungsi memberikan sifat ikat-mengikat pada unsur lainnya. Unsur
ini juga memberikan kelembaban dan cairan pada tubuh makhluk hidup.
Unsur tejo (secara harfiah berarti "api")
merupakan unsur yang bersifat panas, yang memberikan fungsi panas dan dingin
pada unsur lainnya. Karena unsur ini, semua materi dapat dihasilkan kembali
untuk tumbuh dan berkembang setelah mencapai kematangan.
Unsur vayo (secara harfiah berarti
"udara") merupakan unsur yang bersifat gerakan dan memberikan fungsi
gerak pada unsur lainnya. Unsur gerak ini membentuk kekuatan tarikan dan
tolakan pada semua materi.
Unsur-unsur ini jika bertahan dalam kondisi yang
tetap, dapat bertambah kekuatannya jika terdapat sebab yang cukup untuk
bertambah, dan berkurang kekuatannya jika terdapat sebab yang cukup untuk
berkurang. Misalnya, dalam benda padat unsur cair dapat memperoleh kekuatan
gerak yang cukup sehingga menyebabkan benda padat tersebut mencair, dalam zat
cair unsur panas dapat mengubahnya menjadi nyala api dan unsur cairnya hanya
memberi sifat ikatan. Karena sifat intensitas dan jumlahnya ini, keempat unsur
tersebut disebut unsur besar (mahabhutani). Intensitas dan jumlah unsur-unsur
ini mencapai puncaknya ketika terjadinya pembentukan dan kehancuran alam
semesta.
Energi (utu) merupakan benih awal semua fenomena
pada dunia materi dan merupakan bentuk awal dari unsur panas. Hukum energi
merupakan proses berkelanjutan yang mengatur empat rangkaian pembentukan,
kelanjutan, kehancuran, dan kekosongan alam semesta. Ia juga mengatur
pergantian musim dan menentukan musim di mana tumbuhan menghasilkan bunga dan
buah. Tidak ada yang mengatur kejadian-kejadian ini apakah manusia, dewa, atau
Tuhan, kecuali hukum utu-niyama ini.
3.
Bija-niyama
Bija berarti "benih" di mana tumbuhan tumbuh dan berkembang darinya
dalam berbagai bentuk. Dari pandangan filosofi, hukum pembenihan hanyalah
bentuk lain dari hukum energi. Dengan demikian pengatur perkembangan dan
pertumbuhan dunia tumbuhan merupakan hukum energi yang cenderung mewujudkan
kehidupan tumbuhan dan disebut bija-niyama.
Hukum
pembenihan menentukan kecambah, tunas, batang, cabang, ranting, daun, bunga,
dan buah di mana dapat tumbuh. Dengan demikian, biji jambu tidak akan berhenti
menghasilkan keturunan spesies jambu yang sama. Hal ini juga berlaku untuk
semua jenis tumbuhan lainnya dan tidak ada sosok pencipta yang mengaturnya.
4.
Kamma-niyama
Perbuatan (kamma) merupakan perbuatan baik maupun buruk yang dilakukan
seseorang yang disertai kehendak (cetana). Seperti yang disebutkan dalam kitab
Pali: "Para bhikkhu, kehendak itulah yang Ku-sebut perbuatan. Melalui
kehendaklah seseorang melakukan sesuatu dalam bentuk perbuatan, ucapan, atau
pikiran" (Anguttara Nikaya, iii:415).
Di
sini kehendak merupakan kemauan (tindakan mental). Dalam melakukan sesuatu,
baik maupun buruk, kehendak mempertimbangkan dan memutuskan langkah-langkah
yang diambil, menjadi pemimpin semua fungsi mental yang terlibat dalam
perbuatan tersebut. Ia menyediakan tekanan mental pada fungsi-fungsi ini
terhadap objek yang diinginkan.
Dalam
melaksanakan tugasnya, termasuk juga tugas-tugas semua proses mental lainnya
yang terlibat, kehendak menjadi pemimpin tertinggi dalam pengertian ia
memberitahukan semua sisanya. Kehendak menyebabkan semua aktivitas mental
cenderung bergerak dalam satu arah.
Hukum
perbuatan mengatur akibat-akibat dari suatu perbuatan apakah baik atau buruk.
Contoh-contoh akibat moral dari suatu perbuatan dapat dijumpai dalam berbagai
sutta, misalnya dalam Majjhima-Nikaya, Cula-Kamma-Vibhanga-Sutta: "Akibat
dari membunuh menyebabkan umur pendek, dan tidak melakukan pembunuhan
menyebabkan umur panjang. Iri hati menghasilkan banyak perselisihan, sedangkan
kebaikan hati menghasilkan perdamaian. Kemarahan merampas kecantikan seseorang,
sedangkan kesabaran menambah kecantikan diri. Kebencian menghasilkan kelemahan,
sedangkan persahabatan menghasilkan kekuatan. Pencurian menghasilkan
kemiskinan, sedangkan pekerjaan yang jujur menghasilkan kemakmuran. Kesombongan
berakhir dengan hilangnya kehormatan, sedangkan kerendahan hati membawa
kehormatan. Pergaulan dengan orang bodoh menyebabkan hilangnya kebijaksanaan,
sedangkan pengetahuan merupakan hadiah dari pergaulan dengan orang
bijaksana."
Di
sini pernyataan "membunuh menyebabkan umur pendek" mengandung makna
bahwa ketika seseorang telah membunuh sekali saja manusia atau makhluk lainnya,
perbuatan ini menyediakan akibat untuk terlahir kembali dalam keadaan menderita
dengan berbagai cara. Selama masa ketika ia terlahir kembali sebagai manusia,
perbuatan tersebut menyebabkannya berumur pendek dalam ribuan kelahiran.
Penjelasan yang sejenis juga berlaku untuk pernyataan sebab akibat yang lain di
atas.
5. Citta-niyama
Citta berarti "ia yang berpikir" (perbuatan berpikir), yang
mengandung pengertian: yang menyadari suatu objek. Juga berarti: menyelidiki
atau memeriksa suatu objek. Lebih jauh lagi, citta dikatakan berbeda-beda
bergantung pada berbagai bentuk pikiran atas objek. Hal ini dinyatakan dalam
kitab Pali: "Para bhikkhu, Aku tidak melihat hal lain yang sangat beraneka
ragam seperti pikiran (citta). Para bhikkhu, Aku tidak melihat kelompok
(nikaya) lain yang sangat beraneka ragam seperti makhluk-makhluk alam rendah (binatang,
burung, dan seterusnya). Makhluk-makhluk alam rendah ini hanya berbeda dalam
pikiran. Namun pikiran, O para bhikkhu, lebih beraneka ragam dibandingkan
makhluk-makhluk ini" (Citten'eva cittikata. Samyutta-Nikaya, iii. 152).
Pikiran menjadi lebih beraneka ragam berkaitan
dengan hal-hal yang tidak baik dibandingkan dengan hal-hal yang baik sehingga
dikatakan "Pikiran menyenangi hal-hal yang buruk". Oleh sebab itu,
mahkluk-makhluk di alam rendah yang dibuat dan diciptakan oleh pikiran lebih
beraneka ragam dibandingkan semua makhluk lainnya. Bagaimana hal ini bisa
terjadi? Dikatakan dalam kitab Pali: "O, para bhikkhu, Aku akan menyatakan
bagaimana dunia berasal, dan bagaimana dunia berakhir. Apakah asal mula dunia
itu, O para bhikkhu? Dikondisikan oleh mata dan objek-objek muncul kesadaran
penglihatan. Ketiga hal ini disebut kontak. Karena kontak, muncul perasaan;
karena perasaan, muncul keinginan.... Demikianlah asal mula seluruh tubuh yang
berpenyakitan ini. Dikondisikan oleh telinga dan objek-objek... oleh hidung...
oleh lidah... oleh tubuh, dan seterusnya... dikondisikan oleh indera pikiran
dan benda-benda muncul kesadaran pikiran. Ketiga hal ini adalah kontak. Karena
kontak, muncul perasaan; karena perasaan, muncul keinginan.... Demikianlah asal
mula seluruh tubuh yang berpenyakitan ini. Inilah, O para bhikkhu, apa yang
disebut asal mula dunia."
"Apakah akhir dunia itu, O para bhikkhu?
Dikondisikan oleh mata dan objek-objek muncul kesadaran pikiran. Ketiga hal ini
disebut kontak. Karena kontak, muncul perasaan; karena perasaan.... Karena
keinginan sepenuhnya berakhir, ketamakan berakhir; karena ketamakan berakhir,
kemenjadian berakhir. Demikianlah akhir dari seluruh tubuh yang berpenyakitan
ini. Demikian halnya juga berhubungan dengan telinga dan alat indera lainnya.
Inilah, O para bhikkhu, apa yang disebut akhir dunia" (Samyutta-Nikaya, iv
87).
Di sini ungkapan "dikondisikan oleh mata dan
objek-objek muncul kesadaran mata, dan seterusnya" menunjukkan bahwa di
dunia ini kesadaran dan proses pikiran orang-orang secara umum berbeda-beda
dari momen ke momen dan menjadi sebab kelahiran kembali mereka dalam
bentuk-bentuk yang berbeda dalam kehidupan berikutnya. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa bentuk-bentuk yang berbeda pada kehidupan yang akan datang
dibuat dan diciptakan oleh pikiran pada kehidupan sekarang. Karena perbedaan
kesadaran, persepsi juga berbeda. Karena perbedaan persepsi, keinginan berbeda,
dan karena hal ini berbeda, maka perbuatan (kamma) berbeda. Beberapa orang juga
berpendapat bahwa karena kamma berbeda, kelahiran kembali di alam binatang
beraneka ragam.
Hukum psikis mengatur tentang pikiran atau kesadaran
yang berbeda-beda dalam fungsi dan kejadian. Ini diulas dalam kitab Patthana
pada bab "Hubungan yang Berurutan".
6. Dhamma-niyama
Dhamma adalah sesuatu yang menghasilkan (dhareti) sifat dasarnya sendiri, yaitu
kekerasannya sendiri ketika disentuh, sifat khusus sekaligus sifat universalnya
adalah berkembang, melapuk, hancur, dan seterusnya. Dhamma yang dikategorikan
dalam hubungan sebab "menghasilkan" fungsi hubungan sebab tersebut,
dan yang dikategorikan dalam hubungan akibat "menghasilkan" fungsi
akibat atau hasil. Pengertian ini meliputi semua Dhamma yang dibahas dalam
Suttanta dan Abhidhamma Pitaka. Ini juga meliputi hal-hal yang disebutkan dalam
Vinaya Pitaka dengan nama "tubuh aturan" (silakkhandha).
Di antara sutta-sutta, keseluruhan
Mahanidana-Suttanta dan Nidana-samyutta membahas tentang Dhamma-niyama. Dalam
salah satu sutta disebutkan: "Karena kebodohan muncul kamma: sekarang, O
para bhikkhu, apakah para Tathagata muncul atau tidak, unsur (dhatu) ini ada,
yaitu pembentukan Dhamma sebagai akibat, ketetapan Dhamma sebagai akibat
(Dhammatthitata Dhammaniyamata). Karena kamma... (dan seterusnya seperti pada
hubungan sebab akibat yang saling bergantungan)" (Samyutta-Nikaya, ii.
25). Ia juga disinggung dalam ungkapan: "Semua hal yang berkondisi
(sankhara) adalah tidak kekal, penuh dengan penderitaan, dan tanpa aku."
Dalam beberapa teks, niyama ini disebut Dhammata:
"Sesuai dengan Dhammata (hukum), para bhikkhu, bahwa ketika seorang
Bodhisatta turun dari surga Tusita, memasuki rahim ibunya, cahaya yang sangat
cemerlang muncul di seluruh dunia, termasuk dunia para dewa dan brahma... dan
seribu sistem dunia berguncang...." (Digha-Nikaya, ii. 12).
Sifat Dhamma-niyama dapat diringkas dalam rumusan:
"Ketika itu ada, ini ada. Dari kemunculan itu maka ini muncul. Ketika itu
tidak ada, ini tidak ada. Ketika itu berakhir, maka ini berakhir" atau
dalam pernyataan: "Inilah, para bhikkhu, tiga sifat khas dari hal yang
berkondisi: dapat dipahami perkembangannya, dapat dipahami kelapukannya, dapat
dipahami perubahannya ketika ia masih bertahan. Inilah, para bhikkhu, tiga
sifat khas dari hal yang tidak berkondisi: perkembangannya tidak dapat dipahami,
kelapukannya tidak dapat dipahami, perubahan dan durasinya tidak dapat
dipahami" (Anguttara-Nikaya, i 152).
Dhamma-niyama merupakan keseluruhan sistem yang
mengatur alam semesta. Empat niyama lainnya merupakan hukum alam yang spesifik
yang mengkhususkan pada aspek tertentu dari alam semesta. Jadi, hukum alam apa
pun yang tidak termasuk dalam keempat niyama yang pertama dikategorikan sebagai
Dhamma-niyama.
Di sini kata Dhamma menunjuk pada semua hal mental
maupun materi. Oleh sebab itu, bija, kamma, dan citta merupakan Dhamma, dan ia
mengandung semua hal tersebut. Namun dalam klasifikasi niyama, nama-nama
individual digunakan untuk keempat hal pertama untuk mengkhususkan dan
membedakannya dari hal-hal lain, baik mental maupun materi, yang digolongkan di
bawah nama umum "Dhamma". Karena alasan ini Dhamma-niyama tidak
digunakan dalam penerapannya yang sepenuhnya, tetapi dibatasi pada hal-hal yang
tidak termasuk keempat hal pertama. Ketika dibutuhkan untuk menggunakan utu
sebagai niyama, seseorang tidak seharusnya menyebutnya Dhamma-niyama walaupun
utu termasuk Dhamma, tetapi harus menggunakan nama individual yang sesuai dan
menyebutnya sebagai utu-niyama.
Niyama dan Konsep Penciptaan Dengan mempelajari dan
memahami lima niyama ini, seseorang dapat sampai pada kesimpulan: "Tidak
ada penguasa dunia ini, tidak ada pencipta yang menciptakan alam semesta,
melainkan hukum tertib kosmis yang berunsur lima. Semua adalah hasil dari sebab
dan akibat yang muncul dan lenyap setiap saat. Tidak ada yang berdiam di dunia
yang bersifat sementara ini, oleh sebab itu tidak ada ketenangan abadi yang
dapat ditemukan, tetapi pada sisi lain, dapat ditemukan pada dunia yang selalu
berubah ini di mana tidak ada kemenjadian (jati) melalui ketiadaan sebab. Dan
untuk mencapai tempat tersebut di mana ketenangan abadi berada kita harus
menapaki Jalan Mulia Berunsur Delapan yang menghubungkan dunia ini menuju jalan
keluar. Ketika kita mendekati Nibbana, kita secepat mungkin menarik pijakan
terakhir kita dari dunia ini, maka kita seketika naik menuju lokuttara-bhumi,
kedamaian Nibbana."
Terdapat dua jenis konsep penciptaan di dunia ini,
yaitu issara-kutta dan brahma-kutta. Konsep penciptaan di mana orang-orang
mempercayai adanya penguasa tertinggi seluruh alam semesta yang selamanya tinggal
di surga dan menciptakan segalanya disebut issara-kutta atau issara-nimmana
(diciptakan oleh issara/isvara atau Tuhan). Konsep di mana orang-orang
mempercayai adanya brahma yang selamanya tinggal di surga yang menciptakan
segalanya dan menguasai seluruh alam semesta disebut brahma-kutta. Di sini
issara atau brahma hanya berbeda dalam istilah, namun keduanya menunjuk pada
sosok penguasa dunia dan pencipta yang sama. Brahma merupakan nama yang dipakai
oleh kaum brahmana dan telah menjadi gagasan umum yang diterima di alam
manusia, dewa, dan brahma sejak awal dunia, sedangkan issara bukan gagasan yang
umum melainkan adopsi imaginatif yang dibuat oleh mereka yang gagal mendapatkan
pengetahuan tentang asal mula dunia dan sebab pertama segala hal dalam kehidupan.
Untuk menghilangkan pandangan salah ini, para komentator kitab suci Tipitaka
memaparkan hukum tertib kosmis ini
Mahabrahma dapat menyinari lebih dari ribuan sistem
dunia dengan pancaran cahayanya yang cemerlang. Ia dapat melihat segala sesuatu
dalam dunia-dunia tersebut, mendengarkan suara-suara, pergi ke tempat mana pun
dan kembali sekehendak hatinya dalam seketika, dan membaca pikiran para manusia
dan dewa. Berhubungan dengan kekuatan menciptakan dan mengubah sesuatu,
mahabrahma dapat menciptakan atau mengubah tubuhnya sendiri atau objek
eksternal apa pun menjadi berbagai bentuk. Namun ini hanya bagaikan pertunjukan
sulap di mana ketika ia menarik kembali kekuatannya, semuanya akan lenyap.
Kenyataanya, ia tidak dapat menciptakan mahkluk hidup dan benda yang
sesungguhnya, bahkan kutu atau telurnya sekalipun. Dalam menciptakan taman dan
pepohonan dengan kekuatan batinnya, ia dapat menciptakan dan memperlihatkannya
secara sementara, tidak substansial, tidak nyata, meniru dan menyerupai hal-hal
yang diinginkan. Ia tidak dapat menciptakan sebuah pohon bahkan sehelai rumput
sekalipun. Hal ini disebabkan karena kemunculan suatu fenomena, kemunculan
suatu makhluk hidup, atau pertumbuhan tanaman bukan dalam jangkauan kekuatan
batin, tetapi dalam jangkauan hukum kosmis, seperti Dhamma-niyama,
kamma-niyama, dan bija-niyama. Benda-benda yang diciptakannya hanya bertahan
ketika iddhi (kekuatan batin) sedang berperan dan akan lenyap segera setelah
iddhi ditarik. Terjadinya musim panas, hujan, dan dingin merupakan proses
alamiah dari hukum cuaca dan bukan kendali iddhi.
Mahabrahma dapat memindahkan ribuan manusia dalam
kehidupan sekarang ke surga jika ia menginginkannya, tetapi ia tidak dapat
membuat mereka tidak mengalami usia tua dan kematian, bahkan ia tidak dapat
menghalangi dan menyelamatkan mereka dari kelahiran kembali di alam yang
menderita. Hal ini disebabkan karena unsur-unsur materi dan mental yang
menyusun pribadi manusia berada dalam pengaruh hukum alam (Dhamma-niyama) dari
kelahiran, usia tua, dan kematian. Ia tidak dapat membuat manusia atau makhluk
mana pun terlahir kembali di surga setelah mereka meninggal karena lahirnya
kehidupan baru di alam yang baru setelah kematian bukan dalam lingkungan
kendali iddhi melainkan dalam kendali kamma-niyama. Di dunia ini orang yang
membunuh dan memakan unggas dan selalu mabuk minuman keras pasti jatuh ke alam
yang menderita setelah kematian walaupun setiap hari rajin berdoa dan
mengunjungi tempat ibadah. Mahabrahma atau Tuhan tidak dapat menyelamatkannya
bagaimana pun, karena ini berada dalam jangkauan kamma-niyama dan bukan
jangkauan iddhi. Sebaliknya, siapa pun yang tidak mempercayai konsep
issara-kutta dan brahma-kutta, yang menyakini hukum kamma dan menjauhi
perbuatan buruk dan selalu mengembangkan perbuatan baik, pasti naik ke alam
yang bahagia setelah kematiannya. Mahabrahma tidak dapat mencegahnya datang ke
surga, karena pengaruh iddhi tidak dapat menolak jalannya hukum moral.
Mahabrahma tidak dapat mempertahankan dan menyelamatkan bahkan dirinya sendiri
dari kejatuhan ke alam rendah.
Terdapat beberapa orang yang berpikir bahwa hanya
ada satu dunia dan tidak mempercayai bahwa ada banyak siklus dunia pada masa
lampau dan sejumlah tak terhingga dunia akan mengikuti dunia yang sekarang pada
masa yang akan datang. Mereka mempercayai bahwa dunia yang sekarang memiliki
awal dan akhir. Dalam mencari sebab pertama permulaan dunia, mereka gagal.
Namun, dengan merenungkan tentang rumah dan bangunan dengan perancang dan
pembangunnya, mereka sampai pada kesimpulan bahwa dunia ini pasti memiliki
penciptanya dan ia pastilah sang pencipta, mahabrahma, atau Tuhan. Pada sisi
lain, agama Buddha mengajarkan bahwa banyak siklus dunia telah terbentuk di
masa lampau dan banyak lagi yang lain akan mengikuti siklus dunia yang sekarang
secara bergantian. Ia juga mengajarkan bahwa dunia memiliki awal dan akhir
serta terdapat sebab yang disebut hukum alam atas pembentukan dan kehancuran
setiap dunia, dan hukum alam ini ada selamanya dan terus berjalan dalam ruang
waktu yang tak terhingga. Oleh sebab itu umat Buddha seharusnya tidak menganut
pandangan salah tentang penciptaan baik issara-kutta ataupun
brahma-kutta.
a. Kesimpulan
Segala fenomena yang terjadi di alam semesta ini (31 alam kehidupan) baik yang
bersifat fisik maupun batiniah dikendalikan oleh hukum kosmis (niyama) yang
terdiri atas lima kategori: Hukum energi (utu-niyama) yang mengatur proses
pembentukan dan kehancuran dunia serta pergantian musim dan perubahan cuaca.
b. Hukum
pembenihan (bija-niyama) yang mengatur proses pertumbuhan dan perkembangan
tumbuhan sejak dari benih hingga menghasilkan buah.
c. Hukum
perbuatan (kamma-niyama) yang mengatur hasil dari suatu perbuatan yang
dilakukan suatu individu.
d. Hukum
psikis (citta-niyama) yang mengatur tentang pikiran dan kesadaran
makhluk-makhluk.
e. Hukum
Dhamma (Dhamma-niyama) yang mengatur segala suatu yang tidak termasuk dalam
empat kategori di atas, termasuk hubungan sebab-akibat dan hukum kesunyataan
yang diajarkan Sang Buddha serta kejadian-kejadian ajaib saat kelahiran
terakhir Bodhisatta ke dunia.
Dengan
memahami bahwa semua hal yang terjadi di dunia ini semata-mata hasil dari
proses hukum kosmis, kita diharapkan dapat meninggalkan konsep yang salah
tentang penciptaan bahwa dunia ini diciptakan oleh sosok pencipta yang disebut
brahma, Tuhan, atau apa pun sebutannya. Mahabrahma yang umum dianggap orang
sebagai sang pencipta dengan kekuatan batinnya tidak dapat mengubah jalannya
hukum alam walaupun yang berkenaan dengan dirinya sendiri. Hal ini membuktikan
tidak adanya sosok pencipta tunggal yang berada di balik semua fenomena di alam
semesta ini.
Namun demikian,
ini bukan berarti agama Buddha tidak meyakini adanya Tuhan. Ini menyatakan
bahwa agama Buddha tidak mempercayai bahwa alam semesta beserta isinya
diciptakan oleh sosok adikuasa yang disebut Tuhan. Agama Buddha juga
mengajarkan bahwa keselamatan bergantung pada diri sendiri, bukan diperoleh
dari pertolongan Tuhan. Konsep Ketuhanan dalam agama Buddha tidak seperti dalam
kebanyakan agama lainnya yang menggambarkan Tuhan sebagai sosok pribadi yang
maha kuasa. Ketuhanan dalam agama Buddha bersifat non-personfikasi (tidak
diwujudkan dalam suatu pribadi), Yang Mutlak, Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak
Menjadi, dan Yang Tidak Tercipta seperti yang diungkapkan dalam Udana, viii. 3.
Mengenai konsep Ketuhanan dalam agama Buddha ini dapat dibaca lebih lanjut
dalam artikel "Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Agama Buddha" oleh
Cornelis Wowor, M.
Sumber: The Niyama-Dipani: The Manual of Cosmic Order (THE NIYAMA DIPANI /
ledinyma.htm)