Jumat, 31 Januari 2014

SEJARAH IMLEK

[imagetag]
Sejarah Imlek. Imlek adalah sebuah perayaan tahun baru bagi umat Tionghoa. Imlek berasal dari negara yang penduduknya mayoritas adalah Chinese. Perayaan ini juga disebut sebagai Perayaan Musim Semi atau Chung Chie. Perayaan ini diiringi ritual bernama La (hari terakhir dalam satu tahun pada saat panen raya sudah dirampungkan dan sebagai ungkapan rasa syukur, orang Chinese (Tionghoa) memberikan sesaji kepada para dewa dan leluhur).  Nah, Sejarah Imlek sendiri berasal dari kisah masyarakat China yang telah melegenda bagi rakyat China

Berdasarkan cerita rakyat China, tahun baru China dirayakan ketika orang China berhasil melawan hewan mitos yang disebut sebagai Nian yang berarti tahun dalam bahasa China. Makhluk Nian selalu  muncul pada hari pertama Tahun Baru dan kedatangan Nian adalah memangsa hewan ternak, memakan hasil pertanian dan bahkan penduduk, terutama anak-anak. Untuk selamat dari petaka Nian, masyarakat desa China akan menaruh sejumlah makanan di depan pintu mereka pada hari pertama tahun baru. Masyarakat percaya bahwa, jika Nian telah mengambil/memakan makanan yang telah disediakan oleh masyrakat, maka Nian tidak akan lagi menyerang orang/warga.
[imagetag]
Inilah sosok Nian
Suatu ketika, seorang penduduk menyaksikan Nian ketakutan dan lari menghindar dari seorang anak yang berkostum merah. Dari kejadian itu, maka penduduk desa akhirnya tahu kekurangan Nian yakni takut pada warna merah.

Semenjak itu, setiap menjelang dan selama Tahun Baru, penduduk akan menggantung lentera merah serta memasang tirai/gordin merah pada pintu dan jendela. Selain itu, masyarakat juga menggunakan mercun untuk menakuti Nian. Sejak itulah, Nian tidak pernah lagi muncul di desa mereka.

Dan pada akhirnya, Nian berhasil ditangkap oleh Hongjun Lao Tze, seorang pendeta Tao. Nian kemudian menjadi hewan tunggangan Hongjun Lao Tze.

Adapun simbol-simbol khusus saat Imlek juga memiliki makna seperti:
  1. Warna Merah yang melambangkan kebahagiaan
  2. Hidangan mie yang melambangkan simbol panjang umur
  3. Hidangan Yee Sang yang melambangkan kemakmuran
Selain itu ada satu hal unik saat Imlek yaitu Imlek selalu dirayakan dengan bagi-bagi angpao, dan berkumpul dengan keluarga saat malam Imlek. Hal ini menunjukan bahwa mlek harus dirayakan bersama keluarga dan dengan rasa sukacita.

Itulah sejarah Imlek sehingga saat ini ada perayaan Imlek baik di negara asalnya China maupun dinegara-negara lain karena Imlek sendiri telah mendunia. 

Rabu, 29 Januari 2014

TUJUAN HIDUP


Oleh: K.Sri Dhammananda
Apakah yang menjadi tujuan kehidupan ini? Ini merupakan pertanyaan yang sangat biasa yang selalu ditanyakan oleh orang-orang. Tidaklah mudah memberikan jawaban yang memuaskan atas pertanyaan yang nampaknya sederhana tetapi rumit ini. Tetapi, sekalipun beberapa orang telah memberikan jawaban-jawaban tertentu, sesuai dengan cara berpikir mereka, nampaknya jawaban-jawaban tersebut tidak memuaskan bagi para ahli (intelektual). Sebabnya ialah mereka belum belajar melihat kehidupan secara objektif dan memahami tujuan hidup sebenarnya. Mereka telah menciptakan khayalan-khayalan tentang kehidupan berdasarkan pemahaman mereka yang terbatas.
Pada waktu yang sama, kita juga makluk bahwa banyak guru-guru agama, ahli-ahli filsafat yang pandai, penyair-penyair terkenal dan pemikir-pemikir besar juga tidak puas tentang kehidupan. Bila kita membaca apa yang mereka lukiskan tentang kehidupan, akan nampak bahwa beberapa dari mereka juga tidak dapat memberikan gambaran yang terang tentang kehidupan. Beberapa mengatakan bahwa kehidupan adalah penuh dengan penderitaan; ketidakpastian dan tidak memuaskan. Ada yang mengatakan: “alangkah bagusnya bila kita tidak lahir”. Yang lainnya menanyakan: “mengapa kita dilahirkan ke dunia ini untuk menderita dengan cara ini?”
Berdasarkan ucapan-ucapan mereka, kita dapat mengerti bahwa mereka adalah orang-orang yang telah belajar melihat kehidupan secara objektif tanpa memakai pandangan luar sebagai dasar. Tetapi orang-orang awam selalu melihat kehidupan sebagaimana nampaknya dan bukan sebagaimana sebenarnya. “Kehidupan bukanlah apa yang kita pikir tetapi apa yang kita pikir menjadi kehidupan,” ini merupakan ucapan seorang pemikir besar lainnya.
Ada orang yang mengatakan bahwa tak ada tujuan khusus dalam kehidupan; tetapi dapat dipakai untuk setiap tujuan. Berdasarkan ucapan ini, ada sesuatu bagi kita untuk direnungkan dengan bijaksana, yaitu mempergunakan kehidupan untuk tujuan-tujuan yang berguna bagi diri sendiri dan kemanusiaan dan bukan memboroskannya dengan pemakaian yang jahat. Dalam cara ini, tujuan kehidupan dapat dikatakan bergantung kepada cara bagaimana kita menanganinya dan mempergunakannya. Bila kita salah gunakan dengan merusak sifat kemanusiaan kita yang baik; dengan merendahkan martabat kemanusiaan kita dan melakukan kejahatan-kejahatan dengan menurutkan kelemahan-kelemahan kemanusiaan kita, maka tidak mungkin bagi kita mencapai sesuatu yang berharga dan baik sebagai tujuan kehidupan kita.
Pada waktu yang sama, bila kita bertindak bijaksana dan waspada dengan memperhatikan prinsip-prinsip yang diterima secara umum, moral dan etika, bersabar, toleransi, simpati, merendahkan diri, dan murah hati, menciptakan pengertian dan memberikan pelayanan yang tak mementingkan diri, dan melatih batin untuk mendapatkan kebijaksanaan, maka kita akan dapat mencapai sesuatu yang dapat diwujudkan dan berguna untuk melayani sebagai tujuan kehidupan kita. Mereka-mereka yang mengembangkan sifat-sifat yang demikian mulia akan mengalami kedamaian, kegembiraan, ketenangan, kepuasan dan tidak terganggu. Kehidupan jadinya akan berharga-kehidupan akan menjadi kesenangan.
SIFAT KEHIDUPAN
“kehidupan memboroskan dirinya sewaktu kita bersiap untuk hidup”, kata seorang yang terpelajar. “Sakit, ketuaan dan kesusahan adalah pembayaran yang kita buat untuk memakai badan jasmani ini sebagai rumah”, kata seorang terpelajar lainnya. “kita harus membayar harga ketakutan dan kekhawatiran untuk hidup sebagai manusia,” ini adalah ucapan-ucapan lain dari manusia yang beragama. Bila kita pertimbangkan semua pandangan ini, kita dapat mengetahui sifat kehidupan dan menilai apakah ada tujuan kehidupan.
Bila kita akan menyenangkan indera-indera kita sebagai tujuan kehidupan kita, kita harus bersedia menghadapi berbagai persoalan yang timbul dari situ. Karena tidak ada yang dapat menikmati kesenangan duniawi tanpa menghadapi persoalan-persoalan duniawi.
Sekalipun para ahli telah menemukan hal-hal yang mengherankan di alam semesta ini, tetapi mereka juga tidak dapat menemukan tujuan kehidupan. Seorang ahli yang terkenal mengatakan: “Apakah kehidupan mempunyai tujuan? Apa, atau dimana, atau bila
Dari angkasa luas timbul alam semesta, timbul matahari, timbul bumi, timbul kehidupan, timbul manusia, dan akan timbul lebih banyak lagi. Tetapi sebagai tujuan;siapa punya atau darimana. Tidak ada, sudah tentu.”  
Mengenal tingkah laku manusia, seorang terpelajar mengatakan: “Manusia bukanlah apa dia adanya, manusia adalah yang dia tidak.” Menurut Beliau, manusia tidak bertingkah laku sebagai “manusia” riel. Menurut Buddhisme, “manusia bukanlah suatu kesatuan benda yang bebas, yang tetap, tetapi suatu ekspresi, yang melulu ada dari satu saat kesaat lainnya berdasarkan energi. Ahli lain mengatakan: “Tidak ada obat untuk kelahiran dan kematian, kecuali menikmati waktu diantaranya.”
Kita tidak dapat memahami sifat sebenarnya dari kehidupan karena ketidaktahuan kita dan keinginan yang berlebih-lebihan. Itulah sebabnya mengapa kita menderita disini. Itulah sebabnya mengapa tak mungkin bagi kita mendapatkan apakah ada tujuan khusus kehidupan di dunia ini dan dalam bentuk ini.
TENAGA KARMA (KARMIC ENERGY)
Kehidupan telah dilukiskan sebagai kombinasi batin dan benda. Sebagai akibat kombinasi ini, timbul suatu makhluk dan terus berubah sampai terjadi penghancuran. Tetapi, energi mental yang bertebaran itu berkombinasi lagi dengan unsur-unsur atau benda dan tampak kembali dalam berbagai bentuk dan di dalam lingkungan yang berbeda sebagai satu kehidupan sesuai dengan keadaan kehidupan yang berbeda sebagai satu kehidupan sesuai dengan keadaan kehidupan seseorang sebelumnya. Kesinambungan arus kehidupan ini berjalan berulang-ulang selama tenaga karma dan keinginan kuat untuk keberadaan tetap ada dalam batin.
LIMA KELOMPOK KEHIDUPAN
(PANCAKHANDA
Menurut Dharma, kehidupan terdiri dari lima kelompok (bagian satuan) yaitu: rupa (bentuk), vedana (perasaan), sanna (pencerapan), sankhara (bentuk-bentuk pikiran) dan vinnana (kesadaran). Empat macam unsur seperti padat, cair, panas dan gas merupakan rupa. Benda ditambah keempat energi mental (nama) yang digolongkan atas perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran dan kesadaran tergabung bersama-sama membentuk kehidupan. Penghancuran berikutnya disebut kematian.
Sifat sebenarnya kelima kelompok kehidupan ini dijelaskan dalam ajaran Sang Buddha sebagai berikut: rupa/benda disamakan dengan sekumpulan buih, perasaan adalah seperti gelembung, pencerapan adalah seperti bayangan, bentuk-bentuk pikiran adalah seperti pohon pisang dan kesadaran tidak lain daripada khayalan. Dengan analisis kehidupan seperti itu, sukarlah untuk memastikan bahwa realitas tujuan kehidupan seperti sudah ditentukan.
Analisis kehidupan ini menjadi tantangan besar bagi banyak ahli-ahli filsafat dan tokoh-tokoh agama yang ada pada waktu itu. Tidaklah ada seperti kehidupan yang kekal yang ada tanpa perubahan dan tanpa penghancuran. Badan tidak lain dan tidak bukan adalah generalisasi abstrak untuk kombinasi bahan-bahan kimia yang selalu berubah. Manusia mulai melihat kehidupannya sendiri sebagai setitik air dalam sungai yang terus mengalir dan gembira untuk menyumbangkan bahagianya kepada arus besar kehidupan.
DUNIA GELOMBANG
Analisa ini tentang keseluruhan alam semesta menunjukkan bahwa itu tidak lain adalah dunia radiasi (pancaran). Dr. Einstein mengatakan: “semua benda terdiri dari gelombang-gelombang dan kita hidup dalam sebuah dunia gelombang.” Kita adalah bagian dari gelombang-gelombang yang sama. Bila manusia bisa memahami sifatnya seperti: Kesadaran akan keadaan badannya Kesadaran akan perasaannya Kesadaran akan keadaan batinnya dan Kesadaran akan keadaan objek-objek mental. Maka kesadaran yang demikian akan membawa dia untuk mendapatkan apakah ada tujuan kehidupan
RUBAHLAH DIRI ANDA
Apakah yang dapat anda capai dengan merubah dunia? Dapatkah anda mencapai kesempurnaan? Tidak pernah, tetapi anda akan dapat memenuhi kesombongan anda dan memuaskan egoisme anda. Anda akan terikat bersama-sama kedalam roda samsara. Tetapi dengan merubah diri anda, dan menyadari sifat diri, anda akan dapat mencapai kesempurnaan. Dengan mencapai kesempurnaan yang demikian, anda akan memberikan jasa yang terbesar bagi kemanusiaan. Orang-orang akan diilhami contog anda dan mereka juga akan mengikuti anda mencapai tujuan kehidupan.
Manusia sekarang adalah hasil dari berjuta-juta pengulangan pikiran dan tindakan. Manusia tidaklah siap sempurna; manusia masih dalam pembentukan dan tetap dalam pembentukan. Karakternya ditentukan lebih dahulu oleh pemikirannya sendiri. Menurut sifatnya manusia tidaklah sempurna, maka dia harus melatih dirinya menjadi sempurna. Kehidupan bukanlah milik manusia sendiri. Banyak bentuk-bentuk kehidupan lain ada dialam semesta. Tetapi manusia mempunyai kemampuan pikiran dan nalar yang lebih besar. Dalam hal ini manusia lebih tinggi dari makhluk hidup lainnya karena manusia mempunyai kecerdasan untuk membentuk ajaln kehidupannya agar dapat membebaskan diri dari penderitaan-penderitaaan duniawi. Oleh sebab itu bila tujuan kehidupan hanyalah membebaskan diri dari penderitaan-penderitaan, maka manusia dapat mencapai tujuan ini melalui usahanya sendiri. Tetapi kehidupan akan menjadi kegagalan bila tidak dipakai sewajarnnya.
Sang Buddha menekankan martabat manusia dan memberikan ceramah mengenai nilai-nilai manusia. Sang Buddha melukiskan gambaran yang paling sempurna dari manusia yang berusaha dan berjuang dari satu kehidupan ke kehidupan lainnya dalam pencariannya terhadap kesempurnaan. Kehidupan adalah pengalaman unik. Tak ada yang dapat dibandingkan dengannya, tak ada ukuran dalam benda-benda lain mengenai nilainya, uang tidak akan membelinya. Begitupun, banyak yang tidak belajar apa yang harus diperbuat dengan “mutiara yang tak ternilai” ini. Disini kehidupan tidak hanya berarti badan dan indera tetapi juga batin manusia yang cerdas.
EMPAT JENIS MANUSIA
Buddha telah membaca seluruh manusia atas empat golongan. (1) Manusia yang bekerja untuk kebaikannya sendiri tetapi tidak untuk kebaikan orang lain; (2) manusia yang bekerja untuk kebaikan orang lain,tetapi tidak untuk kebaikannya sendiri; (3) manusia yang bekerja tidak untuk kebaikannya sendiri dan juga tidak untuk kebaikan orang lain; (4) dan manusia yang bekerja untuk kebaikannya sendiri dan juga untuk kebaikan orang lain. Dan siapakah orang yang bekerja untuk kebaikannya sendiri, tetapi tidak untuk kebaikan orang lain? Dia adalah orang yang berusaha menghilangkan keserakahan, kebencian dan kebodohan dalam dirinya sendiri, tetapi tidak mendorong orang lain menghilangkan keserakahan, kebencian dan kebodohan.
Dan siapakah orang yang bekerja untuk kebaikan orang lain, tetapi tidak untuk kebaikannya sendiri? Dia adalah orang yang mendorong orang lain menghilangkan keserakahan, kebencian dan kebodohan, tetapi dia tidak berusaha menghilangkan keserakahan, kebencian dan kepalsuan dari dalam dirinya sendiri.
Dan siapakah orang yang tidak bekerja untuk kebaikan dirinya sendiri dan juga tidak untuk kebaikan orang lain? Dia adalah orang yang tidak berusaha menghilangkan keserakahan, kebencian dan kepalsuan dari dalam dirinya dan juga tidak mendorong orang lain menghilangkan keserakahan, kebencian dan kebodohan. Dan siapakah orang yang bekerja untuk kebaikan dirinya sendiri dan juga untuk kebaikan orang lain? Dia adalah orang yang berusaha menghilangkan keserakahan, kebencian dan kebodohan dalam dirinya sendiri dan juga mendorong orang lain menghilangkan keserakahan, kebencian dan kebodohan. (Anguttara Nikaya)
KEHIDUPAN ADALAH PENDERITAAN
Bila kita merenungkan dalam-dalam, kita harus menyetujui konsep bahwa hidup adalah menderita. Setiap saat kita menderita, baik secara badaniah ataupun secara mental. Dapatkah kita menemukan seseorang manusia dalam dunia ini yang bebas dari kesakitan jasmani dan mental? Tidak mungkin. Bahkan mereka yang telah mencapai tingkat orang suci tidak bebas dari segala kesakitan jasmani selama badan mereka ada. Bila seseorang menanyakan, “Apakah yang paling tidak tentu di dunia ini?” maka jawaban yang benar adalah, “kehidupanlah yang tidak tentu”. Apapun yang kita perbuat di dunia ini ialah melepaskan diri dari penderitaan dan kematian. Bila kita lalaikan kehidupan ini sedetik sekalipun, itu sudah lebih dari cukup bagi kita untuk kehilangan kehidupan kita. Kebanyakan kegiatan rutin harian kita seperti: bekerja, makan, minum, tidur dan berjalan adalah cara dan alat yang kita ambil untuk menghindari penderitaan dan kematian. Sekalipun kita kadang-kadang mengalami semacam kesenangan dunia yang sebentar dalam memenuhi keinginan kita maka pada saat berikutnya hal yang memberikan kesenangan kepada kita dapat berubah menjadi penderitaan. Oleh sebab itu, harta perdamaian yang mulia itu dan kegembiraan itu tidaklah mesti ditangan orang kaya tetapi di dalam diri orang yang telah meninggalkan hal-hal keduniawian.
Segala sesuatu yang sehubungan dengan kehidupan kita tunduk kepada perubahan dan ketidakpuasan. Apakah ada agama yang mengatakan bahwa di dalam badan jasmani ini, kita dapat menemukan kebebasan yang sempurna dari penderitaan? Itulah sebabnya mengapa Sang Buddha telah menjelaskan bahwa selama ada keinginan yang berlebih-lebihan akan kesenangan duniawi atau keinginan untuk keberadaan (hidup) maka tidak ada jalan lepas dari penderitaan badaniah dan mental. Keinginan adalah penting untuk keberadaan (hidup) bila keberadaan (hidup) terjadi, maka penderitaan tak dapat dihindarkan.
Banyak orang memikirkan untuk mencari kehidupan abadi, tetapi ironisnya ialah banyak orang-orang yang mencari keabadian ini mendapati bahwa kehidupannya sangat membosankan sehingga mereka bahkan tidak tahu bagaimana menjalani hari-harinya. Menurut Sang Buddha, justru keinginan yang kuat untuk keabadian merupakan salah satu dari sebab-sebab munculnya pemikiran yang mementingkan diri sendiri dan penderitaan-penderitaan. “Adalah cukup mudah menjadi senang, Bila kehidupan berlaku seperti sebuah nyanyian. Tetapi orang yang berharga ialah orang yang dapat tersenyum. Bila kehidupan menjadi jalan buntu.”
Dunia dimana sedikit kegembiraan ini memberikan kepada makhluk-makhluk hanya diperoleh sesudah banyak mengalami kekecewaan, kegagalan dan kekalahan. Manusia mustahil mendapatkan kehidupan dimana tidak ada gangguan-gangguan, kesukaran-kesukaran, persoalan-persoalan, malapetaka, pertengkaran-pertengkaran, perselisihan-perselisihan, kekecewaan-kekecewaan, ketidakpuasan-ketidakpuasan, perbedaan-perbedaan pendapat, argumentasi, kekesalan-kekesalan, ketakutan, ketidak-amanan, kecurigaan, ketidakpastian, kehilangan, nasib buruk, nama jelek, dipersalahkan, kesakitan, kelaparan dan beribu-ribu hal yang tidak mengenakkan lainnya.
Setiap hari dan malam manusia berusaha menghilangkan situasi yang tidak menguntungkan ini. Semakin dia berusaha melepaskan diri dari keadaan yang tidak menyenangkan ini dengan cara duniawi, semakin dia melibatkan dirinya dengan beberapa persoalan lainnya. Bila dia dapat melepaskan diri dari satu persoalan, sengaja atau tidak sengaja dia akan menciptakan beberapa persoalan lain bagi dirinya. Jadi dimanakah akhir semua persoalan-persoalan ini? Untuk kelangsungan hidup kita sendiri, kita harus menerima kesulitan-kesulitan dan penderitaan-penderitaan yang sedemikian tanpa mengeluh karena tidak ada pilihan lain. Penderitaan akan selalu ada. Tetapi penderitaan dan ketidaksenangan bukan sama sekali tidak dapat dihindari. Penderitaan, kata Sang Buddha adalah suatu penyakit dan oleh sebab itu dapat diobati secara sempurna bila kita telah mencapai kesempurnaan.
Lao-Tse-seorang guru agama bangsa Cina mengatakan “Saya telah menderita karena saya mempunyai badan. Bila saya tidak mempunyai badan ragawi, bagaimana saya dapat menderita? Bila anda memperhatikan bagaimana caranya orang menderita dalam dunia ini, anda dapat melihat situasi sebenarnya dari kehidupan dunia ini. Mengapa mereka harus menderita dalam cara ini? Dan siapa yang bertanggung jawab atas penderitaan-penderitaan ini? Menurut Sang Buddha, masing-masing orang yang bertanggung jawab atas penderitaannya sendiri. Mereka menderita disini sekarang karena keinginan yang berlebihan dan kuat untuk hidup. Itulah sebab utama penderitaan ini. Memerlukan waktu lebih dari 2500 tahun bagi banyak ahli-ahli filsafat dan psikologi untuk memahami bahwa apa yang disebut Sang Buddha adalah benar. Seorang sastrawan yang terkenal mengatakan: “Kearah api kupu-kupu terbang Tanpa mengetahui dia akan mati Ikan kecil memakan pancing Tanpa mengetahui bahaya Tetapi sekalipun mengatakan benar bahaya Kesenangan dunia yang jahat ini Kita tetap berpegang kepadanya dengan erat Oh...berapa besar kebodohan kita”.
SIFAT KEHIDUPAN YANG SEBENTAR
Buddhisme menunjukkan bahwa lamanya kehidupan sangat pendek dan kita harus bekerja dengan hati-hati, dengan siaga dan memperhatikan keselamatan/pembebasan kita. “orang tak akan pernah benar-benar memahami bahwa kita disini hanya untuk sebentar. Tetapi mereka yang mengetahui kebenaran ini betul-betul, Semua penderitaan, perkelahian dan pertengkaran akan habis (Thera Gatha) Beginilah caranya bagaimana Davis melihat kehidupan yang berlaku secepat ini. Apakah kehidupan ini, sekalipun penuh perhatian kita tak punya waktu untuk berdiri dan memandang? Tak ada waktu bediri dibawah dahan-dahan. Dan memandang lama sebagai domba-domba dan lembu-lembu. Tak ada waktu melihat, ketika kita melewati hutan-hutan. Dimana bajing-bajing menyembunyikan makanannya dalam rumput Tak ada waktu untuk melihat, dalam terangnya hari. Sungai-sungai penuh bintang  seperti langit diwaktu malam. Tak ada waktu memperhatikan kerlingan keindahan dan memperhatikan kakinya bagaimana menari.
Tak ada waktu menunggu sehingga mulutnya dapat memperindah senyuman yang mulai dimatanya. Suatu kehidupan yang menyedihkan sekalipun penuh perhatian. Kita tidak punya waktu untuk berdiri dan memandang.
SUATU PADANG PERTEMPURAN
Seluruh alam semesta merupakan padang pertempuran yang luas. Keberadaan tidak lain adalah perjuangan sia-sia, molekul melawan molekul, atom melawan atom, elektron melawan elektron, orang melawan orang, wanita melawan wanita, orang melawan binatang, binatang melawan orang, roh-roh melawan manusia, manusia melawan roh-roh, manusia melawan alam, alam melawan manusia, dan di dalam sistem fisik itu merupakan padang pertempuran yang besar. Batin itu sendiri merupakan padang pertempuran yang terbesar.
Orang yang tidak berdamai dengan dirinya sendiri, tidak dapat berdamai dengan dunia, dan peperangan-peperangan di luar terus berlangsung untuk menyembunyikan dari orang-orang secara individual bahwa peperangan yang sebenarnya adalah dalam dirinya. Doa yang paling penting dari kemanusiaan sekarang ini adalah perdamaian, tetapi tidak akan ada perdamaian dalam dunia yang dirusak perang sampai pertentangan-pertentangan dalam diri manusia berakhir. Dalam pandangan Sang Buddha, makhluk-makhluk hidup gemetar seperti ikan dalam sungai yang hampir kering; karena dicekam keinginan yang berlebihan, melompat kesana kemari seperti kancil yang tertangkap jerat atau hilang seperti anak panah yang ditembakkan diwaktu malam. Beliau melihat perjuangan semua melawan semua, pengrusakan-pengrusakan yang berturut-turut yang tidak ada maknanya, dalam mana seseorang memakan yang lainnya dan berikutnya akan dimakan yang lain pula. Perang diciptakan oleh batin manusia dan batin manusia yang sama dapat menciptakan perdamaian dan keadilan bila manusia memakai batin yang lurus.
Sejarah dunia menyatakan kepada kita bahwa diskriminasi rasial, perbedaan warna kulit, kefanatikan agama serta keserakahan akan kekuatan politik dan kekayaan telah menciptakan kesusahan, kesengsaraan dan penderitaan dengan cara yang kejam. Hal-hal ini tidak pernah menyumbangkan sesuatupun terhadap perdamaian dan kesenangan. Orang-orang yang haus akan kekuasaan dan kekayaan serta diracuni kecemburuan selalu menciptakan kesukaran-kesukaran dan acapkali mencoba membenarkan tindakan-tindakannya yang kejam dengan berbicara omong kosong yang menyerang orang lain. Kita sedang hidup di dunia yang dari luar bersatu tetapi secara mental terpecah-pecah dan kadang-kadang secara mental bersatu tetapi sebelah luar terpecah belah. “Kita hidup, bekerja dan bermimpi Masing-masing mempunyai rencana kecil Kadang-kadang kita tertawa Kadang kadang kita menangis Dan begitulah hari-hari berlalu.
NILAI-NILAI SPIRITUAL

Yulian Hurcley mengatakan: “Kehdidupan seharusnya mengarah kepada pemenuhan kemungkinan-kemungkinan yang tidak terhingga –secara badaniah, mental dan spiritual dan seterusnya-yang manusia mampu membuatnya. Dan kemanusiaan mampu untuk hal-hal yang besar dan agung.
Anda dilahirkan kedalam dunia ini untuk berbuat kebaikan dan bukan menghabiskan waktu anda dalam kemalasan. Bila anda bermalas-malas, maka anda adalah beban bagi dunia ini. Anda harus selalu berpikir untuk meningkat lebih tinggi dalam kebaikan dan kebijaksanaan. Anda akan menyia-nyiakan hak istimewa menjadi makhluk manusia bila anda tidak membuktikan diri anda berharga, dimana kebaikan anda telah memberikan kepada anda tempat ini. Memboroskan keberadaan manusia dengan menangisi keadaan yang telah lalu, dengan kemalasan dan ketidak perdulian berarti menunjukkan ketidak tepatannya untuk dunia ini. Pohon peradaban mempunyai akar-akarnya dalam nilai-nilai spiritual yang kebanyakan dari kita tidak menyadarinya. Tanpa akar-akar ini, daun-daun akan gugur dan pohon itu menjadi tunggul mati. Bila seluruh gunung-gunung merupakan buku, bila semua dedaunan merupakan tinta, Dan semua pohon-pohon merupakan pena, Semuanya itu tetap tidak cukup untuk melukiskan segala kesengsaraan di dunia ini (Jacob Boehme)
Begitulah mengapa guru-guru agama yang telah mendapat penerangan sempurna seperti Sang Buddha sesudah melihat kehidupan dalam pandangan yang wajar tanpa sikap mementingkan diri sendiri atau egoistis, menjelaskan bahwa tak ada tujuan yang sebenarnya dari kehidupan ini bila kita ijinkan kehidupan ini berputar-putar di dalam lingkaran kelahiran dan kematian-sementara itu menderita secara ragawi dan mental. Tetapi kita dapat memakai kehidupan ini untuk tujuan yang lebih baik dengan melayani orang lain, dan menumbuhkan moralitas, dengan melatih batin dan hidup sebagai makhluk berkebudayaan dalam perdamaian dan keselarasan dengan seluruh dunia ini.
Menurut Sang Buddha manusia bukanlah boneka-boneka tanpa tanggung jawab. Manusia adalah hasil tertinggi dari pohon evolusi. Tetapi ahli-ahli filsafat kita jaman dulu menjelaskan tujuan kehidupan seperti ini: “Untuk membawa dari kegelapan kepada terang, dan ketidak benaran menuju kebenaran dan kematian kepada ketidak-matian”. Penjelasan yang sederhana tetapi bermakna ini memberikan bahan bagi kita untuk berpikir.
NASIB
Nasib, apakah baik atau buruk adalah sesuatu yang seluruhnya buatan sendiri, hasil sendiri. Bila manusia tidak mengetahui, bahwa apa yang dia berikan dalam kehidupan ini kepada dunia ini akhirnya akan dikembalikan kepadanya oleh nasib, maka hal itu tidak akan memaafkan dirinya. Alam tidak pernah memaafkan ketidaktahuan. Manusia adalah pembangun kehidupannya sendiri, pencipta nasibnya sendiri, baik keluar atau kedalam. Nasib bukanlah kekuatan buta. Ini adalah pernyataan dari suatu kecerdasan kosmik yang lebih besar dan energi mental yang sehubungan dengan tenangan tenaga karma. Ada suatu tujuan yang hendak dipenuhi, dan tujuan itu sepanjang yang berhubungan dengan manusia bersifat pendidikan. Karena manusia menciptakan nasibnya sendiri dengan pikiran-pikiran dan tindakan-tindakannya, maka lambat atau cepat dia akan menerima kembali apa yang dia berikan sendiri kepada kehidupan ini. Nasib tidak punya arti menghukum.
KEMATIAN DAN KEABADIAN
Semua pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan manusia tentang kehidupannya adalah yang sehubungan dengan realitas kematian; karena tampaknya manusia berbeda dari makhluk-makhluk lainnya, yaitu dalam hal manusia sadar akan kematiannya sendiri dan tidak pernah setuju sepenuhnya bersama-sama mengalami nasib alamiah dari semua organisme hidup. Bila seandainya manusia memahami bahwa kehidupan adalah singkat dan kematian tidak dapat dielakkan, maka ia dapat memecahkan banyak persoalan-persoalan yang sehubungan dengan kehidupan. Dalam perlawannya terhadap kematian, manusia telah mencapai sedikit perpanjangan kehidupan yang dapat disamakan dengan seorang anak yang bermain-main ditepi pantai dan dengan sungguh-sungguh membangun istana pasirnya sebelum ombak berikutnya menyapunya. Manusia telah acapkali membuat kematian sebagai pusat usahanya yang paling berharga dengan mendirikan objek-objek keagamaan dan berdoa akan berkat surgawi untuk mendapatkan kehidupan yang abadi.
Kematian menimpa semua makhluk hidup, tetapi hanya manusia yang telah menciptakan –karena ancaman terus menerus dari kematian-keinginan untuk bertahan. Dan karena keinginan untuk kelanggengan (keabadian), maka manusia telah menciptakan agama dalam bentuk-bentuk yang dapat dipikirkan, yang dalam tahap berikutnya mencoba memberikan akhir kehidupan yang lebih bermakna.
Sekalipun beberapa sekte keagamaan percaya pada adanya Yang Mahakuasa dan yang sehubungan dengan tempat surgawi dimana kehidupan akan menjadi kebahagiaan abadi, tetapi kita belum pernah mendengar pengikut-pengikut yang salah dari agama tersebut yang ingin sekali meninggalkan kehidupan duniawi ini agar dapat bersama dengan Yang Mahakuasa di surga. Demikian juga orang-orang Buddhis, akan lebih menyukai berpegang kepada keberadaan duniawi  mereka 

PERTAUBATAN

Semua kesalahan bagaikan bunga es di atas tanah;
Ketika mentari kebijaksanaan terbit, ia akan hilang
Oleh karena itulah dengan segenap hati
Kita harus sesali kejatuhan keenam indera kita.
(Sutra Samantabhadrotsahana Parivarta)
Semua “kesalahan”pada dasarnya sunya
Manusia bukanlah makhluk suci, bagaimana mereka bisa diharapkan untuk hidup tanpa berbuat kesalahan? Pepatah kuno ini adalah awal yang baik untuk memulai pembahasan ini. Seperti penyakit, perbuatan salah adalah bagian yang tak terhindarkan dalam kehidupan manusia. Sulit rasanya bagi kita untuk melewatkan satu hari tanpa melakukan kesalahan; sebagian besar dari kita hampir terus menerus melanggar disiplin tubuh, ucapan dan pikiran. Kehidupan “normal” manusia dipenuhi dengan kebohongan, pencurian, mengobrol yang tak perlu, naik pitam, dan kesenangan indrawi yang berlebihan. Bahkan jika kita belajar untuk dapat menguasai tubuh dan mulut kita, banyak yang masih terus melanggar aturan disiplin yang lebih dalam melalui pikiran-pikiran seperti kecemburuan, kemarahan, keirihatian, dendam atau keserakahan. Rangkuman singkat atas fakta-fakta kehidupan ini tidak dimaksudkan untuk mendorong perilaku yang tidak baik. Tujuannya hanyalah untuk membantu kita mencapai kehidupan manusia yang seimbang dan masuk akal. Sembari berjuang untuk memahami dan memperbaiki diri, mari kita selalu ingat;
Karma buruk pada dasarnya adalah sunya
Semata produk dari pikiran
Ketika pikiran hening
Kesalahan terlupakan
Ketika pikiran terlupakan
Kesalahan hening
Maka keduanya telah mencapai kesunyaan
Dan inilah yang dinamakan penyesalan sejati.
(Sutra Avatamsaka)
Manusia itu tempatnya kesalahan, ketika kita berbuat kesalahan, kita harus berusaha untuk mengoreksi diri kita sendiri dan tidak mengulang kesalahan yang sama lagi. Perbuatan salah adalah untuk dimengerti dan dikoreksi, bukan untuk terus diratapi. Perbuatan salah yang kita tinggalkan adalah seperti surat yang menandai kemajuan kita.
Sutra Avatamsaka mengatakan;
Terciptanya keserakahan, kemarahan, atau kegelapan bathin yang tidak berawal,Karma buruk itu lahir dari perbuatan, perkataan dan pikiran dan sekarang aku bertobat akan semua itu. Makna pertobatan Pertobatan adalah suatu bagian penting di dalalm praktik Buddhis. Guru-guru Zen sering berkata:”Jangan takuti munculnya bentuk-bentuk pikiran, takuti pengamatan bentuk-bentuk pikiran yang terlambat”. “Pengamatan bentuk pikiran” berarti introspeksi atau refleksi terhadap cara kerja pikiran kita. Maksud dari pepatah ini adalah bahwa kita tidak usah takut akan bentuk-bentuk pikiran apa saja; yang harus kita takuti adalah mempunyai pikiran jahat atau yang lebih buruk lagi melakukan perbuatan jahat. Bentuk-bentuk pikiran mengalir melalui pikiran secara terus-menerus. Seorang umat Buddha seharusnya tidak perlu takut akan bentuk-bentuk pikiran karena semuanya adalah sunya.
“Pengamatan bentuk pikiran” atau secara terus menerus melakukan refleksi akan bentuk-bentuk pikiran adalah dasar dari pertobatan. Bodhisattva yang bijaksana mengetahui bahwa masa depan ditentukan oleh masa kini. Ia mengetahui bahwa akibat karma disebabkan oleh niatan. Dengan terus menerus mengamati bentuk-bentuk pikirannya, ia memutuskan hubungan dirinya dengan kecenderungan untuk membiarkan bentuk-bentuk pikiran yang tidak terarah berkembang menjadi iblis niat jahat. Pengamatan terhadap bentuk-bentuk pikiran adalah pondasi dari keberhasilan praktik Buddhis.
Di dalam bahasa Cina, kata pertobatan (Chan Hui) adalah perpaduan dari dua kata. Arti yang lebih luas dari perpaduan tersebut mungkin dapat disetarakan dalam bahasa Inggris dengan perpaduan “Penitence-repentance”(Sesal-tobat), ada perbedaan yang halus tetapi penting diantara kedua kata tersebut didalam bahasa Inggris maupun dalam bahasa Cina. “Penyesalan” menekankan pada keadaan pikiran seseorang yang sangat menyadari kesalahannya dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. “Pertobatan” menekankan pada perubahan pikiran dan tekad untuk tidak mengulang kesalahan tersebut.
Sutra altar sesepuh keenam menyebutkan
Ketika seseorang menyesal, ia menyesali pelanggarannya. Ia menyesali penyebab karma buruk. Ia menyesali kegelapan batin dan kebingungannya, kesombongannya, iri hatinya, cemburunya, dan semua hal lain yang telah diperbuatnya dalam kesalahan itu. Ketika semua pelanggaran disesali sungguh-sungguh dengan serinci-rincinya dan kalau ia tidak pernah melakukannya lagi, maka inilah yang disebut dengan penyesalan. Ketika seseorang bertobat, ia telah sadar; ia bertekad tidak akan pernah mengulangi pelanggarannya pada masa lalu. Ia bertekad melepaskan diri dari semua sumber karma buruk, dari kegelapan batin dan kebingungan, dari kesombongan, iri hati, cemburu dan semua hal lain yang telah diperbuatnya dalam kesalahan itu. Ketika seseorang bertekad untuk sepenuhnya memutuskan hubungan dengan semua pelanggaran, maka ia dapat dikatakan telah bertobat. Inilah arti dari sesal-tobat (Chan Hui).
Sangat penting untuk dimengerti bahwa ajaran Buddha tidak dipusatkan pada kesalahan atau membuat orang merasa bersalah atas kesalahan yang telah mereka perbuat. Ajaran Buddha memusatkan pada bagaimana memperbaiki kesalahan. Kesalahan harus dikenali dan harus ditobati. Begitu kesalahan telah di koreksi, kesalahan tidak boleh terus dipikirkan. Perasaan bersalah dan murung yang berlebihan adalah suatu bentuk kemelekatan, sama halnya dengan keserakahan dan cemburu Penyesalan bersifat mendasar bagi ajaran Buddha karena penyesalan adalah akar dari perubahan mental dan emosi yang harus mau dijalani oleh semua umat Buddha. Tanpa penyesalan dan rasa malu kita akan menjadi angkuh dan kemajuan kita akan jadi tumpul. Penting juga diketahui bahwa penyesalan bukanlah perasaan muram dan rasa bersalah yang menyiksa yang menghantui kita seperti bayang-bayang selama bertahun-tahun. Pada hakikatnya segala sesuatu adalah Sunya. Kita belajar dan tumbuh dengan mengenali kesalahan kita dan terus maju.
Penyesalan itu bagaikan air Dharma, yang membersihkan kita. Bagaikan rakit yang dapat membawa kita keseberang. Bagaikan obat yang menyembuhkan kita dari sakit. Bagaikan lampu didalam kegelapan yang menerangi jalan. Bagaikan tembok disekeliling kota yang menjaga pikiran dan perasaan kita dari serangan para bandit nafsu keinginan dan keserakahan. Bagaikan jembatan yang membantu menyeberangkan kita dari semua kesulitan dan memasuki jalan Buddha dengan mudah. Bagaikan perangkat indah yang dapat menghias dan membuat Jalan Buddha terlihat lebih menakjubkan.
Sutra Dalam Empat Puluh Dua Bagian menyebutkan “Jika ada kejahatan, itu harus dikenali. Begitu kejahatan telah dikoreksi, kebaikan akan menjadi hasilnya. Begitu kejahatan telah dikurangi, seseorang akan segera melihat kebenaran”. Ts’ai Ken T’an menyebutkan “Bahkan pelanggaran terbesar pun dapat di tobati Di dalam Vinaya Lima Bagian Buddha berkata “Di dalam Praktik Dharma-Ku, mengenali pelanggaran dan menyesalinya akan membawa kemajuan di dalam perbuatan baik”. Dalam pertanyaannya ini, Buddha mengatakan bahwa pertobatan tidak hanya mengurangi karma buruk akibat pelanggaran kita, tetapi juga akan menambah kebaikan dasar kita.
Cara bertobat
Di dalam sutra-sutra Buddhis disebutkan ada banyak cara untuk bertobat. Di dalam Sutra Samantabhadrotsahana Parivarta disebutkan: Engkau harus bertobat atas perbuatan yang dilakukan oleh pikiran dan tubuhmu. Tubuh : bertobatlah dari semua pembunuhan, pencurian, dan perangai amarah. Pikiran : bertobatlah dari semua pikiran jahat serta sepuluh perbuatan jahat dan lima perbuatan Neraka. Pikiran itu seekor monyet liar. Atau seperti Lem yang menempel kepada apapun melalui keserekahan dan bekerjanya Enam Indera, akar dari Enam Indera menimbulkan cabang dan dedaunan yang berkembang biak di tiga alam kehidupan. Akar dari Enam Indera menimbulkan kegelapan batin, usia tua, dan kematian. Mereka juga menimbulkan lingkaran kehidupan dan kematian dan segala macam kesukaran dan masalah. Engkau harus bertobat atas perbuatan pikiran dan tubuhmu.
Sutra Samantabhadrotsahana Parivarta menyebutkan enam cara untuk melakuakan pertobatan yang benar didalam hidup kita, yaitu :
          1          Memiliki mata yang bertobat. Kejahatan sering di mulai dari mata. Pertama kita melihat sesuatu, lalu pikiran jahat muncul. Dengan memperhatikan diri kita dan tanggapan terhadap hal yang kita lihat, kita dapat mulai bisa mengendalikan sumber-sumber perilaku buruk. Dengan berhati-hati akan pikiran yang muncul dari apa yang kita lihat. Kita akan berhasil untuk tidak menciptakan karma buruk.
          2          Memiliki telinga yang bertobat. Telinga dapat menjadi sumber dari suara-suara yang mengganggu dan mericuhkan. Beberapa jenis suara memiliki kekuatan yang merangsang perilaku dan pikiran yang tidak pantas. Ketika kita merasa terganggu oleh suara-suara seperti itu, menyadari kesunyataan di dalamnya baik sekali. Suara adalah titik pangkal yang bagus untuk memahami kesunyataan karena suara terwujud begitu sementara dan tidak berupa zat.
          3          Memiliki hidung yang bertobat. Nafsu badaniah sering terangsang oleh bau-bauan yang melekat di udara. Kita harus berhenti dan berpikir bagaimana pikiran kita dapat di gerakkan seperti pikiran seekor binatang, dengan ceroboh dan tanpa pertimbangan akan akibat dari sebuah perbuatan.
          4          Memiliki lidah yang bertobat. Lidah adalah salah satu alat terhalus untuk mengekspresikan diri kita. Pada saat yang sama. Kekuatan lidah dapat berubah menjadi jahat. Karma buruk kebanyakan dilakukan oleh ucapan. Waspadai lidah Anda dan pastikan bahwa lidah di gunakan dengan penuh belas kasih dan kebijaksanaan.
          5          Memiliki pikiran yang bertobat. Perbuatan yang di lakukan dengan pikiran yang tidak terlatih akan liar dan tidak teratur seperti monyet mabuk. Ia melompat kesana ke mari semaunya dan lupa dari mana ia datang sebelumnya. Jika kita ingin mengendalikan pikiran kita, kita harus merenungkan Buddha dan mempraktikkan Dharma-Nya setiap saat. Pengamatan secara ketat dan terus-menerus terhadap cara bekerjanya pikiran adalah teknik yang penting bagi kemajuan di dalam ajaran Buddha.
          6          Memiliki tubuh yang bertobat. Semua godaan dan nafsu di dalam kehidupan dipenuhi lewat tubuh. Pikiran adalah sumbernya, tetapi tubuh adalah alatnya, jika kita gagal mengendalikan pikiran kita, tubuh kita akan bergerak ke arah yang salah : kita akan mendapati diri kita berada didekat titik perbuatan yang salah. Berhentilah di sana. Masih belum terlambat. Pikiran masih memimpin dan pada saat-saat terakhir sebelum perbuatan buruk dilakukan. Pikiran masih dapat menghentikan tubuh dan jalurnya. Pada saatnya nanti, Anda akan melihat betapa lebih baiknya suatu perbuatan buruk berhasil di cegah.
Perenungan, meditasi, dan penguncaran sutra adalah jalan yang luar biasa untuk meningkatkan kekuatan pikiran untuk mengamati dan mengendalikan pikiran itu sendiri. Semua karya Buddhis ada untuk membantu kita untuk membantu kita untuk mencapai kemajuan. Segenap Dharma akan berada di sisi anda ketika anda memutuskan untuk berubah menjadi lebih baik.Penyesalan dan pertobatan menyelamatkan kita dari hasrat rendah dan membantu kita bangkit ke tingkat kesadaran tertinggi.
Perbuatan jahat kita pada masa lampau
Adalah seperti awan yang menutupi bulan
Keputusan untuk berubah
Adalah seperti obor di dalam kegelapan.
(Sutra Abhutadharma)


MANTRA AVALOKITESVARA

Mantra ini sangat umum di lafalkan di negara-negara Buddhis. Di kisahkan pada saat Yang Ariya Padma Sambawa hendak meninggalkan Tibet, pada saat itu Umat Buddha bertanya kepadanya cara untuk mengadapi masa akhir Dhamma, dimana banyak unsur-unsur yang akan menghancurkan Dhamma. Pintu Dhamma apa yang harus kita latih supaya kita senantiasa di lindungi oleh para pelindung Dhamma? disini Yang Ariya Padma Sanbawa mengajarkan mantra Om Mani Padme Hum.
Sebetulnya om mani padme hum berasal dari kata AUM – AUM – AUM. Disini kita berusaha agar pikiran, ucapan dan perbuatan kita bisa mencerminkan pikiran, ucapan dan perbuatan dari seorang Buddha. Arti kata Aum Mani adalah Permata, Permata melambangkan Dhamma, ajaran, metode dalam melaksanakan Dhamma. Metode ajaran itu seperti sesuatu yang dapat menerangi tempat yang gelap. Bagaikan batu permata yang indah dan mahal, walaupun diletakkan ditempat yang gelap dia akan terang dan bersinar.
Padme adalah Teratai-teratai yang melambangkan kebijaksanaan (prajna), teratai tumbuh di kolam yang berlumpur namun tidak ternodai oleh lumpur sebaliknya   teratai memberikan kesan suci, bersih dan melambangkan kesucian dan kebijaksanaan. Siswa Buddha yang melaksanakan Dharma di tengah kekotoran dan penderitaan duniawi yang kotor (cerita tentang tanam teratai) bagaikan bunga teratai yang indah di atas lumpur yang kotor. Maka dari itulah teratai melambangkan kebijaksanaan dan kesucian.
Kebijaksanaan kita peroleh dari pengalaman kehidupan sehari-hari, dalam kehidupan sehari-hari kita senantiasa berinteraksi menghadapi berbagai macam kesulitan. Dengan menghadapi bermacam kesulitan-kesulitan itulah yang menyebabkan munculnya kebijaksanaan dalam diri kita.
Kemudian kata Hum adalah gabungan antara ajaran dan kebijaksanaan, jadi arti dari pada Om Mani Padme Hum adalah, bagaimana melalui Penggabungan antara ajaran dan kebijaksanaan kita bisa merubah pikiran kata-kata dan perbuatan kita menjadi pikiran kata-kata dan perbuatan Buddha. Jelas ini adalah mantra inti dari pada Avalokitesvara, tetapi sekaligus merupakan mantra inti dari pada Buddha, para Buddha di dalam hati kita.
Buddha bukan ada pada rupang (patung Buddha) namun ada di dalam hati kita, setiap makhluk memiliki benih-benih kebuddhaan dan mempunyai kesempatan yang sama untuk mencapai kebuddhaan dan memperoleh pencerahan. Dengan memperoleh kesempurnaan, maka tidak ada lagi penderitaan duniawi dan kelahiran kembali.
Jadi sebagai umat Buddha, kita harus dengan tekun melafalkan mantra Om Mani Padme Hum. Dengan pikiran, ucapan, dan perbuatan benar melaksakan Dharma ajaran Buddha sehingga kita semua dalam kehidupan ini dapat mencapai kebahagiaan yang sejati.


BENCANA & AGAMA BUDDHA

 

Seperti kita ketahui bersama “Indonesia menangis” karena datangnya bencana yang luar biasa yang menimpa saudara-saudara kita di Aceh dan Sumatra Utara. Seperti halnya  waktu yang tidak mungkin berbalik kembali, demikian juga apapun alasannya bencana telah terjadi. Sesuatu yang tidak bisa dibantah dan ditolak. Setelah peristiwa terjadi yang ada hanyalah kenangan dan penderitaan, dibalik semua itu ada sebuah pertanyaan: mengapa hal itu terjadi?
Banyak kemungkinan untuk menjawab pertanyaan itu dan semuanya bergantung dari sudut pandang serta disiplin ilmu masing-masing. Dari kalangan religius umumnya akan menjawab bahwa itu adalah cobaan bagi manusia dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Dari sudut ilmu pengetahuan hal itu merupakan peristiwa alam yang alamiah. Bagaimana Buddhisme memandang semua ini?  
Ajaran Buddha berpokok pangkal pada empat kesunyataan mulia yang pada intinya adalah ajaran tentang apa itu dukkha dan cara mengatasinya. Untuk dapat memahami hal ini Buddha menjabarkan lebih lanjut ke dalam pokok-pokok ajaran seperti ajaran tentang Karma dan Punarbhava, Tilakkhana, Paticcasamuppada, dan lain-lain.
Pertama-tama kita akan memahami peristiwa bencana Aceh dari ajaran Buddha tentang apakah itu dukkha dan cara mengatasinya. Secara umum bencana adalah satu bentuk dukkha. Buddha menjelaskan bahwa dukkha adalah harus dipahami, setelah dipahami dan dimengerti maka hal itu harus diterima sebagai kenyataan yang tidak dapat dipungkiri karena telah terjadi.
Artinya bagaimanapun kita berkeras menolaknya dan mencari alasan pembenaran tidak akan berguna. Memamg sulit dan luar biasa sulit untuk mampu mamahami dan menerima hal itu sebagai kebenaran yang telah terjadi, tetapi itu adalah yang terbaik, karena dengan mampu memahami dan menerima memberi dorongan kekuatan untuk menjalani kehidupan yang masih tersisa. Dengan menerima kenyataan itu seseorang juga dapat berbuat yang lebih bermanfaat bagi dirinya sendiri dan juga orang lain. Bila terpaku pada peristiwa yang sudah lewat sedangkan kita tak dapat membalikkannya maka kita cenderung akan frustasi dan tidak dapat berbuat apapun yang berguna. Sedih dan kecewa adalah manusiawi tetapi tenggelam dalam sedih dan duka akan melemahkan mental dan kemampuan kita.
Setelah mampu memahami dukkha, maka kita akan dapat menemukan sebab dukkha. Buddha menjelaskan bahwa sebab dukkha adalah tanha atau keinginan, dan keinginan adalah cetana atau niat, dan niat adalah karma atau perbuatan itu sendiri. Dengan demikian segala bentuk dukkha baik itu dalam bentuk bencana alam, kecewa, kecelakaan, kerusuhan dan lain-lain pasti berhubungan dengan karma atau perbuatan manusia. Namun demikian tidak semua karena karma atau perbuatan manusia, karena ada faktor-faktor lain yang terlibat seperti proses alam (hukum kimia fisika) dan lain-lain.
Jika karma, karma yang bagaimanakah sehingga mengakibatkan peristiwa bencana yang maha dashyat itu? Jawaban yang pasti tidak dapat diketahui, tetapi jawaban juga dapat diketahui dari akibat yang ditimbulkan. Artinya jika akibatnya luar biasa dahsyat dengan demikian juga dapat diduga bahwa sebabnya juga luar biasa dahsyat (Garuka Karma).   
Jika peristiwanya menimpa begitu banyak jiwa dari berbagai suku bangsa dan agama, dengan demikian juga dapat diduga bahwa karma dahsyat itu dilakukan oleh banyak suku bangsa dan agama atau karma buruk kolektif. Namun demikian diantara dahsyatnya karma buruk yang dilakukan secara kolektif masih ada orang yang tidak turut serta melakukan karma buruk tersebut sehingga ia selamat dari bencana kolektif tersebut.
Tentu saja karma ini bukan hanya karma (perbuatan) orang-orang itu pada masa kini saja tetapi telah melalui ribuan bahkan jutaan kali kehidupan yang telah lampau. Jika kita lihat kecenderungan kehidupan dunia ini memang cenderung banyak terjadi karma buruk yang berat dimana-mana. Kejahatan semakin canggih dan luar biasa, membunuh orang seperti membunuh lalat, mencuri seperti halnya punya pribadi, alam dieksploitasi tanpa belas kasihan. Lobha, dosa, moha berkembang dimana-mana.
Dari sudut ajaran Buddha tentang Tilakkhana, maka hal itu dapat dilihat bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang kekal abadi, semuanya terus berubah (anicca) karena itu menimbulkan ketidakpuasan (dukkha). Semuanya berubah tanpa inti (Anatta).Segalanya terjadi karena faktor-faktor yang saling berkaitan (inter be).Bumi ini terus berproses (Anicca), dalam perubahan itu akan menimbulkan dampak baik dan buruk kepada apapun yang hidup di bumi ini. Disamping proses perubahan bumi yang alami tadi, ada faktor ulah manusia di dalamnya. Jika manusia tidak bersahabat dengan bumi maka proses perubahan atau seleksi alam semakin cepat terjadi. Namun demikian apapun alasannya perubahan tidak dapat ditolak oleh siapapun, jika seseorang dapat memahami perubahan ini dengan benar maka dia akan bersikap yang positif demikian juga sebaliknya.
Dengan melihat bahwa segala sesuatunya saling berhubungan, saling mempengaruhi, saling menjadikan, dan selalu berkaitan dengan yang lain, maka bagaimanapun semuanya berpaling kepada perbuatan(karma) masing-masing. Buddha menyatakan “Kammasaka, Kammadayada, Kammayoni, Kammabhandu, Kammapatisarana, Yang Kammang Karissanti, Kalyanang Va Papakang Va, Tassa Dayada Bhavisanti”. Yaitu bahwa kondisi kehidupan pribadi maupun kolektif manusia bahkan semua makhluk memiliki karmanya sendiri, mewarisi karmanya sendiri, lahir dari karmanya sendiri, berhubungan dengan karmanya sendiri, terlindung oleh karmanya sendiri, apapun karma yang telah diperbuatnya baik atau buruk itulah yang akan diwarisinya. Bila bukan bagiannya (karmanya berbuah) bencana apapun atau perubahan buruk apapun tidak akan menimpanya. Dan satu prinsip yang tidak dapat ditawar adalah bila akibatnya buruk pasti sebabnya buruk yang kita lakukan, bila akibatnya baik maka baik pula sebab yang kita lakukan. Karena itu kebajikan akan melindungi siapapun yang memilikinya baik di dunia ini maupun di dunia berikutnya.
Buddhisme memandang hal itu bukanlah percobaan yang diberikan oleh Tuhan, bukan juga karena Tuhan sedang murka karena kekecewaannya, peristiwa itu merupakan bagian dari rangkaian sebab akibat yang saling bergantungan, saling menjadikan, saling mempengaruhi(paticcasamuppada). Banyak faktor yang menimbulkan suatu peristiwa terjadi, karena memang tidak ada satupun di dunia ini yang terjadi karena satu faktor sebab, demikian juga peristiwa ini yang salah satunya adalah faktor perbuatan manusia (karma).
Semoga semua makhluk berbahagia. Sadhu, sadhu, sadhu...


DHAMMA NIYAMA


1.      Hukum Kosmis (Niyama)
"Ia yang menjadi sempurna oleh hukum kosmis, Ia yang mengajarkan hukum tersebut, Ia Sang Pelindung, dengan penghormatan demikian saya akan menguraikan hukum tersebut." (Niyama-dipani)
Ungkapan "menjadi sempurna oleh hukum kosmis" berarti bahwa hukum ini termasuk hukum kosmis untuk para Buddha, di mana keadaan Kebuddhaan sepenuhnya dicapai. Hukum ini membawa pencapaian Bodhi oleh para Maha-Bodhisatta, yaitu sepuluh kesempurnaan yang masing-masing terdiri atas tiga tahapan, lima pengorbanan besar, tiga kewajiban, dan pada hari terakhir perjuangannya, hukum sebab-akibat, dan saat bermeditasi mencapai konsentrasi jhana dengan pernapasan, awal mula dan lenyapnya lima kelompok kehidupan. Dengan hal-hal ini para Buddha mencapai Kebuddhaan, karenanya hal-hal demikan disebut hukum tertib kosmis untuk para Buddha. Dengan ini kita simpulkan bahwa bukan dengan kesempatan ataupun kebetulan para Buddha menjadi sempurna.
a.         "Ia yang mengajarkan hukum tersebut" bermakna bahwa Ia mengajarkan satu hukum tertib kosmis yang terdiri atas lima rangkaian hukum. Kelima unsur tersebut adalah:
Utu-niyama (hukum energi)
b.         Bija-niyama (hukum pembenihan)
c.         Kamma-niyama (hukum perbuatan)
d.        Citta-niyama (hukum psikis)
e.         Dhamma-niyama (hukum Dhamma)
2.      Utu-niyama
Dunia materi terbentuk dari empat unsur utama (mahabhuta), yaitu unsur pathavi, apo, tejo, dan vayo. Unsur pathavi (secara harfiah berarti "tanah") merupakan unsur yang bersifat "luasan" dan liat, yang berfungsi menjadi basis unsur lainnya. Unsur kedua tidak dapat saling mengikat tanpa dasar untuk ikatan tersebut; unsur ketiga tidak dapat menghangatkan tanpa basis bahan bakar; unsur keempat tidak dapat bergerak tanpa dasar untuk gerakannya; semua materi bahkan atom sekali pun membutuhkan unsur pathavi sebagai basisnya.
Unsur apo (secara harfiah berarti "air") merupakan unsur yang bersifat kohesif (ikat-mengikat) dan dapat menyesuaikan diri, yang berfungsi memberikan sifat ikat-mengikat pada unsur lainnya. Unsur ini juga memberikan kelembaban dan cairan pada tubuh makhluk hidup.
Unsur tejo (secara harfiah berarti "api") merupakan unsur yang bersifat panas, yang memberikan fungsi panas dan dingin pada unsur lainnya. Karena unsur ini, semua materi dapat dihasilkan kembali untuk tumbuh dan berkembang setelah mencapai kematangan.
Unsur vayo (secara harfiah berarti "udara") merupakan unsur yang bersifat gerakan dan memberikan fungsi gerak pada unsur lainnya. Unsur gerak ini membentuk kekuatan tarikan dan tolakan pada semua materi.
Unsur-unsur ini jika bertahan dalam kondisi yang tetap, dapat bertambah kekuatannya jika terdapat sebab yang cukup untuk bertambah, dan berkurang kekuatannya jika terdapat sebab yang cukup untuk berkurang. Misalnya, dalam benda padat unsur cair dapat memperoleh kekuatan gerak yang cukup sehingga menyebabkan benda padat tersebut mencair, dalam zat cair unsur panas dapat mengubahnya menjadi nyala api dan unsur cairnya hanya memberi sifat ikatan. Karena sifat intensitas dan jumlahnya ini, keempat unsur tersebut disebut unsur besar (mahabhutani). Intensitas dan jumlah unsur-unsur ini mencapai puncaknya ketika terjadinya pembentukan dan kehancuran alam semesta.
Energi (utu) merupakan benih awal semua fenomena pada dunia materi dan merupakan bentuk awal dari unsur panas. Hukum energi merupakan proses berkelanjutan yang mengatur empat rangkaian pembentukan, kelanjutan, kehancuran, dan kekosongan alam semesta. Ia juga mengatur pergantian musim dan menentukan musim di mana tumbuhan menghasilkan bunga dan buah. Tidak ada yang mengatur kejadian-kejadian ini apakah manusia, dewa, atau Tuhan, kecuali hukum utu-niyama ini.
3.         Bija-niyama
Bija berarti "benih" di mana tumbuhan tumbuh dan berkembang darinya dalam berbagai bentuk. Dari pandangan filosofi, hukum pembenihan hanyalah bentuk lain dari hukum energi. Dengan demikian pengatur perkembangan dan pertumbuhan dunia tumbuhan merupakan hukum energi yang cenderung mewujudkan kehidupan tumbuhan dan disebut bija-niyama.
Hukum pembenihan menentukan kecambah, tunas, batang, cabang, ranting, daun, bunga, dan buah di mana dapat tumbuh. Dengan demikian, biji jambu tidak akan berhenti menghasilkan keturunan spesies jambu yang sama. Hal ini juga berlaku untuk semua jenis tumbuhan lainnya dan tidak ada sosok pencipta yang mengaturnya.
4.         Kamma-niyama
Perbuatan (kamma) merupakan perbuatan baik maupun buruk yang dilakukan seseorang yang disertai kehendak (cetana). Seperti yang disebutkan dalam kitab Pali: "Para bhikkhu, kehendak itulah yang Ku-sebut perbuatan. Melalui kehendaklah seseorang melakukan sesuatu dalam bentuk perbuatan, ucapan, atau pikiran" (Anguttara Nikaya, iii:415).
Di sini kehendak merupakan kemauan (tindakan mental). Dalam melakukan sesuatu, baik maupun buruk, kehendak mempertimbangkan dan memutuskan langkah-langkah yang diambil, menjadi pemimpin semua fungsi mental yang terlibat dalam perbuatan tersebut. Ia menyediakan tekanan mental pada fungsi-fungsi ini terhadap objek yang diinginkan.
Dalam melaksanakan tugasnya, termasuk juga tugas-tugas semua proses mental lainnya yang terlibat, kehendak menjadi pemimpin tertinggi dalam pengertian ia memberitahukan semua sisanya. Kehendak menyebabkan semua aktivitas mental cenderung bergerak dalam satu arah.
Hukum perbuatan mengatur akibat-akibat dari suatu perbuatan apakah baik atau buruk. Contoh-contoh akibat moral dari suatu perbuatan dapat dijumpai dalam berbagai sutta, misalnya dalam Majjhima-Nikaya, Cula-Kamma-Vibhanga-Sutta: "Akibat dari membunuh menyebabkan umur pendek, dan tidak melakukan pembunuhan menyebabkan umur panjang. Iri hati menghasilkan banyak perselisihan, sedangkan kebaikan hati menghasilkan perdamaian. Kemarahan merampas kecantikan seseorang, sedangkan kesabaran menambah kecantikan diri. Kebencian menghasilkan kelemahan, sedangkan persahabatan menghasilkan kekuatan. Pencurian menghasilkan kemiskinan, sedangkan pekerjaan yang jujur menghasilkan kemakmuran. Kesombongan berakhir dengan hilangnya kehormatan, sedangkan kerendahan hati membawa kehormatan. Pergaulan dengan orang bodoh menyebabkan hilangnya kebijaksanaan, sedangkan pengetahuan merupakan hadiah dari pergaulan dengan orang bijaksana."
Di sini pernyataan "membunuh menyebabkan umur pendek" mengandung makna bahwa ketika seseorang telah membunuh sekali saja manusia atau makhluk lainnya, perbuatan ini menyediakan akibat untuk terlahir kembali dalam keadaan menderita dengan berbagai cara. Selama masa ketika ia terlahir kembali sebagai manusia, perbuatan tersebut menyebabkannya berumur pendek dalam ribuan kelahiran. Penjelasan yang sejenis juga berlaku untuk pernyataan sebab akibat yang lain di atas.
5.      Citta-niyama
Citta berarti "ia yang berpikir" (perbuatan berpikir), yang mengandung pengertian: yang menyadari suatu objek. Juga berarti: menyelidiki atau memeriksa suatu objek. Lebih jauh lagi, citta dikatakan berbeda-beda bergantung pada berbagai bentuk pikiran atas objek. Hal ini dinyatakan dalam kitab Pali: "Para bhikkhu, Aku tidak melihat hal lain yang sangat beraneka ragam seperti pikiran (citta). Para bhikkhu, Aku tidak melihat kelompok (nikaya) lain yang sangat beraneka ragam seperti makhluk-makhluk alam rendah (binatang, burung, dan seterusnya). Makhluk-makhluk alam rendah ini hanya berbeda dalam pikiran. Namun pikiran, O para bhikkhu, lebih beraneka ragam dibandingkan makhluk-makhluk ini" (Citten'eva cittikata. Samyutta-Nikaya, iii. 152).
Pikiran menjadi lebih beraneka ragam berkaitan dengan hal-hal yang tidak baik dibandingkan dengan hal-hal yang baik sehingga dikatakan "Pikiran menyenangi hal-hal yang buruk". Oleh sebab itu, mahkluk-makhluk di alam rendah yang dibuat dan diciptakan oleh pikiran lebih beraneka ragam dibandingkan semua makhluk lainnya. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Dikatakan dalam kitab Pali: "O, para bhikkhu, Aku akan menyatakan bagaimana dunia berasal, dan bagaimana dunia berakhir. Apakah asal mula dunia itu, O para bhikkhu? Dikondisikan oleh mata dan objek-objek muncul kesadaran penglihatan. Ketiga hal ini disebut kontak. Karena kontak, muncul perasaan; karena perasaan, muncul keinginan.... Demikianlah asal mula seluruh tubuh yang berpenyakitan ini. Dikondisikan oleh telinga dan objek-objek... oleh hidung... oleh lidah... oleh tubuh, dan seterusnya... dikondisikan oleh indera pikiran dan benda-benda muncul kesadaran pikiran. Ketiga hal ini adalah kontak. Karena kontak, muncul perasaan; karena perasaan, muncul keinginan.... Demikianlah asal mula seluruh tubuh yang berpenyakitan ini. Inilah, O para bhikkhu, apa yang disebut asal mula dunia."
"Apakah akhir dunia itu, O para bhikkhu? Dikondisikan oleh mata dan objek-objek muncul kesadaran pikiran. Ketiga hal ini disebut kontak. Karena kontak, muncul perasaan; karena perasaan.... Karena keinginan sepenuhnya berakhir, ketamakan berakhir; karena ketamakan berakhir, kemenjadian berakhir. Demikianlah akhir dari seluruh tubuh yang berpenyakitan ini. Demikian halnya juga berhubungan dengan telinga dan alat indera lainnya. Inilah, O para bhikkhu, apa yang disebut akhir dunia" (Samyutta-Nikaya, iv 87).
Di sini ungkapan "dikondisikan oleh mata dan objek-objek muncul kesadaran mata, dan seterusnya" menunjukkan bahwa di dunia ini kesadaran dan proses pikiran orang-orang secara umum berbeda-beda dari momen ke momen dan menjadi sebab kelahiran kembali mereka dalam bentuk-bentuk yang berbeda dalam kehidupan berikutnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bentuk-bentuk yang berbeda pada kehidupan yang akan datang dibuat dan diciptakan oleh pikiran pada kehidupan sekarang. Karena perbedaan kesadaran, persepsi juga berbeda. Karena perbedaan persepsi, keinginan berbeda, dan karena hal ini berbeda, maka perbuatan (kamma) berbeda. Beberapa orang juga berpendapat bahwa karena kamma berbeda, kelahiran kembali di alam binatang beraneka ragam.
Hukum psikis mengatur tentang pikiran atau kesadaran yang berbeda-beda dalam fungsi dan kejadian. Ini diulas dalam kitab Patthana pada bab "Hubungan yang Berurutan".  
6.      Dhamma-niyama
Dhamma adalah sesuatu yang menghasilkan (dhareti) sifat dasarnya sendiri, yaitu kekerasannya sendiri ketika disentuh, sifat khusus sekaligus sifat universalnya adalah berkembang, melapuk, hancur, dan seterusnya. Dhamma yang dikategorikan dalam hubungan sebab "menghasilkan" fungsi hubungan sebab tersebut, dan yang dikategorikan dalam hubungan akibat "menghasilkan" fungsi akibat atau hasil. Pengertian ini meliputi semua Dhamma yang dibahas dalam Suttanta dan Abhidhamma Pitaka. Ini juga meliputi hal-hal yang disebutkan dalam Vinaya Pitaka dengan nama "tubuh aturan" (silakkhandha).
Di antara sutta-sutta, keseluruhan Mahanidana-Suttanta dan Nidana-samyutta membahas tentang Dhamma-niyama. Dalam salah satu sutta disebutkan: "Karena kebodohan muncul kamma: sekarang, O para bhikkhu, apakah para Tathagata muncul atau tidak, unsur (dhatu) ini ada, yaitu pembentukan Dhamma sebagai akibat, ketetapan Dhamma sebagai akibat (Dhammatthitata Dhammaniyamata). Karena kamma... (dan seterusnya seperti pada hubungan sebab akibat yang saling bergantungan)" (Samyutta-Nikaya, ii. 25). Ia juga disinggung dalam ungkapan: "Semua hal yang berkondisi (sankhara) adalah tidak kekal, penuh dengan penderitaan, dan tanpa aku."
Dalam beberapa teks, niyama ini disebut Dhammata: "Sesuai dengan Dhammata (hukum), para bhikkhu, bahwa ketika seorang Bodhisatta turun dari surga Tusita, memasuki rahim ibunya, cahaya yang sangat cemerlang muncul di seluruh dunia, termasuk dunia para dewa dan brahma... dan seribu sistem dunia berguncang...." (Digha-Nikaya, ii. 12).
Sifat Dhamma-niyama dapat diringkas dalam rumusan: "Ketika itu ada, ini ada. Dari kemunculan itu maka ini muncul. Ketika itu tidak ada, ini tidak ada. Ketika itu berakhir, maka ini berakhir" atau dalam pernyataan: "Inilah, para bhikkhu, tiga sifat khas dari hal yang berkondisi: dapat dipahami perkembangannya, dapat dipahami kelapukannya, dapat dipahami perubahannya ketika ia masih bertahan. Inilah, para bhikkhu, tiga sifat khas dari hal yang tidak berkondisi: perkembangannya tidak dapat dipahami, kelapukannya tidak dapat dipahami, perubahan dan durasinya tidak dapat dipahami" (Anguttara-Nikaya, i 152).
Dhamma-niyama merupakan keseluruhan sistem yang mengatur alam semesta. Empat niyama lainnya merupakan hukum alam yang spesifik yang mengkhususkan pada aspek tertentu dari alam semesta. Jadi, hukum alam apa pun yang tidak termasuk dalam keempat niyama yang pertama dikategorikan sebagai Dhamma-niyama.
Di sini kata Dhamma menunjuk pada semua hal mental maupun materi. Oleh sebab itu, bija, kamma, dan citta merupakan Dhamma, dan ia mengandung semua hal tersebut. Namun dalam klasifikasi niyama, nama-nama individual digunakan untuk keempat hal pertama untuk mengkhususkan dan membedakannya dari hal-hal lain, baik mental maupun materi, yang digolongkan di bawah nama umum "Dhamma". Karena alasan ini Dhamma-niyama tidak digunakan dalam penerapannya yang sepenuhnya, tetapi dibatasi pada hal-hal yang tidak termasuk keempat hal pertama. Ketika dibutuhkan untuk menggunakan utu sebagai niyama, seseorang tidak seharusnya menyebutnya Dhamma-niyama walaupun utu termasuk Dhamma, tetapi harus menggunakan nama individual yang sesuai dan menyebutnya sebagai utu-niyama. 
Niyama dan Konsep Penciptaan Dengan mempelajari dan memahami lima niyama ini, seseorang dapat sampai pada kesimpulan: "Tidak ada penguasa dunia ini, tidak ada pencipta yang menciptakan alam semesta, melainkan hukum tertib kosmis yang berunsur lima. Semua adalah hasil dari sebab dan akibat yang muncul dan lenyap setiap saat. Tidak ada yang berdiam di dunia yang bersifat sementara ini, oleh sebab itu tidak ada ketenangan abadi yang dapat ditemukan, tetapi pada sisi lain, dapat ditemukan pada dunia yang selalu berubah ini di mana tidak ada kemenjadian (jati) melalui ketiadaan sebab. Dan untuk mencapai tempat tersebut di mana ketenangan abadi berada kita harus menapaki Jalan Mulia Berunsur Delapan yang menghubungkan dunia ini menuju jalan keluar. Ketika kita mendekati Nibbana, kita secepat mungkin menarik pijakan terakhir kita dari dunia ini, maka kita seketika naik menuju lokuttara-bhumi, kedamaian Nibbana."
Terdapat dua jenis konsep penciptaan di dunia ini, yaitu issara-kutta dan brahma-kutta. Konsep penciptaan di mana orang-orang mempercayai adanya penguasa tertinggi seluruh alam semesta yang selamanya tinggal di surga dan menciptakan segalanya disebut issara-kutta atau issara-nimmana (diciptakan oleh issara/isvara atau Tuhan). Konsep di mana orang-orang mempercayai adanya brahma yang selamanya tinggal di surga yang menciptakan segalanya dan menguasai seluruh alam semesta disebut brahma-kutta. Di sini issara atau brahma hanya berbeda dalam istilah, namun keduanya menunjuk pada sosok penguasa dunia dan pencipta yang sama. Brahma merupakan nama yang dipakai oleh kaum brahmana dan telah menjadi gagasan umum yang diterima di alam manusia, dewa, dan brahma sejak awal dunia, sedangkan issara bukan gagasan yang umum melainkan adopsi imaginatif yang dibuat oleh mereka yang gagal mendapatkan pengetahuan tentang asal mula dunia dan sebab pertama segala hal dalam kehidupan. Untuk menghilangkan pandangan salah ini, para komentator kitab suci Tipitaka memaparkan hukum tertib kosmis ini
Mahabrahma dapat menyinari lebih dari ribuan sistem dunia dengan pancaran cahayanya yang cemerlang. Ia dapat melihat segala sesuatu dalam dunia-dunia tersebut, mendengarkan suara-suara, pergi ke tempat mana pun dan kembali sekehendak hatinya dalam seketika, dan membaca pikiran para manusia dan dewa. Berhubungan dengan kekuatan menciptakan dan mengubah sesuatu, mahabrahma dapat menciptakan atau mengubah tubuhnya sendiri atau objek eksternal apa pun menjadi berbagai bentuk. Namun ini hanya bagaikan pertunjukan sulap di mana ketika ia menarik kembali kekuatannya, semuanya akan lenyap. Kenyataanya, ia tidak dapat menciptakan mahkluk hidup dan benda yang sesungguhnya, bahkan kutu atau telurnya sekalipun. Dalam menciptakan taman dan pepohonan dengan kekuatan batinnya, ia dapat menciptakan dan memperlihatkannya secara sementara, tidak substansial, tidak nyata, meniru dan menyerupai hal-hal yang diinginkan. Ia tidak dapat menciptakan sebuah pohon bahkan sehelai rumput sekalipun. Hal ini disebabkan karena kemunculan suatu fenomena, kemunculan suatu makhluk hidup, atau pertumbuhan tanaman bukan dalam jangkauan kekuatan batin, tetapi dalam jangkauan hukum kosmis, seperti Dhamma-niyama, kamma-niyama, dan bija-niyama. Benda-benda yang diciptakannya hanya bertahan ketika iddhi (kekuatan batin) sedang berperan dan akan lenyap segera setelah iddhi ditarik. Terjadinya musim panas, hujan, dan dingin merupakan proses alamiah dari hukum cuaca dan bukan kendali iddhi.
Mahabrahma dapat memindahkan ribuan manusia dalam kehidupan sekarang ke surga jika ia menginginkannya, tetapi ia tidak dapat membuat mereka tidak mengalami usia tua dan kematian, bahkan ia tidak dapat menghalangi dan menyelamatkan mereka dari kelahiran kembali di alam yang menderita. Hal ini disebabkan karena unsur-unsur materi dan mental yang menyusun pribadi manusia berada dalam pengaruh hukum alam (Dhamma-niyama) dari kelahiran, usia tua, dan kematian. Ia tidak dapat membuat manusia atau makhluk mana pun terlahir kembali di surga setelah mereka meninggal karena lahirnya kehidupan baru di alam yang baru setelah kematian bukan dalam lingkungan kendali iddhi melainkan dalam kendali kamma-niyama. Di dunia ini orang yang membunuh dan memakan unggas dan selalu mabuk minuman keras pasti jatuh ke alam yang menderita setelah kematian walaupun setiap hari rajin berdoa dan mengunjungi tempat ibadah. Mahabrahma atau Tuhan tidak dapat menyelamatkannya bagaimana pun, karena ini berada dalam jangkauan kamma-niyama dan bukan jangkauan iddhi. Sebaliknya, siapa pun yang tidak mempercayai konsep issara-kutta dan brahma-kutta, yang menyakini hukum kamma dan menjauhi perbuatan buruk dan selalu mengembangkan perbuatan baik, pasti naik ke alam yang bahagia setelah kematiannya. Mahabrahma tidak dapat mencegahnya datang ke surga, karena pengaruh iddhi tidak dapat menolak jalannya hukum moral. Mahabrahma tidak dapat mempertahankan dan menyelamatkan bahkan dirinya sendiri dari kejatuhan ke alam rendah.
Terdapat beberapa orang yang berpikir bahwa hanya ada satu dunia dan tidak mempercayai bahwa ada banyak siklus dunia pada masa lampau dan sejumlah tak terhingga dunia akan mengikuti dunia yang sekarang pada masa yang akan datang. Mereka mempercayai bahwa dunia yang sekarang memiliki awal dan akhir. Dalam mencari sebab pertama permulaan dunia, mereka gagal. Namun, dengan merenungkan tentang rumah dan bangunan dengan perancang dan pembangunnya, mereka sampai pada kesimpulan bahwa dunia ini pasti memiliki penciptanya dan ia pastilah sang pencipta, mahabrahma, atau Tuhan. Pada sisi lain, agama Buddha mengajarkan bahwa banyak siklus dunia telah terbentuk di masa lampau dan banyak lagi yang lain akan mengikuti siklus dunia yang sekarang secara bergantian. Ia juga mengajarkan bahwa dunia memiliki awal dan akhir serta terdapat sebab yang disebut hukum alam atas pembentukan dan kehancuran setiap dunia, dan hukum alam ini ada selamanya dan terus berjalan dalam ruang waktu yang tak terhingga. Oleh sebab itu umat Buddha seharusnya tidak menganut pandangan salah tentang penciptaan baik issara-kutta ataupun brahma-kutta.  
a.       Kesimpulan
Segala fenomena yang terjadi di alam semesta ini (31 alam kehidupan) baik yang bersifat fisik maupun batiniah dikendalikan oleh hukum kosmis (niyama) yang terdiri atas lima kategori: Hukum energi (utu-niyama) yang mengatur proses pembentukan dan kehancuran dunia serta pergantian musim dan perubahan cuaca.
b.      Hukum pembenihan (bija-niyama) yang mengatur proses pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan sejak dari benih hingga menghasilkan buah.
c.       Hukum perbuatan (kamma-niyama) yang mengatur hasil dari suatu perbuatan yang dilakukan suatu individu.
d.      Hukum psikis (citta-niyama) yang mengatur tentang pikiran dan kesadaran makhluk-makhluk.
e.       Hukum Dhamma (Dhamma-niyama) yang mengatur segala suatu yang tidak termasuk dalam empat kategori di atas, termasuk hubungan sebab-akibat dan hukum kesunyataan yang diajarkan Sang Buddha serta kejadian-kejadian ajaib saat kelahiran terakhir Bodhisatta ke dunia.
Dengan memahami bahwa semua hal yang terjadi di dunia ini semata-mata hasil dari proses hukum kosmis, kita diharapkan dapat meninggalkan konsep yang salah tentang penciptaan bahwa dunia ini diciptakan oleh sosok pencipta yang disebut brahma, Tuhan, atau apa pun sebutannya. Mahabrahma yang umum dianggap orang sebagai sang pencipta dengan kekuatan batinnya tidak dapat mengubah jalannya hukum alam walaupun yang berkenaan dengan dirinya sendiri. Hal ini membuktikan tidak adanya sosok pencipta tunggal yang berada di balik semua fenomena di alam semesta ini.
Namun demikian, ini bukan berarti agama Buddha tidak meyakini adanya Tuhan. Ini menyatakan bahwa agama Buddha tidak mempercayai bahwa alam semesta beserta isinya diciptakan oleh sosok adikuasa yang disebut Tuhan. Agama Buddha juga mengajarkan bahwa keselamatan bergantung pada diri sendiri, bukan diperoleh dari pertolongan Tuhan. Konsep Ketuhanan dalam agama Buddha tidak seperti dalam kebanyakan agama lainnya yang menggambarkan Tuhan sebagai sosok pribadi yang maha kuasa. Ketuhanan dalam agama Buddha bersifat non-personfikasi (tidak diwujudkan dalam suatu pribadi), Yang Mutlak, Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjadi, dan Yang Tidak Tercipta seperti yang diungkapkan dalam Udana, viii. 3. Mengenai konsep Ketuhanan dalam agama Buddha ini dapat dibaca lebih lanjut dalam artikel "Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Agama Buddha" oleh Cornelis Wowor, M.

Sumber: The Niyama-Dipani: The Manual of Cosmic Order (THE NIYAMA DIPANI / ledinyma.htm)