Agama buddha dan revolusi ilmu pengetahuan adalah merupakan fakta historis bahwa revolusi ilmu pengetahuan yang terjadi pada Abad Ke-Tujuh Belas di Dunia Barat itu sebagian besar bertanggung jawab atas goncangnya konsepsi Agama, di masa awal, mengenai alam semesta. Tidak hanya bahwa ilmu pengetahuan itu bertentangan dengan dogma yang khusus dari Agama yang ada di Dunia Barat, tetapi tampaknya juga telah membahayakan dasar-dasar maupun konsep-konsep fundamental, yang bersifat implicit, didalam pandangan Agama mengenai benda-benda. Cosmology baru dari Copernicus, Galileo dan para generasi penerusnya, telah mengubah gambaran geocentris tentang alam semesta, walaupun itu dinyatakan sebagai "bertentangan dengan Kitab Suci".
Biology baru (Teori Evolusi) telah menggoncangkan doktrin-doktrin mengenai penciptaan khusus dan mengenai kejatuhan manusia. Dan
psychology baru tampaknya menunjukkan bahwa jiwa manusia, itu seperti
badan jasmaninya, bekerja atas dasar pola-pola hukum sebab dan
akibatnya, dan seberapa pun menyelamnya di kedalaman, adalah tidak
mungkin untuk menemukan didalamnya, roh yang tidak mengalami perubahan,
yang menguasai semua aktivitas-aktivitasnya.
Tentu
saja, terdapat beberapa orang yang masih menggantungkan dirinya pada
dogma-dogma didalam menghadapi ilmu pengetahuan, atau masih mempercayai
dogma-dogma didalam arti yang tidak harafiah. Tetapi posisi
mereka masih tetap sama dengan yang lama, walaupun orang-orang tidak
lagi bersifat optimistis (setelah melampaui Zaman Perang Dunia Ke-Satu
dan Ke-Dua, dan setelah menginjak ambang seakan-akan Perang Dunia
Ke-Tiga itu juga akan pecah), mengenai kemampuan ilmu pengetahuan
didalam mengganti posisi lama, untuk menciptakan Dunia Baru yang berisi
Perdamaian dan Kesejahteraan. Juga diterima sebagai hal yang
wajar bahwa keterangan-keterangan yang sifatnya mechanistic tentang alam
semesta itu tidak perlu untuk lalu harus membuang keterangan-keterangan
yang bersifat teleologis. Ilmu pengetahuan juga telah
melenyapkan materialisme yang kasar dari Abad Ke-Delapan Belas, dan para
ilmuwan tidak lagi menerangkan alam semesta atas dasar model-model
mesin, sedang beberapa ilmuwan telah menyangkal determinasi yang kaku di
bidang atom. Tetapi semua ini masih jauh dari teriakan Agama.
Tempat yang bagaimana yang wajib ditempati oleh Agama Buddha didalam kontek yang demikian itu?. Apakah
dogma-dogma dan sikap-sikapnya, berkeadaan lebih baik atau lebih buruk
dari dogma-dogma dan sikap-sikap dari Agama-Agama lain?. Beberapa
penulis dari Dunia Barat mengenai Agama tampaknya telah berassumsi
bahwa demikian itu adanya, tetapi apabila orang membaca banyak
naskah-naskah Buddhis, orang akan mulai merasa heran, dan bertanya
mengapa revolusi ilmu pengetahuan yang telah mempengaruhi hampir semua
Agama itu, tidak terjadi pada Buddhisme yang ada di masa-masa awal dari
perkembangannya.
Saya katakan yang demikian
itu, karena saya mendapati bahwa Buddhisme yang ada di masa-masa awal
dari perkembangannya itu menggaris bawahi pentingnya pandangan ilmu
pengetahuan didalam membicarakan problema-problema moralitas dan Agama. "Dogma" khususnya dikatakan mampu diverifikasi. Dan
keterangannya yang bersifat umum tentang sifat manusia dan alam semesta
itu berkeadaan sangat bersesuaian dengan penemuan-penemuan ilmu
pengetahuan, dan tidak begitu menyimpang, atau berbeda dengan
keterangan-keterangan dari ilmu pengetahuan.
Didalam
kita membicarakan hal yang disebutkan terakhir itu dapat kita temui
misalnya bahwa konsepsi tentang Kosmos, dari Agama Buddha pada awal
perkembangannya, itu secara essensinya, sama dengan konsepsi modern
tentang alam semesta. Didalam teks Agama Buddha yang
berbahasa Pali, yang kami warisi dan telah kami pelajari, dapat kami
kemukakan keterangan secara aksaranya bahwa terdapat ratusan dan bahkan
ribuan matahari-matahari, dan bulan-bulan, bumi-bumi, dan dunia-dunia
yang lebih tinggi lainnya, yang membentuk sistem dunia minor, bahwa ratusan ribu sistem dunia minor, itu membentuk sistem dunia pertengahan, dan ratusan ribu sistem dunia pertengahan itu membentuk sistem dunia major. Didalam
terminologi modern, itu tampaknya, yang dinamai sistem dunia minor
(yang didalam Agama Buddha dinamai culanika-lokadhatu) itu adalah sebuah
galaxy, yang menurut pengamatan ilmu astronomi modern, dengan
mempergunakan telescope yang paling baik, terdiri dari ratusan juta
bintang-bintang. Konsepsi Agama Buddha mengenai waktu, memiliki kesamaan yang sangat besar, dengan konsepsinya ilmu pengetahuan.
Tentu
saja, tidak terdapat theori evolusi biologis seperti yang diuraikan
oleh ilmu pengetahuan modern, pada teks-teks Agama Buddha, tetapi
mengenai manusia dan masyarakat, dan juga mengenai alam-alam, yang
digambarkan sebagai selalu mengalami perubahan dan selalu mengalami
evolusi, yang sesuai dengan hukum sebab dan akibat, konsepsi Agama
Buddha jelas sangat mirip dengan konsepsinya ilmu pengetahuan.Kemudian
didalam bidang psychologi (= ilmu-jiwa), kita dapati bahwa Buddhisme
didalam awal perkembangannya, pandangannya mengenai manusia adalah
menganggap manusia itu sebagai suatu unit psycho-physical yang unsur "psyche"nya tidak merupakan roh (= soul) yang tidak mengalami perubahan, tetapi merupakan suatu continuum yang bersifat dinamis yang terdiri dari bagian kesadaran jiwa dan bagian-tidak-sadarNya jiwa, didalam mana tersimpan residue ingatan-ingatan yang di-'charge' (= diisi) secara emosional, yang
berisi ingatan semasa kanak-kanaknya, dan juga ingatan-ingatan mengenai
pengalamannya semasa kehidupan-kehidupannya dalam
kelahiran-kelahirannya, sebelum kelahiran yang sekarang ini. Jiwa
yang sifatnya demikian itu, diterangkan, sebagai didorong untuk
bertingkah-laku dibawah pengaruh tiga type keinginan, - yaitu :
keinginan untuk memuasi keinginan-keinginan keindriaan (= Koma-tanha),
keinginan untuk menghancurkan sesuatu (= Vibhava-tanha).
Kecuali
mengenai kepercayaan tentang kelahiran kembali (= reinkarnasi =
tumimbal-lahir), konsepsi tentang jiwa, itu dipandang dari sudut ilmu
pengetahuan modern, dinyatakan benar (= bersesuaian dengan ilmu,
pengetahuan) dan orang tidak akan mengalami salah langkah, jika dalam
pengamatannya melihat keadaan yang sama (parallel) antara ajaran Agama
Buddha mengenai ketiga keinginan tersebut dimuka, dengan konsepsinya
Freud mengenai :
Eros (= Cinta-Berahi),
Libido (= Dorongan untuk Hidup), dan
Thanatos (= Dorongan untuk Mati, atau untuk Menghancurkan sesuatu).
Saya
mengemukakan kesamaan tersebut diatas, tidak dengan bermaksud untuk
mengatakan bahwa Agama Buddha itu layak mengajar sesuatu kepada ilmu
pengetahuan modern, tetapi bahwa revolusi ilmu pengetahuan itu tidak
mempengaruhi dan tidak menyimpangkan pandangan Agama Buddha, seperti
yang terjadi terhadap tradisi-tradisi keagamaan dari Agama-Agama lain.
Sekarang,
marilah kita bicarakan kembali mengenai isi ajaran Agama Buddha,
sebagai theori tentang sifat dan tujuan dari manusia. Pertama-tama,
perlulah diterangkan bahwa Agama Buddha itu memegang teguh pandangannya
bahwa suatu penyelidikan yang jujur dan tidak memihak, terhadap
Kebenaran atau Kasunyataan, itu merupakan pandangan yang benar dan baik,
walaupun terhadap masalah-masalah religi dan moral, itu tidak
menghalangi usaha untuk mencapai kemajuan spiritual, yang dilakukan oleh
seseorang. Lebih dari satu kali, dalam beberapa kesempatan,
Sang Buddha telah memberikan nasehat kepada para Pencari Kasunyataan,
yang jujur, didalam kata-kata beliau sebagai berikut ini : "Apabila anda menghadapi suatu situasi yang meragukan, hendaklah anda menangguhkan keputusan anda.
Janganlah anda menerima sesuatu pendapat, hanya : karena
pendapat tersebut didesas-desuskan sedemikian rupa, karena pendapat
tersebut merupakan kepercayaan yang tradisional sifatnya, karena
sebagian besar dari orang-orang menyetujui pendapat itu, karena pendapat
tersebut terdapat didalam Kitab-Kitab Suci, karena pendapat tersebut
merupakan hasil dari argumentasi dan spekulasi yang bersifat metaphysis,
karena pendapat tersebut merupakan fakta yang berasal dari penyelidikan
yang dangkal, karena pendapat tersebut, bersesuaian dengan
kecenderungan-kecenderungan seseorang, karena pendapat tersebut
merupakan pendapat dari tokoh yang authoritative atau merupakan pendapat
dari guru anda yang memilliki nilai yang prestise-nya tinggi.".
Penyelidikan yang kritis dan verifikasi pribadi adalah pembimbing ke
religi dan moralitas yang benar.
"Apabila seseorang berbicara menjelekkan saya, ajaran saya, dan himpunan pendeta yang saya bentuk," demikian
kata Sang Buddha, "janganlah lalu anda memiliki niat buruk terhadap
dia, itu membuat hati anda menjadi goncang, atau kecewa, karena
tanggapan anda itu hanya akan menyebabkan hati anda terluka."
Sebaliknya, apabila seseorang berbicara menyebut-nyebut kebaikan saya,
ajaran saya, dan himpunan pendeta yang saya bentuk, janganlah lalu hati
anda menjadi terlalu gembira, hati anda menjadi bergejolak dan berbangga
diri, karena apabila demikian tanggapan anda, maka itu hanya akan
menghalangi pembentukan keputusan pendapat anda secara benar, tanpa
perlu menghiraukan apakah sifat-sifat baik didalam diri kita yang
terpuji itu benar-benar ada didalam diri kita." Suatu
pandangan yang ilmiah itu kita pandang perlu kita miliki, tidak hanya
karena itu penting untuk menemukan kehidupan yang religious dan yang
bermoral sejati saja, tetapi bahkan penting untuk pengkajian-diri,
secara berlanjut, yang didalam kehidupan hal yang demikian itu memang
kita perlukan.
Selanjutnya, menurut pandangan
Agama Buddha, lapangan phenomena religi dan moral, itu bukan lapangan
mysteri, tetapi memegang teguh pandangan bahwa hukum sebab dan akibat
itu sebagai yang mewarnai gejala agama dan moral. Prinsip determinasi
sebab akibat, yaitu yang rumusannya berbunyi : "Jika A adalah
menjadi unsur penyebab timbulnya B, maka kapan saja terjadi A, maka
peristiwa B akan muncul, dan B itu tidak akan muncul, kecuali jika A
terjadi", pendapat yang demikian itu dipegang teguh oleh Sang Buddha. sebagai suatu pedoman. Selanjutnya Sang Buddha menerangkan bahwa : "Saya hanya berbicara tentang sebab dan hal-hal yang timbul dari unsur sebab itu." Jadi,
semua phenomena, semua gejala, yang tercakup didalamnya pengalaman
moral dan spiritual (dengan kekecualian Nirvana, yang merupakan
phenomena yang tidak terkena persyaratan), diterangkan sebagai
dipersyarati oleh hukum sebab dan akibat. Hukum-hukum yang
demikian itu digolongkan menurut lapangan operasi, sebagai hukum-hukum
physik, atau hukum-hukum jasmaniah (= utuniyama) hukum-hukum biologis (=
vejaniyama), hukum-hukum psychologis, atau hukum-hukum kejiwaan (=
cittaniyama), dan hukum-hukum spiritual dan moral (= dhamma-niyama).Sekarang marilah kita bicarakan tentang tiga hukum yang mengatur kehidupan dan tujuan hidup individu.
Hukum-hukum itu adalah :
hukum
kontinuitas, yang membuat lestarinya individualitas (= bhava), hukum
retribusi, atau penjatuhan hukuman dan pemberian hadiah (= karma),
dimana perbuatan-perbuatan yang baik dipandang dari sudut moral,
menghasilkan akibat yang menyenangkan, sedang perbuatan-perbuatan yang
jahat dipandang dari sudut moral, menghasilkan akibat yang tidak
menyenangkan, bagi individu, dan akhirnya, ada: hukum
timbulnya sesuatu berdasarkan persebaban tertentu (= causal genesis,
atau dinamai "persebaban yang saling bergantungan") (=
paticcasamuppada), yang dimaksudkan untuk menerangkan kedua hukum yang
dua tersebut dimuka.Hukum kontinuitas, yang
secara populer dikenal sebagai kelahiran kembali (= tumimbal lahir =
reinkarnasi) itu meyakinkan adanya daya tahan, atau kelestarian, dari
bagian tidak-sadar, yang bersifat dinamis, pada (jiwa) individu,
terhadap adanya kematian badan jasmani. Apabila bagian
tidak-sadar (dari jiwa), atau individu, itu tidak bersesuaian keadaannya
dengan alam-alam yang tinggi, yang disebabkan karena keadaan dari
perkembangan spiritual dan moral, dari individu, dapatlah dikatakan
secara umum bahwa terdapat daya tahan atau kelestarian didalam kehidupan
di alam-roh (= petti-visaya = spirit-sphere), sebagai roh yang tidak
berbadan (= discarnate spirit), dan yang kemudian dapat mengalami
kelahiran lagi di dunia, sebagai manusia.
Kritik-kritik
terhadap Agama Buddha sering mengemukakan pendapatnya bahwa theori
kelahiran kembali, dari Agama Buddha ini, bersifat dogmatic, atau
diterima begitu saja oleh umatnya, tetapi suatu studi yang dilakukan
secara teliti terhadap teks-teks Agama Buddha menunjukkan bahwa dalam
kenyataannya tidak demikian halnya. Agama Buddha muncul sewaktu timbul spekulasi, atau pemikiran, atau perenungan, yang mendalam, tentang problema "survival", atau "ketulusan-hidup".Terdapat juga ketika itu beberapa mahzab filsafat materialisme, yang semuanya menyangkal kebenaran pandangan terhadap "survival" atau "ketulusan-hidup", dan juga terdapat golongan filsafat sceptics, yang hanya meragukan kemungkinan adanya "survival", atau "ketulusan-hidup" itu. Bahkan
eksperimen sebagai misalnya kegiatan menimbang badan orang menjelang
dan sesudah orang meninggal dunia, agar dapat menemukan sesuatu bukti
mengenai masalah survival, atau ketulusan-hidup.Salah
satu dari theori-theori materialis, menyebutkan dan yang tidak
dipercaya oleh Sang Buddha, ialah bahwa kesadaran dari jiwa, atau dari
individu, itu merupakan hasil-samping, - by-product -, dari
elemen-elemen, yang dicampur didalam proporsi tertentu untuk membentuk
badan organis, yang sama keadaannya seperti keadaan didalam mana warna
merah itu dihasilkan dengan pencampuran secara tertentu, dan dalam
perbandingan yang sesuai, dari pinang, sirih, dan kapur" (yang tidak
satu pun dari ketiganya yang berwarna merah).
Beberapa
dari theori-theori yang materialistic, yang sifatnya demikian itu,
maupun yang sama dengan sejumlah theori-theori yang mengatakan bahwa
orang itu hanya hidup sekali saja, dan lalu orang meninggal dunia (tidak
secara berkali-kali, seperti Kasunyataan yang ditunjukkan oleh Agama
Buddha), ada yang berpegang teguh pada pendapatnya bahwa roh itu tetap
sadar setelah orangnya meninggal dunia, yang lainnya berpendapat bahwa
orang itu setelah meninggal dunia roh-nya tidak sadar (tetapi tetap
ada), namun ada lagi yang berpendapat bahwa setelah orang meninggal
dunia, orangnya lalu memiliki kesadaran super,
semua theori
itu telah dikaji oleh Sang Buddha, dan Sang Buddha telah mengemukakan
pendapat beliau (berdasarkan Kasunyataan yang telah beliau peroleh). Theori
kelahiran kembali itu telah dikemukakan sebagai suatu yang benar-benar
berkeadaan demikian, yang kebenarannya dapat diverifikasi, dengan jalan
memperkembangkan kemampuan melihat kembali kelahiran-kelahiran kita
didalam kehidupan-kehidupan sebelum kelahiran yang sekarang ini, potensi
untuk dapat melihat hal yang demikian itu, dikatakan berada didalam
diri tiap orang, dan ada didalam jangkauan semua orang untuk
memilikinya.
Oleh karena itu, kasunyataan
tentang kelahiran kembali (= reinkarnasi = tumimbal lahir) itu bukan
suatu dogma untuk dipercayai begitu saja dengan kepercayaan, tetapi
merupakan suatu hypothesa yang dapat diverifikasi secara ilmiah
kebenarannya. Adapun tentang bukti-bukti mengenai kasunyataan reinkarnasi, sekarang ini, secara kasar terdapat dua jenis keterangan. Terdapat
bukti secara spontan, yang dialami oleh banyak orang, baik yang tinggal
di Dunia Timur, maupun yang tinggal di Dunia Barat, yang menyatakan
bahwa mereka itu memiliki ingatan-ingatan (yang jelas) akan kehidupannya
di masa-masa kehidupan sebelum yang sekarang ini, yang beberapa
kasusnya, mengenai ingatannya kembali dengan jelas akan kehidupannya di
masa-masa sebelum yang sekarang ini, telah dikonfirmasikan (telah
diperkuat) oleh penyelidikan-penyelidikan lebih lanjut (yaitu misalnya
"Les Vies Successives", penerbitan : Bibliotheque Charcomac, Paris, Ralph Shirley, didalam bukunya yang berjudul : "The Problem of Rebirth", penerbitan : Rider & Co, London, Professor Theodore Flourncy, didalam bukunya yang berjudul : "Des Inde a la planet March",
Professor Charles E. Cory, didalam bukunya yang berjudul : "A divided Self", yang dimuat didalam majalah Journal of Abnormal Psychology, Vol. XIV, 1919).
Hukum
retribusi moral (= Hukum sebab-akibat di bidang moral), atau hukum
karma, seperti yang diajarkan oleh Agama Buddha, juga dikiritik atas
dasar bahwa itu banyak terwarnai sifat fatalisme. Kritik yang demikian itu, karena orang yang mengkirik tidak memahami ajaran Sang Buddha. Hukum
sebab-akibat didalam Agama Buddha diperbedakan secara teliti oleh Sang
Buddha, dalam satu hal dari Determinisme yang kaku, dan pada hal yang
lainnya lagi dari Indeterminisme.
Sang Buddha
mengemukakan argumentasi beliau bahwa apabila segala sesuatu itu terkena
determinasi, maka lalu akan tidak ada kebebasan-kehendak (= free-will)
dan tidak ada lagi kehidupan moral dan spiritual, dan lalu kita ini akan
menjadi hanya sebagai budak-budak dari masa lalu saja, didalam hal yang
lain, apabila segala sesuatu itu terkena Indeterminisme
(adhicca-samuppanna) atau terjadi secara kebetulan saja, maka kehidupan
moral dan spiritual akan tidak mungkin ada, karena latihan pemeliharaan
dan peningkatan nilai-nilai akan tidak menghasilkan pertumbuhan moral
dan spiritual. Menurut Sang Buddha, karena
dunia ini telah dikonstitusikan secara demikian rupa, maka segala
sesuatu itu tidak terkena determinisme yang kaku, atau tidak sama sekali
memiliki indeterminisme sehingga kehidupan religious itu mungkin dan
kita inginkan. Agar supaya dapat menerangkan
secara baik dan jelas, mengenai kasunyataan tentang reinkarnasi dan
hukum karma, beberapa ahli pemikir dari aliran Agama Hindu yang dinamai
faham Upanisad telah menerima doktrin-doktrin tersebut, dengan
mengemukakan konsep tentang atman, atau roh, yang sifatnya kekal abadi,
yang tidak mengalami sesuatu perubahan (= changeless soul).
Individu
itu secara berlanjut tetap ada, dan tetap berkeadaan sama, karena dia
memilki roh yang bersifat tetap (permanent soul), yang menjadi agent
dari semua aksi, sekaligus juga menjadi pribadi yang mengalami atau
menerima buah-buah dari perbuatannya. Sang Buddha dengan
cepat menanggapi konsep tersebut, dengan mengatakan bahwa beliau telah
melihat bahwa entitas-entitas yang bersifat metaphysis (metaphysical
entities) yang demikian itu, tidak menerangkan sesuatu, dan bahwa itu
tidak ada artinya dalam mengemukakan atau menyangkal terhadap entitas (=
entity) yang tidak dapat diverifikasi.
Oleh
karena itu, Sang Buddha menolak konsep roh, sementara itu beliau tetap
mempertahankan doktrin mengenai kontinuitas dari individu, yang dapat
kita amati, dan menerangkan kedua hukum tersebut diatas, yaitu tentang
hukum kontinuitas dan retribusi moral (hukum sebab-dan-akibat) atas
dasar bahwa semua faktor phenomena yang dapat diverifikasi, itu
menentukan genesisnya yang kontinu, dan pertumbuhan dari individu. Hal ini sangat rumit, jika kita berikan uraiannya hingga sekecil-kecilnya didalam artikel ini.
Singkatnya
bahwa itu memberi deskripsi, atau menguraikan tentang bagaimana
individu itu dikondisikan oleh masa lampau psychologis-nya
(kehidupan-kehidupan di masa lampau-lah, yaitu kehidupan-kehidupan
sebelum yang sekarang ini, yang merupakan, atau menjadi sejumlah faktor,
yang mewarnai corak umum, dari perwatakannya) dan bahwa konstitusi
genetical dari tubuh seseorang, itu berasal dari kedua orang-tuanya.
Individu
itu tetap beraksi secara kontinu dan bereaksi terus terhadap
lingkungan-sekitarnya, mengumpul-ngumpulkan pengalaman kehidupan didalam
kesadaran yang selalu maju, atau mengalami evolusi (=
samvattanika-vinnana), yang berlanjut terus setelah kematian badan
jasmani, apabila ketiga jenis keinginan yang terdapat didalam individu
itu masih berkeadaan aktif. Pengetahuan yang
sifatnya pribadi dan langsung mengenai ketiga hukum tersebut diatas itu
membentuk tiga-pengetahuan (= tisso vijja), yang oleh Sang Buddha dan
siswa-siswa beliau, dinyatakan bahwa telah memilikinya.
Kesadaran
terhadap fakta tersebut, serta ditemuinya jalan didalam mana orang
dapat tidak lagi berkeadaan dikondisikan, itu dikatakan merupakan hasil
telah bebasnya seseorang dari terkena kondisi, secara terus menerus,
-suatu keadaan yang bersesuaian dengan pencapaian keadaan tidak lagi
berkeadaan dikondisikan, serta memperoleh kemudahan didalam mencapai
Nirvana. Ini merupakan penyelamatan yang
diperoleh orang didalam menganut dan mempraktekkan ajaran-ajaran Agama
Buddha, yang secara aksaranya, terbebasnya orang dari ikatan kehidupan
yang berkeadaan terbatas dan terkena kondisi-kondisi. Secara tepat, dapatlah diterangkan bahwa Nirvana itu di luar deskripsi, atau konsepsi, alasan
dikatakan demikian, karena Nirvana, adalah keadaan yang sedemikian
berbeda, secara radikal, dengan type benda-benda yang ada, yang dapat
kita bayangkan atau konsepsikan, sehingga deskripsi yang penuh arti atau
defisininya, tidak mungkin dapat kita berikan dalam bentuk
istilah-istilah yang bersifat konsepsional. Dikatakan bahwa,
untuk mengatakan sesuatu, atau seseorang, itu berada di Nirvana, adalah
salah, karena eksistensi adalah suatu konsep yang kita applikasikan
kepada benda-benda phenomenal dan mempunyai referensi kepada ruang dan
waktu. Nirvana itu bersifat "tidak terkena hitungan waktu" (=
timeless), didalam arti bahwa itu tidak dapat kita perkatakan, sebagai
sesuatu yang ada di masa yang lampau, ada di masa sekarang, dan ada di
masa yang akan datang", Nirvana itu tidak bertempat didalam
ruang dan waktu, dan tidak terkondisikan oleh persebaban, tidak sama
dengan semua benda yang bersifat phenomenal; tetapi pernyataan bahwa
Nirvana itu "tidak ada" (does not exist) adalah pernyataan yang juga salah, karena jika kita katakan bahwa Nirvana itu "tidak ada", itu berarti lenyap atau berkeadaan hancur.
Sekalipun
demikian, deskripsi tentang Nirvana itu memiliki sifat berkeadaan
positif dan sekaligus juga memiliki sifat negatif, walaupun ungkapan
yang demikian ini, bukan merupakan suatu definisi yang eksak, sebab "Nirvana" itu berkeadaan "berada diluar scope atau lingkup logika". Secara negatif, dapatlah diterangkan bahwa Nirvana, itu adalah keadaan tidak adanya ketidak-bahagiaan. Semua eksistensi phenomenal, itu dikatakan sebagai terkena ketidak-bahagiaan, kita
katakan tidak bahagia, baik penyebabnya adalah karena menghayati rasa
sakit jasmaniah atau kejiwaan, dan merasa was-was atas hari-hari yang
akan kita jalani, maupun yang penyebabnya pengalaman yang menyenangkan,
tetapi tidak dapat kita alami secara mantap, atau tidak bersifat abadi.
Pandangan
yang demikian itu, merupakan pandangan kehidupan yang sifatnya
realistic, bahkan walaupun kita sedang menghadapi fakta secara sangat
dekat, sebagai yang dikatakan oleh Sang Buddha sebagai berikut : "Manusia
itu secara keseluruhan, lebih banyak mengalami penghayatan kebahagiaan,
dari pada mengalami penghayatan hal-hal yang tidak menyenangkan", dan
oleh karena itu adalah tidak benar kalau dikatakan bahwa Agama Buddha
itu bersifat pessimistic, karena Agama Buddha itu tidak berfikir dengan
terwarnai oleh keinginan-keinginan (= wishful thinking). Secara positif, dapat diterangkan bahwa Nirvana itu adalah merupakan suatu keadaan "Kebahagiaan Yang Tertinggal" (= Supreme felicity) = (Paramam sukham).
Jalan
untuk memperoleh keselamatan (didalam Agama Buddha) diutarakan sebagai
ajaran Jalan Yang Ber-Ruas Delapan, didalam mana langkah pertamanya,
adalah ajaran mengenai Pandangan atau Pemahaman Yang Benar, dan hidup
sesuai dengan filsafat kehidupan yang benar, dan sebagai hasilnya lalu
dapat memiliki Cita-Cita atau Aspirasi Yang Benar, Berbicara Yang Benar,
Bertingkah-laku Yang Benar, Bermata-pencaharian Yang Benar,
Berperhatian Yang Benar, yang titik kulminasinya pada pertumbuhan yang
bersifat religious, dan kesadaran spiritual yang intuitif, yang
diperoleh karena telah dapat menjalankan Meditasi atau Kontemplasi yang
Benar. Hasil yang sepenuhnya dari kontemplasi, itu dapat
dituai hanya dengan jalan meninggalkan kehidupan sosial yang aktif,
untuk masuk ke kehidupan yang banyak diisi dengan kegiatan-kegiatan
kontemplatif. Cara kehidupan meditative ini dicirikan dengan dicapainya
tingkatan-tingkatan kesadaran mystic yang bersifat pribadi (= personal
mystical consciousness) (= rupa-jhana) dan kesadaran mystic yang
bersifat tidak pribadi, atau impersonal (= arupa-jhana), yang bertitik
kulminasi didalam pencapaian Nirvana. Dengan telah berkembang
atau bertumbuhnya jiwa (= mind) dan semangat kerohanian (= spirit)-nya,
dikatakan bahwa lalu muncullah didalam individu, suatu kemampuan
tertentu, yang tadinya bersifat latent, didalam diri orang tersebut,
sebagai misalnya telepathy dan kewaskitaan penglihatan (= clairvoyance)
dan kemampuan dapat melihat kehidupan-kehidupannya di masa yang lampau,
sebelum kehidupan yang sekarang. Kemampuan-kemampuan cognitive ini,
seperti telah diterangkan dibagian muka, memungkinkan individu untuk
dapat merealisir keadaan yang terkondisikan, lalu diubah menjadi
berkeadaan Tidak Terkondisikan. Berbicara mengenai
persyaratan untuk dapat melangkah masuk ke Jalan Suci yang menuju ke
Kesadaran Nirvana, dapatlah diterangkan bahwa itu terdiri dari keharuan
telah dicapainya dalam taraf titik yang tertinggi perkembangan moral (=
sila), perkembangan spiritual dan intuitional (= samadhi), serta
perkembangan cognitive, atau intellectual-nya (= panna).
Pada suatu ketika Sang Buddha ditanya, yaitu "Apakah
beliau berpengharapan dapat menyelamatkan sepertiga, dari penduduk
dunia, separo-nya, ataukah seluruhnya, denganjalan menawarkan Jalan
yang dapat menyelamatkan mereka itu!?!", yang atas pertanyaan
tersebut, Sang Buddha menjawab bahwa beliau tidak menyatakan dapat
menyelamatkan sepertiga penduduk dunia, tetapi hanya berpengharapan agar
beliau dapat menjadi seorang penjaga pintu yang baik, yang pintu
tersebut merupakan hanya satu-satunya pintu menuju ke istana, yang dapat
memberitahukan bahwa semua orang yang ingin dapat sampai di kehidupan
Surga, haruslah melalui pintu yang beliau juga itu, bahkan beliau juga
mengetahui bahwa semua orang yang dimasa-masa yang lampau telah
diselamatkan, yang sekarang sedang diselamatkan, dan yang pada masa-masa
mendatang akan diselamatkan, semuanya masuk ke pencapaian
keselamatannya, melalui pintu yang beliau jaga itu.
Demikian
itulah ajaran Agama Buddha, pada masa-masa awal dari perkembangannya,
yang ditawarkan sebagai suatu hypothesa ilmiah, yang sifatnya
self-consistent, yang menyentuh masalah-masalah religi dan moralitas,
yang setiap orang dapat memverifikasikannya. Tidak
berdasarkan atas wahyu, fakta-fakta yang telah diverifikasikan oleh
Sang Buddha dan ratusan siswa-siswa beliau, dan yang dapat diverifikasi
oleh setiap Pencari Kasunyataan yang tekun, telah dikemukakan oleh Sang
Buddha sebagai kriteria dari Kasunyataan-Kasunyataan. Test yang bersifat pragmatic dan empirical dari ilmu pengetahuan, itu bagi Sang Buddha, adalah test dari Agama yang benar. Kepercayaan
yang diminta oleh Sang Buddha adalah kepercayaan yang membutuhkan
pengetahuan dengan suatu filsafat kehidupan yang tertentu, dengan jalan
dirinya wajib menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran Agama Buddha,
didalam setiap saat dalam kehidupannya.
Dan
ajaran-ajaran Agama Buddha itu layak untuk direalisir, dengan jalan
mencoba melaksanakan ajaran-ajaran Sang Buddha, sambil meneliti sampai
sejauh mana praktek dan hasil-hasil praktek yang telah dia jalankan. Sama
seperti para ilmuwan telah bekerja di bidang lain-lainnya, para Buddha
atau Orang-Orang Suci yang telah mencapai Kesempurnaan dalam kehidupan
mereka, mereka telah menemukan Kasunyataan-Kasunyataan, yang sepanjang
waktu dapat dicari pada Kitab-Kitab Suci Agama Buddha.
Para Buddha telah mengkotbahkan Kasunyataan-Kasunyataan itu bagi kebaikan dunia. Setiap
orang dari kita ini, harus mencari dan berusaha untuk menyelamatkan
diri kita masing-masing; tidak ada orang lain yang dapat menyelamatkan
diri kita, dan Orang-Orang Suci itu hanya menunjukkan Jalannya saja.Nampaklah
dengan jelas, kiranya, bahwa Agama yang sifatnya demikian itu.
bersesuaian sifat-sifatnya dengan penemuan-penemuan ilmu pengetahuan. Dalam
hal yang demikian itu, Agama Buddha mempunyai segi-segi yang tidak
berbeda dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para ilmuwan
didalam mereka mencari kenyataan-kenyataan, sejauh para ilmuwan itu
membatasi diri mereka pada methodologi dan lapangan-lapangan
masing-masing, tanpa dengan mempergunakan suatu dogma materialisme.
Berbicara
tentang tujuan, pandangan Agama Buddha mengenai alam yang sifat atau
keadaannya telah dikemukakan pada berbagai Kitab Suci Agama Buddha,
nampaknya manusia tidak mampu memahami tujuannya, walaupun
demikian, individu-individu itu dapat saja memilih tujuan kehidupan, dan
membuat agar kehidupannya bermakna sepenuhnya, adapun tujuan yang ditawarkan oleh Agama Buddha, adalah Pencapaian Nirvana. Mungkin
Sang Buddha berargumentasi bahwa apabila alam itu memiliki tujuan untuk
dicapai didalam Zaman Akhir dari Kehidupan Manusia, maka tidaklah
salah, kalau orang mempercayai adanya penyelamatan bagi semua manusia,
namun orang dapat saja lalu berpendapat bahwa kehidupan yang abadi itu
tidak ada (dan kehidupan yang abadi ini menjadi tujuan yang dirindukan
manusia untuk mencapainya!), tetapi menurut Sang Buddha,
tidak ada keharusan untuk mempercayai pendapat yang demikian, sekalipun
sebenarnya pencapaian kemajuan didalam kehidupan itu merupakan hal yang
tidak dapat dielakkan, tidak ada seorang pun yang ditakdirkan wajib mencapai Kesadaran Nirvana, kecuali jika dia ingin mencapainya.
Berbicara
mengenai nilai-nilai moral, Agama Buddha memegang teguh nilai-nilai
moral itu, karena menurut Hukum Karma, seorang peminum minuman keras,
misalnya, jika dia tidak menyesali tabiatnya yang buruk itu dan bertobat
(yaitu mengubah tingkah-lakunya atau cara kehidupannya yang demikian
itu) dia cenderung terlahirkan lagi sebagai orang yang terlalu bodoh
amat sangat (tingkat kejiwaan yang didalam ilmu jiwa dinamai "moron"),
apa pun perdapat atau keinginan si peminum minuman keras tersebut, atau
para anggota masyarakat dimana dia menjadi anggotanya.
0 komentar:
Posting Komentar