OLEH
- TILAKKHANA
Tilakkhana
(Ti berarti tiga, dan lakkhana berarti corak atau karakter) adalah
karakteristik yang melekat pada setiap ke-beradaan. “Karakteristik”
menurut Dr.P.D. Santina dalam bukunya Fundamentals of Buddhism, adalah
sesuatu yang pasti (tidak terhindarkan) dihubungkan dengan sesuatu
lainnya. Karena karakteristik pati berhubungan dengan sesuatu, maka
karakteristik dapat memberitahu kepada sifat dari sesuatu. Contohnya:
panas adalah karakter dari api. Panas bukan krakter dari air. Panas
selalu dan tak dapat dihindarkan berhubungan dengan api. Demikian juga
dengan Tilakkhana yang merupakan karakter dari setiap keberadaan
(eksistensi), mencerminkan sifat yang selalu dapat diketemukan dari
setiap keberadaan.
Tilakkhana terdiri dari tiga sifat/corak, yaitu:
1. Sabbe sankhara anicca: semua yang bergantungan (berkondisi) adalah tidak kekal.
2. Sabbe sankhara dukkha: semua yang saling bergantungan (berkondisi) adalah tidak tidak memuaskan (dukkha)
3. Sabbhe
dhamma anatta: semua yang saling bergantungan (berkondisi) maupun yang
tidak salitungan (tidak berkondisi) adalah tanpa inti/diri yang kekal.
1. Anicca
Penjelasan mengenai Anicca secara jelas dinyatakan dalam sutta berikut ini:
Tidak
kekal sesungguhnya segala sesuatu yang terbentuk, mereka mengalami
kemunculan dan kehancuran. Setelah menjadi sesuatu, mereka punah
kembali. Kebahagiaan muncul bila timbul keseimbangan (Anicca vata sankhara uppada vaya dhammino, uppajjittva nirujjhanti, tesam vupasamo sukho).
Menurut pernyataan ini, segala sesuatu tidak kekal bukan karena mereka hanya muncul sesaat, tetapi karena mereka berciri muncul (uppada) dan hancur (vaya). Definisi ini kadang-kadang diperluas menjadi tiga tahap: kemunculan (uppada), kehancuran (vaya), dan kemusnahan (thitassa annathatta). Segala sesuatu yang saling bergantungan adalah tidak kekal (sabbe sankhara anicca).
Jasmani tidak kekal, semua benda-benda pun juga tidak kekal. Termasuk
pikiran juga tidak kekal. Setiap saat berubah, kadang bahagia, di lain
saat sedih. Lahir atau muncul, berkembang/berlangsung, hancur, dan
mati/musnah; inilah ciri/karakter dari segala sesuatu. Jadi dalam setiap
aspek kehidupan, baik itu personal dan material, atau hubungan dengan
orang/hal lainnya, atau milik-milik, ketidak-kekalan adalah kenyataan,
yang dapat dibuktikan secara langsung. “Dunia berada dalam lingkaran
yang terus menerus dan tidak permanen,” demikian Buddha berkata.
Pengertian
terhadap ketidak-kekalan adalah penting, tidak hanya bagi pelaksanaan
Dhamma tetapi juga dalam hidup sehari-hari. Pengertian tentang
ketidak-kekalan merupakan obat penawar bagi keinginan-keinginan dan
kehendak buruk. Hal ini juga merupakan pendorong semangat dalam
pelaksanaan Dharma. Dan hal merupakan kunci untuk mengerti sifat paling
penting dari segala sesuatu, keadaan yang sebenarnya dari segala sesuatu
yang saling bergantungan. Memahami ketidak-kekalan juga merupakan kunci
untuk mengerti tentang “tanpa aku” (Annatta), karena mulai
melihat bahwa tidak ada keberadaan yang permanen; bahwa dalam diri dan
segala sesuatu di sekeliling, tidak ada sesuatu yang dapat disebut
sebagai “aku”.
2. Dukkha
Buddha
berkata bahwa segala sesuatu yang tidak permanen adalah dukkha, dan
segala sesuatu yang tidak permanen dan dukkha dalah juga tanpa aku (anatta).
Apapun yang tidak permanen adalah dukkha karena ketidak-kekalan adalah
salah satu pencetus dukkha. Ketidak-kekalan adalah pencetus dukkha,
bukan penyebab dukkha, karena ketidak-kekalan hanya menimbulkan dukkha
sepanjang ketidak tahuan (avijja), nafsu keinginan (tanha), dan kemelekatan (raga)
hadir. Ketidaktahuan mengenai sifat-sifat dari segala sesuatu, serakah
dan melekat pada obyek-obyek dengan harapan yang sia-sia bahwa mereka
akan kekal (permanen), sehingga mereka dapat memberikan
kebahagiaan yang permanen pula. Jadi obyek-obyek yang menyenangkan yang
diingini dan melekat padanya itu suatu saat akan berakhir dan musnah,
mereka tidak kekal. Ketidak-kekalan merupakan pencetus dari dukkha
karena segala sesuatu yang tidak permanen adalah dukkha.
Pengertian dukkha secara luas mencakup tiga hal:
1. Dukkha
sebagai penderitaan sebagaimana yang dirasakan. Misalnya :lahir, sakit,
tua dan mati, keinginan yang tak terpenuhi, kehilangan orang atau benda
yang dicintai, dan lain-lain (dukkha-dukkha).
2. Dukkha yang timbul akibat perubahan (ketidak kekalan) (viparinama-dukkha).
3. Dukkha sebagai keadaan yang berkondisi (sankhara dukkha)
Semua
bentuk penderitaan dalam hidup ini seperti kelahiran, usia tua,s akit,
mati, dan bertemu dengan orang yang dibenci, kehilangan orang atau benda
yang dicintai, tidak mendapatkan apa yang diinginkan, stress, dan
lain-lain, yang semuanya membentuk penderitaan fisik dan mental,
termasuk dalam dukkha-dukkha. Pengertian dukkha-dukkha ini adalah
pengertian dukkha pada kebenaran mulia yang pertama, bahwa hidup ini
adalah penderitaan, baik penderitaan fisik maupun mental. Dan ini
mencakup kehidupan di tiga puluh satu alam.
Viparinama-dukkha
dan sankhara-dukkha merupakan pengertian dukkha dalam Tilakkhana, sebab
dukkha di sini bukan hanya berarti penderitaan, tetapi juga berarti
tidak memuaskan, tidak sempurna, tidak kekal, tanpa inti. Dukkha di sini
tidak hanya meliputi tiga puluh satu alam kehidupan, tetapi merupakan
sifat/karakter dari seluruh keberadaan secara universal (yad aniccam tam
dukkham, segala sesuatu yang tidak kekal adalah dukkha). Jadi tidak
tepat jika pengertian dukkha di sini adalah “penderitaan”.
Pengertaian
dukkha-dukkha dalam Tilakkhana yang berhubungan dengan makhluk-makhluk
adalah, seperti yang sudah disebutkan di atas, dukkha yang timbul
disebabkan karena ketidaktahuan, keinginan-keinginan, dan kemelekatan
obyek-obyek yang tidak kekal. Darimana timbulnya ketidak-tahuan,
keinginan, dan kemelekatan itu? Tak lain adalah hasil kontak dari
indera, perasaan, persepsi, bentuk-bentuk mental, dan kesadaran (Pancakhanda) dengan obyek-obyek eksternal. Buddha pernah bersabda: “Apakah dukkha itu, O, para Bhikkhu? Lima agregat kemelekatan (pancakhanda)
inilah dukkha.” Jadi perlu dipahami bahwa pancakhanda dan dukkha
bukanlah dua hal yang berbeda. Pancakhanda itu sendiri adalah dukkha.
Pancakhanda terdiri dari Agregat materi (rupakhanda), mencakup empat element besar (cattari mahabhutani)
yaitu zat padat, cair, panas, dan gerak dan derivatif (turunannya),
termasuk enam indera dan obyek-obyek yang berhubungan dengan keenam
indera ini; agregat perasaan (vedanakhanda) yang mencakup semua sensasi/perasaan yang timbul dari kontak antara enam idera dengan dunia luar; agregat persepsi (sannakhanda) yang mengenali obyek-obyek apakah bersifat fisik atau mental; agregat bentuk-bentuk mental (sankharakhanda)
yang mencakup semua aktifitas kehendak yang baik dan yang buruk. Apa
yang secara umum dikenal sebagai kamma berasal dari kelompok ini; dan
agregat kesadaran (vinnanakhanda) yang merupakan reaksi atau
respon dengan salah satu dari enam indera sebagai basisnya dan salah
satu dari fenomena eksternal yang berhubungan dengan indera tersebut
sebagai obyeknya.
Apa
yang disebut sebagai “Makhluk” atau suatu “individu” atau “aku”
hanyalah sekedar nama yang diberikan pada kombinasi dari pancakhanda
ini. Semuanya tidak permanen dan terus menerus berubah. Mereka tidak
mungkin sama pada dua waktu yang berbeda. Inilah maksud sebenarnya dari
Buddha: “Lima kelompok kemelekatan itulah dukkha”, karena mereka
senantiasa berubah dalam aliran waktu. Mereka berubah jika kondisi
hubungan/kontak antara faktor-faktor internal (enam indera) dengan
faktor-faktor eksternal (obyek) juga berubah. Jelaslah tidak mungkin
pancakhanda ini konstan untuk dua saat yang berbeda.
3. Anatta
Konsep
anatta (tanpa diri yang kekal) ini sering membingungkan banyak orang.
Jika tidak ada “aku”, lalu mengapa selalu berkata “aku berbicara”, “Aku
mendengarkan”, “Ini milikku”, dan lain-lain. Dan jika tidak ada aku,
lalu siapa yang mengungkapkan, merasakan, dan mengalami akibat-akibat
perbuatan baik dan buruk?
Sebelum
membahas lebih lanjut, sebaiknya perhatikan kata-kata Buddha (dalam
Dhammapada ayat 277, 278, dan 279): “Sabbe sankhara anicca, sabbe
sankhara dukkha, sabbe dhamma anatta”. Mengapa pada ayat ketiga ini
tidak memakai kata sankhara tetapi memakai Dhamma, di sinilah letak permasalahan yang terpenting.
Terminologi “Segala sesuatu yang berkondisi” (sankhara) menunjukkan lima agregat kemelekatan (pancaskandha),
semua yang berkondisi, saling bergantung, segala sesuatu dan keadaan
yang relatif, baik fisik maupun mental. Sedangkan terminologi Dhamma
mencakup segala sesuatu yang berkondisi maupun yang tidak berkondisi.
Jadi jika sankhara hanya menyangkut pada pengertian pancaskandha, maka
Dhamma mencakup pula segala sesuatu di luar pancaskandha. Nibbana pun
juga termasuk di dalamnya.
Banyak orang yang berat melepaskan konsep tentang adanya “diri”sering memakai kata-kata Buddha kepada Ananda (dalam Mahaparinibbana Sutta)
yang mengatakan: “Attadipa viharatha, attasarana anannasarana” (jadilah
pulau bagi dirimu sendiri; jadilah kamu pelindung bagi dirimu sendiri,
janganlah berlindung pada orang lain) sebagai pegangan. Tidak akan
mengerti maksud dari sabda Buddha ini jika tidak mengetahui latar
belakang dari kata-kata yang diucapkan beliau, Buddha mengucapkan
kata-kata ini untuk menghibur Ananda yang sedang sedih karena ia
berpikir bahwa ia akan menjadi kesepian dan kehilangan perlindungan jika
Buddha Parinibbana. Buddha, yang mengetahui kesedihan Ananda, berkata
dengan penuh welas asih: “Ananda, apalagi yang diharapkan Sangha dariKu.
Aku telah mengajarkan Dharma (kebenaran) tanpa membuat perbedaan ajaran
yang eksoterik dan esoterik. Mengenai kebenaran, Tathagata tidak
menyembunyikan sesuatu seperti halnya guru yang pelit. Tentu saja,
Ananda, jika ada orang yang berpikir bahwa dia akan memimpin sangha, dan
bahwa sangha akan bergantung padanya, maka biarkan dia membuat
instruksi-instruksi. Tetapi Tathagata tidak mempunyai pemikiran seperti
itu. Mengapa ia harus meninggalkan peraturan-peraturan untuk sangha?
Saya sudah tua Ananda, delapan puluh tahun. Seperti kereta yang sudah
haus karena dipakai terus menerus dan harus senantiasa diperbaiki,
demikian pula kau, tubuh Tathagata hanya dapat dipertahankan dengan
terus menerus diperbaiki. Karena itu, Ananda, jadilah pulau bagi dirimu,
buatlah dirimu, bukan orang lain, sebagai pelindungmu; buatlah Dhamma
sebagai pulau bagimu, Dhamma sebagai pelindungmu, jangan berlindung pada
yang lainnya.”
Apa
yang disampaikan Buddha kepada Ananda sudah jelas. Buddha memberikan
kepada Ananda penghiburan, semangat, dan kepercayaan diri, dengan
berkata bahwa seseorang harus bergantung pada dirinya sendiri, dan pada
Dhamma yang diajarkanNya, dan bukannya pada orang lain atau sesuatu yang
lain. Di sini pertanyaan dari atta yang bersifat metafisik, atau
“diri”, sama sekali tidak tersinggung.
Selanjutnya
Buddha menjelaskan kepada Ananda, bagaimana seseorang dapat menjadi
pulau atau pelindung bagi dirinya sendiri, bagaimana seseorang dapat
membuat Dhamma sebagai pulau atau pelindungnya; yaitu melalui
pengembangan kesadaran (mindfulness) atau kewaspadaan (aware-ness) terhadap tubuh, perasaan, pikiran (mind) dan obyek-obyek pikiran (empat satipatthana). Tidak ada pembicaraan mengenai Atta atau diri.
Bagaimanakah
dapat meyakini bahwa tidak ada diri atau atta pada tubuh dan pikiran?
Buddha menerapkan analisis berikut terhadap tubuh dan pikiran untuk
menunjukkan bahwa diri tidak dapat ditemukan dimanapun juga, baik pada
tubuh maupun pada pikiran. Tubuh bukanlah diri. Karena jika tubuh adalah
diri, maka diri itu adalah tidak permanen, akan menjadi subyek dari
perubahan, pelapukan, kerusakan, dan kematian. Jadi tubuh bukanlah diri.
Diri tidak memiliki tubuh, dalam arti seperti saya memiliki televisi,
karena diri tidak mengontrol tubuh. Tubuh jatuh sakit, lelah, dan tua di
luar kehendak. Tubuh memiliki bentuk yang sering tidak sesuai dengan
keinginan. Jadi dengan cara apapun juga tidak dapat dikatakan bahwa diri
memiliki tubuh. Diri tidak berada di dalam tubuh. Jika meneliti seluruh
tubuh, mulai dari puncak kepala hingga ujung ibu jari kaki, tidak akan
bisa menemukan tempat diri itu berada. Diri tidak dapat ditemukan
dimanapun juga di dalam tubuh.
Demikian pula, pikiran (mind)
bukanlah diri, pikiran merupakan subyek dari perubahan yang terus
menerus. Pikiran berbahagia pada suatu saat dan tidak berbahagia pada
saat lainnya. Jadi pikiran tidak bisa merupakan diri karena pikiran
senantiasa berubah. Diri tidak memiliki pikiran karena pikiran menjadi
gembira atau sedih di luar keinginan. Walaupun tahu bahwa beberapa
pemikiran tertentu adalah bermanfaat dan pemikiran tertentu lainnya
tidak bermanfaat, pikiran mengejar pemikiran yang tidak bermanfaat dan
mengabaikan pemikiran yang bermanfaat. Jadi diri tidak memiliki pikiran
karena pikiran bertindak bebas/tidak tergantung pada diri. Diri tidak
berada dalam pikiran. Tak peduli bagaimana pun telitinya meneliti si
pikiran, tak peduli bagaimanapun telitinya meneliti pemikiran,
pemikiran, perasaan, ide-ide, tidak akan bisa menemukan diri.
Kesimpulannya tetap bahwa diri hanyalah nama yang diberikan bagi
sekumpulan faktor-faktor (pancakhanda).
Dunia
selalu berubah, satu hal hilang, menyediakan kondisi bagi munculnya hal
lainnya. Tidak ada inti yang tidak berubah. Tidak ada yang dapat
disebut diri (atta) yang permanen. Semua pasti setuju bahwa baik
materi, perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk mental maupun kesadaran
tidak ada yang dapat disebut sebagai diri. Tetapi jika kelima agregat
mental dan fisik ini, yang masing-masing saling berhubungan, bekerja
sama dalam kombinasi seperti mesin fisio-psikologis, memperoleh ide
tentang aku; tetapi ini adalah ide yang salah. Kelima agregat ini, yang
secara populer disebut sebagai makhluk atau aku, adalah dukkha (sankhara dukkha). Tidak ada makhluk atau aku lainnya yang berdiri di belakang kelima agregat ini yang mengalami dukkha.
Sekarang
timbul pertanyaan klasik: “Jika badan, perasaan, pencerapan,
bentuk-bentuk mental dan kesadaran adalah tanpa diri, terhadap diri yang
mana perbuatan yang dikerjakan oleh diri akan berpengaruh?” salah
seorang siswa Buddha, yaitu Sati, bersikukuh bahwa kesadaranlah yang
berpindah-pindah, dan kesadaranlah yang merasakan dan mengalami
akibat-akibat dari perbuatan baik dan buruk. Buddha menjelaskan bahwa
kesadaran dinamai sesuai dengan kondisi yang menyebabkan kesadaran itu
muncul. Dari mata dan bentuk-bentuk fisik yang terlihat muncullah
kesadaran visual, dari telinga dan suara-suara timbullah kesadaran
pendengaran, dari pikiran dan obyek-obyek pikiran (ide-ide dan
pemikiran-pemikiran) timbullah kesadaran mental dan seterusnya.
Jadi
kesadaran hanya muncul selama kondisi indera dan obyek-obyek yang
berhubungan dengan indera tersebut hadir. Kesadaran akan berhenti jika
kondisi tersebut tidak ada lagi atau berubah; tetapi kesadaran tidak
bisa berpindah dari kesadaran visual ke telingan menjadi kesadaran
pendengaran, dan sebagainya.
Jadi
jelaslah bahwa keberadaan kesadaran ditentukan oleh kondisi dari
keberadaan indera berikut dengan obyek-obyeknya; jadi kesadaranpun juga
senantiasa berubah-ubah, tidak permanen. Jadi tidak dapat dikatakan
bahwa kesadaran adalah diri yang kekal.
Lalu, kembali ke pertanyaan semula, siapakah yang menerima akibat dari perbuatan-perbuatan baik dan buruk (kamma)? Untuk menjawab pertanyaan ini, harus dijelaskan mengenai “Sebab akibat yang saling bergantungan” (paticcasamuppada). Mengenai hal ini akan dijelaskan secara terpisah.
Apa
manfaatnya jika memahami tentang Tilakkhana ini? Jika dapat memahami
bahwa segala sesuatu adalah tidak kekal, dukkha, tanpa inti/diri yangn
kekal, maka dapat menarik dua manfaat:
1. Akan
menjadi manusia yang lebih terbuka dan berbahagia. Karena menyadari
bahwa diri sebenarnya tidak ada. Sehinnga tidak secara salah bergantung
dan melekat pada diri dan cenderung untuk selalu membuat benteng-benteng
pertahanan diri untuk mempertahankan milik, kekayaan, gengsi dan
lain-lain. Jika menyadari bahwa diri yang permanen ini sebenarnya tidak
ada, bahwa diri sebenarnya hanyalah gabungan dari lima agregat yang
selalu berubah-ubah (anicca dan dukkha), maka dapat berhubungan dengan
orang lain dan dalam berbagai situasi tanpa rasa was-was, curiga, atau
dihantui perasaan buruk lainnya. Bisa menjadi manusia yang bebas dan
kreatif. Dan jika mengalami peristiwa yang tidak menyenangkan, akan
lebih mampu untuk bertahan, karena tahu bahwa perasaan sedih itu
hanyalah bersifat sementara, dan perasaan sedih itu muncul dari
interaksi dari salah satu atau beberapa agregat kemelekatan dengan
obyek-obyek yang berhubungan.
2. Pengertian
yang sesungguhnya mengenai Tilakkhana ini akan membawa kepada
penerangan sempurna, karena hal ini berarti telah berhasil menyingkirkan
ketidaktahuan dan penyebab dari semua penderitaan, dan bahwa penolakan
atas diri merupakan penyebab dari penghentian penderitaan, maka sudah
selayaknyalah berusaha semaksimal mungkin untuk menghapuskan pendapat
yang salah tentang diri.
- SUNYATA
Metode
filsafat sunyata dipelopori oleh kaum Madyamika yang diwakili oleh
Nagarjuna dan Arya Deva pada sekitar abad 1 Masehi. Berdasarkan konsep
Anitya Anatma, sunyata menekankan dialeka yang tidak terikat dengan
kata-kata, tetapi melihat segala sesuatu dari dua sisi dengan jelas
melihat apa adanya di alam fenomena ini.
Penjelasan dari Prof. Dr.Murti dalam buku The Central Philosophy of Buddhism mencatat
filsafat sunyata adalah suatu perubahan dari pengertian tentang
elemen-elemen menuju ke teori tentang yang absolute. Suatu perubahan
dari penganalisaan elemen menuju ke arah kritisme yang dialektik.
Filsafat
sunyata oleh kaum Madyamika menjadi suatu sifat yang transenden,
sehingga segi-segi Ktuhanan dari Buddhism menjadi jelas. Secara immanent
sunyata memiliki sifat maha karuna yang tidak terbatas terhadap semua
makhluk. Filsafat ini mencakup pengertian tidak membenarkan seseorang
terikat dalam pandangan-pandangan dan teori-teori, tetapi hendaknya
menganalisa dan mengobservasi sifat-sifat sebenarnya dari
keadaan-keadaan tanpa melekat.
Dialektik
sunyata dimaksudkan sebagai alat untuk mengatasi dogmatisme, dan
berfungsi sebagai kritik dan teori-teori. Dimana dapat dijelaskan bahwa
dialektika itu sendiri merupakan filsafat. Pengetahuan yang tidak mendua
(prajna) merupakan situasi yang tidak dapat dikatakan. Tiada
sesuatu yang berdiri sebagai lawan dari penandingnya dan sebagai yang
absolute. Sesuatu yang absolute atau kenyataan seluruhnya merupakan
tanpa pembatasan objek. Naskah Prajnaparamita menjelaskan sebagai
sesuatu yang tidak dapat dijangkau (gambhira), tidak dapat diukur (Aprameya) dan tidak terbatas (asamkheya). Konsep ini sesungguhnya tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata.
Sesuatu
yang absolut tidak dapat dikatakan dan diterangkan inilah sunyata.
Padanan yang mudah dipahami dari sunyata adalah berdiam atau tidak
berbicara. Sesuatu yang absolut terbebas dari konsep-konsep dan di luar
jangakuan pikiran. Nirvana dikatakan sebagai sunyata yang berarti
leburnya kilesa dan keinginan. Tetapi sunyata maupun yang absolut tetap
bereksistensi kendati kilesa-kilesa dan keinginan belum dapat
dilenyapkan. Sesuatu yang absolut justru diterangkan dalam
Pratitytasamutpada, karena hal tersebut tidak nyata dan tampak.
Sunyata
adalah prajna, intuisi, intelektual, dan identik dengan yang absolut.
Karuna adalah prinsip yang aktif dari welas asih yang memberikan
pengertian konkret mengenai sunyata ke dalam alam fenomena. Apabila
sunyata adalah transenden, maka karuna sepenuhnya immanent dan menuju
pada alam fenomena. Sunyata adalah sesuatu yang abstrak, dimana tanpa
determinasi yang dapat dikatakan, berada di luar dualisme dari baik dan
buruk, kasih dan benci, kebijakan dan kezaliman, sedangkan karuna adalah
kebaikan, cinta kasih dan tindakan nyata. Sunyata adalah hal yang
potensial, sedangkan karuna adalah hal yang aktual.
Nirvana
dapat dikatakan sebagai sunyata yang berarti leburnya kilesa dan
keinginan-keinginan. Namun yang absolut dan sunyata tetap bereksistensi
kendatipun klesa-klesa dan keinginan-keinginan belum dapat dilenyapkan.
Hukum sebab akibat (pratityasamutpada) menjelaskan sesuatu yang absolut. Guna mengerti kebenaran dunia ini sebagai alat ukurnya dengan dua kebenaran (satya) yaitu kebenaran umum (samvrti satya)
dan kebenaran yang mutlak (paramartha satya). Fenomena alam ini
dicirikan sebagai samvrti, karena menutupi keadaan dari benda-benda.
Dilihat dari kacamata paramartha satya, kebenaran samvrti satya
merupakan pandangan yang keliru dan semu. Nagarjuna berkata, ye neyer na vijanamti vibhagam satyadveyah; te tattvam na vijanamti gambhiram buddhasasaane.” (Madhyamika Karika XXIV).
Maksudnya bagi mereka yang tidak menyadari akan perbedaan diantara
kedua kebenaran, tidaklah mungkin untuk menyelami hakikat yang dalam
dari ajaran Buddha.
Candrakirti memberikan tiga definisi dari kebenaran umum (Samvrti satya):
1. Secara
harafiah yang diartikan bahwa kebenaran umum menutupi seluruh sifat
sesungguhnya dari benda-benda, sehingga mereka terwujud.
2. Yang saling berkaitan dengan benda-benda yaitu kearifannya bila dihubungkan dengan fenomena,
3. Sifat umum (samvrti satya) seperti apa yang biasanya diterima oleh umum (lokavyavaharah).
Kebenaran absolut (paramartha satya)
tidak dapaat diterangkan dengan kata-kata bahasa dan termasuk pada
keadaan yang tidak dapat dikatakan. Kebenaran ini hanya dapat
direalisasi oleh para arif bijaksana dengan usaha yang tekun. Penjelasan
dalam sastra: yah punah paramarthah se’nabhilapyah, anajneyah, aparijneyah, avijneyah, adesitah, aprasitah. Sesungguhnya paramartha satya tidak dapat dikatakan (Bodicarya Avatara).
Dijelaskan dalam Prajna Paramita Hrdaya Sutra “Duhai Sariputra, dimana terdapat sunyata, disitulah tiada bentuk jasmani (rupa), tiada perasaan (vedana), tiada pencerapan (Sanjna), tiada bentuk-bentuk mental (Sankhara), badan dan batin: tiada bentuk-bentuk, suara-suara, bau-bauan, rasa-rasa, sentuhan-sentuhan bentuk-bentuk pikiran; tiada unsur (dathu) penglihatan dan selanjutnya: tiada kegelapan batin (avidya), tiada kegelapan batin dan seluruhnya, sehingga sampai pada hari tua dan kematian, tiada asal mula derita (dukkha-sanydaya), tiada akhir derita (duhkha-nirodha), tiada jalan (marga), tiada pengetahuan (jnana), tiada pencapaian dan tiada bukan pencapaian.
Kepustakaan:
Dutavira. 1984. Pedoman Penghayatan Agama Buddha Mahayana Indonesia 1. Jakarta: Lembaga Penerbit Pustaka Suci Mahayana.
Humphreys, Christmas.1983. Buddhism. England: Penguin Book Ltd.
Kalupahana, David J., dan Kandahjaya, Hudaya. 1986. Filsafat Buddha, Sebuah Analisis Historis. Jakarta : Erlangga
Rahula, Walpola.1978. What The Buddha Taught. London: The Gordon Fraser Gallery Ltd.
Santina, P.D.1984. Fundamentals Of Buddhism. Singapore: Srilankaramaya Buddhist Temple
0 komentar:
Posting Komentar