Selasa, 28 Januari 2014

3 CIRI KEBERADAAN


 
TIGA CIRI KEBERADAAN
Dalam bab 3 telah ditunjukkan bahwa penjelasan Sang Buddha menyinggung dua aspek realitas, yakni kausalitas dan fenomena yang terjadi secara bersyarat. Menurut ajarannya, tidak ada didunia ini yang tidak tercakup oleh hukum sebab akibat. Kausalitas menerangkan muncul dan lenyapnya segala sesuatu. Karena itu, sebagai akaibat langsung dari kausalitas ini, segala sesuatu didalam dunia adalah:
(1) tidak kekal (anicca),
(2) tidak memuaskan (dukkha), dan
(3) tidak berinti (anatta).
Ketiga ciri ini ditegaskan karena teori kaum eternalis, yang menguasai udara filsafat pada masa kehidupan Sang Buddha, menyatakan bahwa realitas dalam fenomena adalah “diri” atau “inti” (atman) yang kekal.
Teori ketidak kekalan seperti yang dinyatakan dalam sutta-sutta terdahulu dapat dipastikan merupakan teori empirik. Kalimat-kalimat yang ditemukan dalam penjelasan tersebut  berbunyi sebagai berikut :” tidak kekal sesungguhnya segala sesuatu yang terbentuk, mereka mengalami kemunculan dan kehancuran. Setelah menjadi sesuatu, mereka punah kembali. Kedamaiaan muncul bila timbul keseimbangan.”( Anicca vata sankhara uppadavayadhamino, upajjitva nirujjhanti tesam vupasamo sukho). Menurut pernyataan ini, segala sesuatu tidak kekal bukan karena mereka hanya muncul sesaat, tetapi kerena mereka berciri muncul (uppada) dan hancur (vaya). Assutava sutta dari samyutta nikaya menampilkan pendapat tentang perubahan secara empirik dalam pernyataan,” badan ini terdiri dari empat unsur utama yang ada untuk satu, dua, tiga, empat, lima, sepuluh, dua puluh, tiga puluh, empat puluh, lima puluh, seratus atau lebih tahun. Ini jelas merupakan pendapat empirik tentang perubahan.
Berdasarkan kenyataan akan ketidak kekalan dunia, dapat dipahami bahwa segala sesuatu juga tidak memuaskan (dukkha). Kata “dukkha” dipakai secara beraneka ragam untuk menunjukkan “sakit”, “penderitaan”, “nyeri” dan sebagainya yang boleh jadi benar untuk konteks tertentu. Kelima kelompok kemelekatan (Panc’upadanakkhandha) juga merupakan Dukkha. Sifat manusia selalu menginginkan kebahagiaan yang kekal atau abadi. Padahal segala sesuatu yang diharapkannya dapat memberikan kebahagiaan itu ternyata tidak kekal, kebahagiaan tersebut hanya bertahan sebentar saja, dan bersifat sementara karena tidak dapat memenuhi harapannya, yaitu kebahagiaan abadi.  Akibatnya terjadilah penderitaan.
Karena alasan diatas teori Upanisad tentang “diri” yang kekal dan tidak dapat mati itu, rupanya dimaksudkan untuk memuaskan keinginan manusia akan kebahagiaan abadi yang terpendam amat dalam. Namun untuk Sang Buddha yang telah menyadari bahwa segala sesuatu didunia ini tidak kekal, jawaban demikian tidak sedikitpun memuaskannya. Dengan menyadari bahwa tidak ada sesuatupun yang kekal dan tidak berubah yang dapat disebuat “diri” itu, beliau menemukan bahwa kepercayaan terhadap sesuatu yang demikian bahkan akan membimbing orang kependeritaan yang lebih dalam. Kepercayaan akan sesuatu yang kekal, seperti atman,  sering kali mengarah kesifat keakuan atau mementingkan diri sendiri (ahamkara ). Hal ini menurut beliau merupakan akar penyebab bagi keinginan, dan juga penyertanya yaitu penderitaan. Menurut Sang Buddha, penanaman paham kebaikan akan ketidakakuan yang berlandaskan kepercayaan akan diri (atman), seperti yang dipraktekan guru-guru upanisad, bukan pula merupakan hal yang memuaskan atau pun benar.
Hal diatas membawa kita sampai ke ciri yang ketiga, yaitu, “tanpa inti” atau tanpa “diri” (anatta). Tidak ada doktrin yang lebih disalah artikan dan salah tafsirkan dari pada doktrin tentang tanpa inti ini. kebanyakan orang nampak berfikir bahwa penerimaan akan doktrin kelahiran kembali dan tanggung jawab moral dipihak yang satu, dan penolakan diri yang kekal  dipihak lain, memimpin situasi yang bertentangan yang tak dapat dihindari oleh Buddhisme terdahulu. Kepercayaan ini antara lain berakar pada kesalah pahaman akan teori tanpa inti.
Telah disebutkan bahwa konsepsi upanisad tentang ‘diri’ yang kekal (atman) merupakan hasil penafsiran rasional dari isi pengalaman mistik, khususnya bagi mereka yang tergolong pada tradisi yang menduniawi seperti kepunyaan kaum aryan. Menurut Sang Buddha (dan berabad-abad kemudian, juga menurut freud) prilaku manusia begitu juga pandangannya terhadap kehidupan, ditentukan oleh beberapa naluri seperti “keinginan untuk hidup” (jivitukama), “ Keinginan untuk menghindari kematian (amaritukama), “Keinginan kuat terhadap kebahagiaan (sukhakama) dan “menghindar dari kenyerian” (dukkhapatikkula). Teori upanisad tentang diri jelas diarahkan untuk memuaskan keinginan terpendam ini agar kelangsungan hidup manusia dapat dipertahankan. Penerimaan akan diri yang kekal dan tak berunah ini membuat pemikir upanisad ini mampu menerangkan banyak persoalan tanpa banyak kesukaran, seperti kelahiran kembali, kesinambungan, dan tanggung jawab moral. Namun bagi Sang Buddha, suatu teori yang hanya bersesuaian dengan kecenderungan pandangan seseorang (ditthinijjhanakhanti) atau yang hanya konsisten atau kelihatanya saja benar (bhabbarupa) tidak benar dengan sendirinya. Ini bukanlah kriteria untuk kebenaran. Kebenaran untuk beliau, merupakan sesuatu yang harus sesuai dengan kenyataan (yathabhuta), bukan yang hanya dapat melayani kesuakaan seseorang. Dengan demikian, beliau tidak mau menyumbangkan sesuatu kepada teori yang hanya dapat melayani naluri seseorang. Aspek lain dari teori ‘diri’ yang ditolak Sang Buddha adalah gagasan tentang kekekalan yang berhubungan dengan teori ini. ada beberapa halaman dari nikaya pali dan agama mandarin yang menunjukkan bahwa Sang Buddha sedang mengacu kepada kepercayaan tentang “diri yang tak berubah, kekal, abadi, dan permanen” (atta nicco dhuvo sassato aviparinamadhammo). Dengan memeriksa setiap faktor yang membangun kepribadian seseorang, yaitu; bentuk material (rupa), perasaan (vedana), pencerapan (sanna), bentuk-bentuk mental (sankhara), dan kesadaran (vinnana), Sang Buddha menunjukkan bahwa tidak satupun dari faktor-faktor tersebut dapat diidentikan sebagai semacam ‘diri’ seperti yang diuraikan diatas.
Sekolah kaum materialis menyatakan dengan tegas bahwa jika seseorang ingin percaya akan ‘diri’ lebih baik memandang badan fisik ini, yang mempertahankan identitas sejak lahir hingga mati, sebagai ‘diri’ dari pada mencarinya dalam pribadi kejiwaan. Oleh karena pribadi fisik lebih nyata dari pada pribadi kejiwaan. Kekususan sekolah materialis ini yang mengidentikkan ‘diri’ dengan badan material (sarira), dikenal sebagai Tajjivatacchariravada (tam jivam tam sariram). Tetapi menurut Sang Buddha, ‘diri’ apakah ia diidentikkan dengan badan atau berbeda dari badan, merupakan suatu kesatuan metafisik. Disebut kesatuan metafisik karena sama sekali tak terbuktikan, baik melalui persepsi indria biasa ataupun melalui persepsi indria luar biasa. Kesatuan ini tidak mencakup kedalam pengalaman (avisaya), dan oleh karena itu Sang Buddha meninggalkan pernyataan ini tak terungkapkan. Kediamannya terhadap pertanyaan ini ada yang menafsirkan sebagai tersirat bahwa ada realitas ‘diri’ yang transedental, tetapi tidak tercakup dalam alam pemikiran logis (atakkavacara). Menurut Sang Buddha, bahkan apa saja yang dipandang merupakan pengalaman mistik tidak dapat memberikan kepada kita pengetahuan tentang diri transedental. Oleh karena itu, ia adalah suatu kesatuan metafisik yang tak terbuktikan.



0 komentar:

Posting Komentar