TIGA CIRI KEBERADAAN
Dalam bab 3 telah ditunjukkan bahwa
penjelasan Sang Buddha menyinggung dua aspek realitas, yakni kausalitas dan
fenomena yang terjadi secara bersyarat. Menurut ajarannya, tidak ada didunia
ini yang tidak tercakup oleh hukum sebab akibat. Kausalitas menerangkan muncul
dan lenyapnya segala sesuatu. Karena itu, sebagai akaibat langsung dari
kausalitas ini, segala sesuatu didalam dunia adalah:
(1)
tidak kekal (anicca),
(2) tidak memuaskan (dukkha), dan
(3) tidak berinti (anatta).
Ketiga ciri ini ditegaskan karena teori
kaum eternalis, yang menguasai udara filsafat pada masa kehidupan Sang Buddha,
menyatakan bahwa realitas dalam fenomena adalah “diri” atau “inti” (atman) yang
kekal.
Teori ketidak kekalan seperti yang
dinyatakan dalam sutta-sutta
terdahulu
dapat dipastikan merupakan teori empirik. Kalimat-kalimat yang ditemukan dalam
penjelasan tersebut berbunyi sebagai
berikut :” tidak kekal sesungguhnya segala sesuatu yang terbentuk, mereka
mengalami kemunculan dan kehancuran. Setelah menjadi sesuatu, mereka punah
kembali. Kedamaiaan muncul bila timbul keseimbangan.”( Anicca vata sankhara uppadavayadhamino, upajjitva nirujjhanti tesam
vupasamo sukho). Menurut pernyataan ini, segala sesuatu tidak kekal bukan
karena mereka hanya muncul sesaat, tetapi kerena mereka berciri muncul (uppada)
dan hancur (vaya). Assutava sutta dari samyutta nikaya menampilkan pendapat
tentang perubahan secara empirik dalam pernyataan,” badan ini terdiri dari
empat unsur utama yang ada untuk satu, dua, tiga, empat, lima, sepuluh, dua
puluh, tiga puluh, empat puluh, lima puluh, seratus atau lebih tahun. Ini jelas
merupakan pendapat empirik tentang perubahan.
Berdasarkan kenyataan akan ketidak
kekalan dunia, dapat dipahami bahwa segala sesuatu juga tidak memuaskan
(dukkha). Kata “dukkha” dipakai secara beraneka ragam untuk menunjukkan
“sakit”, “penderitaan”, “nyeri” dan sebagainya yang boleh jadi benar untuk
konteks tertentu. Kelima kelompok
kemelekatan (Panc’upadanakkhandha) juga merupakan Dukkha. Sifat manusia selalu
menginginkan kebahagiaan yang kekal atau abadi. Padahal segala sesuatu yang
diharapkannya dapat memberikan kebahagiaan itu ternyata tidak kekal,
kebahagiaan tersebut hanya bertahan sebentar saja, dan bersifat sementara
karena tidak dapat memenuhi harapannya, yaitu kebahagiaan abadi. Akibatnya terjadilah penderitaan.
Karena alasan diatas teori Upanisad tentang “diri” yang
kekal dan tidak dapat mati itu, rupanya dimaksudkan untuk memuaskan keinginan
manusia akan kebahagiaan abadi yang terpendam amat dalam. Namun untuk Sang
Buddha yang telah menyadari bahwa segala sesuatu didunia ini tidak kekal,
jawaban demikian tidak sedikitpun memuaskannya. Dengan menyadari bahwa
tidak ada sesuatupun yang kekal dan tidak berubah yang dapat disebuat “diri”
itu, beliau menemukan bahwa kepercayaan
terhadap sesuatu yang demikian bahkan akan membimbing orang kependeritaan yang
lebih dalam. Kepercayaan akan sesuatu yang kekal, seperti atman, sering kali mengarah kesifat keakuan atau
mementingkan diri sendiri (ahamkara ). Hal ini menurut beliau merupakan akar
penyebab bagi keinginan, dan juga penyertanya
yaitu penderitaan. Menurut Sang Buddha, penanaman paham kebaikan akan
ketidakakuan yang berlandaskan kepercayaan akan diri (atman), seperti yang
dipraktekan guru-guru upanisad, bukan pula merupakan hal yang memuaskan atau
pun benar.
Hal diatas membawa kita sampai ke ciri
yang ketiga, yaitu, “tanpa inti” atau tanpa “diri” (anatta). Tidak ada doktrin
yang lebih disalah artikan dan salah tafsirkan dari pada doktrin tentang tanpa
inti ini. kebanyakan orang nampak berfikir bahwa penerimaan akan
doktrin kelahiran kembali dan tanggung jawab moral dipihak yang satu, dan
penolakan diri yang kekal dipihak lain,
memimpin situasi yang bertentangan yang tak dapat dihindari oleh Buddhisme
terdahulu. Kepercayaan ini antara lain berakar pada kesalah pahaman akan teori
tanpa inti.
Telah disebutkan bahwa konsepsi upanisad
tentang ‘diri’ yang kekal (atman) merupakan hasil penafsiran rasional dari isi
pengalaman mistik, khususnya bagi mereka yang tergolong pada tradisi yang
menduniawi seperti kepunyaan kaum aryan. Menurut Sang Buddha (dan berabad-abad
kemudian, juga menurut freud) prilaku manusia begitu juga pandangannya terhadap
kehidupan, ditentukan oleh beberapa naluri seperti “keinginan untuk hidup”
(jivitukama), “ Keinginan untuk
menghindari kematian (amaritukama), “Keinginan kuat terhadap kebahagiaan
(sukhakama) dan “menghindar dari kenyerian”
(dukkhapatikkula). Teori upanisad tentang diri jelas diarahkan untuk memuaskan
keinginan terpendam ini agar kelangsungan hidup manusia dapat dipertahankan.
Penerimaan akan diri yang kekal dan tak berunah ini membuat pemikir upanisad
ini mampu menerangkan banyak persoalan tanpa banyak kesukaran, seperti
kelahiran kembali, kesinambungan, dan tanggung jawab moral. Namun bagi Sang
Buddha, suatu teori yang hanya bersesuaian dengan kecenderungan pandangan
seseorang (ditthinijjhanakhanti) atau yang hanya konsisten atau kelihatanya
saja benar (bhabbarupa) tidak benar dengan sendirinya. Ini bukanlah kriteria
untuk kebenaran. Kebenaran untuk beliau, merupakan sesuatu yang harus sesuai
dengan kenyataan (yathabhuta), bukan yang hanya dapat melayani kesuakaan
seseorang. Dengan demikian, beliau tidak mau menyumbangkan sesuatu kepada teori
yang hanya dapat melayani naluri seseorang. Aspek lain dari teori ‘diri’ yang
ditolak Sang Buddha adalah gagasan tentang kekekalan yang berhubungan dengan
teori ini. ada beberapa halaman dari nikaya pali dan agama mandarin yang
menunjukkan bahwa Sang Buddha sedang mengacu kepada kepercayaan tentang “diri
yang tak berubah, kekal, abadi, dan permanen” (atta nicco dhuvo sassato
aviparinamadhammo). Dengan memeriksa setiap faktor
yang membangun kepribadian seseorang, yaitu; bentuk material (rupa), perasaan
(vedana), pencerapan (sanna), bentuk-bentuk mental (sankhara), dan kesadaran
(vinnana), Sang Buddha menunjukkan bahwa tidak satupun dari faktor-faktor
tersebut dapat diidentikan sebagai semacam ‘diri’ seperti yang diuraikan
diatas.
Sekolah kaum materialis menyatakan
dengan tegas bahwa jika seseorang ingin percaya akan ‘diri’ lebih baik
memandang badan fisik ini, yang mempertahankan identitas sejak lahir hingga
mati, sebagai ‘diri’ dari pada mencarinya dalam pribadi kejiwaan. Oleh karena
pribadi fisik lebih nyata dari pada pribadi kejiwaan. Kekususan sekolah
materialis ini yang mengidentikkan ‘diri’ dengan badan material (sarira),
dikenal sebagai Tajjivatacchariravada (tam jivam tam sariram). Tetapi menurut
Sang Buddha, ‘diri’ apakah ia diidentikkan dengan badan atau berbeda dari badan,
merupakan suatu kesatuan metafisik. Disebut kesatuan metafisik karena sama
sekali tak terbuktikan,
baik melalui persepsi indria biasa ataupun melalui persepsi indria luar biasa. Kesatuan ini
tidak mencakup kedalam pengalaman (avisaya), dan oleh karena itu Sang Buddha
meninggalkan pernyataan ini tak terungkapkan. Kediamannya terhadap pertanyaan ini
ada yang menafsirkan sebagai tersirat bahwa ada realitas ‘diri’ yang
transedental, tetapi tidak tercakup dalam alam pemikiran logis (atakkavacara).
Menurut Sang Buddha, bahkan apa saja yang dipandang merupakan pengalaman mistik tidak
dapat memberikan kepada kita pengetahuan tentang diri transedental. Oleh karena
itu, ia adalah suatu kesatuan metafisik yang tak terbuktikan.
0 komentar:
Posting Komentar